Friday, July 17, 2009

Aku Bertemu Dengannya Lagi; Sekelebat Yang Penuh Makna


Dengan kantuk yang hamper tidak tertahankan aku terus memacu si Risma menyusuri jalanan kota malang yang entah kenapa sekarang sepi. Padahal malam minggu kemarin aku sempat bête berat karena macet yang mengular naga. Padahal Malang hanya lah kota kecil. Tapi jumlah mahasiswa yang semakin tahun semakin menyesak membuatnya padat oleh kendaraan bermotor. Datang mahasiswa baru, mahasiswa lama nggak lulus-lulus. Ternyata, biaya pendidikan yang semakin melangit tidak mengurangi minat untuk menyandang status mahasiswa.


 

Udara dingin yang akhir-akhir ini memuatku malas untuk keluar rumah stelah maghrib semakin menusuk. Lapisan kaus, hem, sweater plus jaket yang membalut tebal tubuhku tak mampu menahan lesakan dingin malam ini. Mungkin itu pulalah yang membua jalanan sepi malam ini. Padahal jarum jam belum juga beranjak dari angk a Sembilan. Penduduk kota lebih memilih untuk bercengkerama di dalam rumah yang hangat sambil menikmati secangkir STMJ barangkali.


 

Tujuanku jelas. I have to be in a coffee shop or café or whatever you name it. A cup of hot cappuccino will warmer me. Melewati pertigaan Dinoyo, tanpa sengaja mataku tertumbuk pada satu sosok yang sedang berjalan menyusuri pinggiran jalan yang tidak bertrotoar. Kota yang aneh, jalan utama tidak memiliki trotoar. Menjadi pejalan kaki di kota ini berarti membiarkan jantung memompa darah lebih cepat karena ketegangan yang tercipta dari kendaraan yang menyesaki jalan yang siap-siap akan "mencolek" pejalan kaki kalau tidak ekstra awas.


 

Sosok itu sepertinya familiar. Aku pernah melihatnya, tapi dimana?? Yup, bibir yang selalu tersenyum itu.


 

I got it!!! Iya, aku ingat!!! Ibu itu adalah ibu yang malam-malam membunyikan bel rumah kami ketika aku sedang asyik menulis di kamar. Aku sudah cuci muka dan bersiap-siap untuk menarik selimut sehingga aku tidak segera turun untuk membukakan pintu. Ku buka jendela kamarku yang langsung menghadap jalan dan setengah berteriak.


 

"siapa?

"Turun dulu Mas, saya mau bicara!


 

Penasaran aku turun membuka pintu dan mendapati seorang perempuan paru baya berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Tangannya menenteng sebuah tas plastic merah yang isinya masih penuh.

"Ada apa Bu?

"ini Mas, saya mau menawarkan ini, keripik kentang" katanya seraya menyodorkan tiga bungkus keripik kentang ke arahku.

"Mas yang satunya biasanya beli" katanya menambahkan.

"oh, dia lagi ke Surabaya Bu"

"Mas nya nggak mau?

"enggak Bu, makasih" jawabku karena emang aku tidak berniat untuk nyamil. Aku sudah cuci muka dan sikat gigi dan bersiap untuk tidur. Lagipula isi dompet pas-pasan, akhir bulan.

"enak loh Mas, Cuma 10 ribu tiga koq" katanya sambil tetap tersenyum.

"Makasih Bu, enggak" tolakku lagi sambil memasang senyum lima jari andalanku.

Sejujurnya batinku bergolak, aku ingin membelinya karena melihat kegigihan ibu itu menawarkan dagangannya. Apalagi malam-malam begini berjalan kaki menawarkan keripik door to door ala salesman. Apalgi dia seorang ibu. Tentu beban berat yang ditanggungnya sehingga membuatnya rela dari pintu-ke pintu menawarkan dagangan di malam yang dingin. Aku paling tidak tega terhadap perempuan.

"Mas mungkin mau menolong saya, saya sudah muter-muter jauh Mas tapi baru sedikit yang laku kaki saya sudah pegal Mas" katanya keukeuh.

Aku makin tidak tega. Tapi aku juga tidak memutuskan untuk membeli dagangannya. Betul-betul mental enterpreuner.

Aku tidak tahu harus ngomong apa lagi. Karena seharusnya aku memang tidak ada alasan untuk menolak membeli dagangan ibu ini. Tapi aku juga tetap tidak memutuskan untuk membeli barang sebiji. Aku malu dengan kegigihan ibu itu dan keputusanku untuk tidak membeli.

"Nggak Mas ya? Senyum tetap terpancar dari raut mukanya. Tapi kali ini bernada kecewa.

"Nggak Bu,makasih"

"Ya udah Mas, terima kasih ya" katanya sambil berbalik meninggalkan raut senyum kecewa yang terus terbayang ketika aku kembali ke kamar. Lama aku merenung kembali, menyesali diri kenapa aku tidak membeli dagangan ibu tadi. Mungkin kalau aku beli, itu sudah sangat berarti besar bagi dia. Aku tahu ia sudah berjalan jauh. Kemudian pikiranku melayang kepada Bundaku di rumah. Bagaiman kalau fragmen tadi beliau yang melakoninya?

***

Mataku masih menangkap kilas senyum yang tetap menghiasi bibirnya. Iya, benar, ibu itu. Di malam dingin begini dia masih berjalan menenteng dagangannya hanya memakai baju dan celana selutut seperti yang kulihat ketika dia membunyikan bel rumahku.


 

Dengan cepat aku memutar arah berlawanan dengan café yang kutuju. Mengambil jalan ke arah kampus. Aku masih bisa memanfaatkan fasilitas wifi gratis di kampus. Ibu itu berjalan sedemikian jauh hanya untuk sekian puluh ribu. Sementara aku hamper saja menukar jumlah yang sama dengan secangkir kopi yang bisa ku buat sendiri dan secuil broadband internet yang jumlah lebih besar bisa kudapatkan gratis.

Tidak untuk kali ini!

Teriring doa untuk Ibu penjual keripik yang perkasa; semoga engkau menjadi pengusaha keripik yang besar! Kalau kau datang membuyikan bel rumahku lagi, aku akan langsung beliJ


 


 


 


 

Sunday, July 12, 2009

Mirror Mirror in The Wall…


Mirror, mirror in the Wall….!!

Berkaca menjadi bagian dari rutinitas yang tak bisa lepas dari keseharian manusia. Pagi-pagi, begitu bangun dari tidur , hal pertama yang dilakukan adalah berdiri di depan cermin sambil memasang senyum 5 jari. Sebelum berangkat beraktivitas, paling nggak dibutuhkan 10 menit untuk mematut diri di depan cermin. Tapi bagi perempuan atau laki-laki yang suka dandan bisa lebih dari itu. Di kantor atau di kampus, begitu masuk toilet kaca di wastafel tak luput dari lirikan, sekedar memastikan apakah masih kelihatan cakep atau tidak. Lewat di depan ruangan berkaca, curi-curi pandang kea rah kaca atau purapura lihat pengumuman padahal sebenarnya bayangan di kacalah yang ditatap. Lewat di parkiran, kaca spion menjadi sasaran. Pernah ada seorang teman yang ngaca di kaca mobil yang diparkir yang berakhir dengan cengar-cengir menahan malu karena ternyata di dalam mobil ada pemiliknya yang menahan tawa melihat ada orang yang dengan pede ngaca di kaca mobilnya.


 

Cermin akan memantulkan bayangan apa adanya. Kalau yang bercermin kebetulan cakep, bayangan yang muncul pasti cakep juga dong. Kalau kurang cakep (not to say ugly), yah seperti itu juga dong yang akan muncul. Seharusnya sih seperti itu.


 

Tetapi aku selalu melihat bayangan yang berbeda-beda setiap bercermin. Ketika sedang berpikiran positif, aku melihat makhluk yang super ganteng tersenyum lima jari kepadaku. Sebaliknya ketika sedang bad mood bayangan itu menjadi sangat jelek. Begitu juga ketika aku sedang merasa ganteng, yang muncul di cermin adalah cowok ganteng. Begitu juga sebaliknya ketika merasa nggak gantengJ


 

Nah, aku sangat percaya kalau ganteng dan cantik itu bisa diciptakan. It's not a destiny. It's created. Dan aku juga percaya kalau ganteng dan cantik tu relative. Yang menurut aku cantik dan ganteng belum tentu cantik dan ganteng pula menurut orang lain. Teman-temanku sampai bilang aku aneh ketika aku bilang bahwa Miss Indonesia itu nggak cantik dan yang cantik adalah Miss Papua Barat dan Miss Maluku.


 

Masih ingat kan tokoh Diva di Supernova nya Dewi Lestari? Ketika Diva menjadi juri Fashion Show anak-anak dan mengacaukannya dia bilang begini kira-kira;

"adik-adik, semua menjadi pemenang dalam lomba ini. Kalau mau cantik, nggak usah ikutan lomba kayak gini. Kakak punya resep biar cantik, bilang aku canti, aku cantik sesering mungkin dan kalian akan menjadi cantik. Nah setelah ini, kalian pulang ke rumah dan teruslah bermain. Nggak usah pake lipsik mama, nggak usah nunggu orang lain bilang kalian cantik".

Konon Sang Dulunya adalah anak yang dianggap jelek dan aneh sehingga dikucilkan oleh teman-teman pantinya.


 

Back to mirror, mirror in the wall…!

Cermin biasa hanya memantulkan bayangan dengan dimensi yang sama tidak lebih tidak kurang seperti benda di depan cermin pada saat itu. Berbeda dengan kita bercemin dengan orang-orang di sekitar kita. Mereka memantulkan bayangan dengan berbagai dimensi. Kita bisa melihat masa lalu dan atau potret diri di masa depan. Bukankah cermin seperti itu bertebaran dimana-mana. Tinggal kita mau bercermin atau tidak. Bercermin kepada orang lain tidak akan membuat kita seperti Narcisius yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri.

So, Mirror mirror in the wall….

Tuesday, July 7, 2009

Aulia Risyda Kamila; The Sweet Little Angel


Sepulang dari perpustakaan sore tadi ketemu sama Mas Yanuar. Seorang saudara yang ketika di komsat dulu sama-sama berjibaku dengan berbagai macam kegiatan organisasi. Sama-sama angkatan 2004 tapi beda fakultas, dia di FE dan aku di FHB. Lama tidak bertemu, membuat dia sudah jauh bebeda dengan Mas Yanuar yang dulu. Sekarang dia tampak lebih terawat (sudah ada yang merawat) dengan pembawaan seorang ayah walaupun usia kita tidak terpaut jauh. Dia menikah ketika masih kuliah semester 6 dengan akhwat satu angkatan juga yang sekaligus teman satu jurusanku. Sebuah langkah hidup yang sangat berani.


 

Pertemuan sore tadi berujung dengan kunjungan ke rumahnya di pinggiran kota Malang. Sudah lama aku tidak berkunjung kesana, pun ketika Putri mereka lahir 5 bulan yang lalu. Begitu memasuki ruang tamu, aku disambut oleh seorang Putri Cantik yang mungil dan menggemaskan, Putri Mas Yanuar. Namanya Aulia Risyda Kamila, seorang 'ikhwit' yang sangat aktif namun tidak rewel. Pipinya tembem dan kemerahan bakal membuat gemas siapa saja yang melihat. Dalam gendonganku yang baru bertemu dengannya saja ia sama sekali tidak rewel. Tetap aktif bergerak memasukan segala sesuatu yang ditemuinya ke dalam mulut, melonjak-lonjak seolah tidak sabar untuk cepat menantang dunia. Satu jam menggendong dan bermain dengannya membuatku kewalahan karena keaktifannya. Pasti Mas Yanuar dan mbak Nuril istrinya sangat berbahagia dengan kehadiran putri cantik mereka itu. Pasti mereka bahagia,. Aku saja yang "Cuma" kebagian jadi "Uncle" saja sangat berbahagia bisa bersama dengan Putri kecil mereka.


 

Bagi Mas Yanuar, kelelakiannya lengkap sudah dengan menjadi seorang ayah. Ayah, status yang menjadikan seorang pria layak menyandang gelar laki-laki sejati. Panggilan ayah saja menghadirkan semua getar kelelakian seorang pria. Getar kasih sayang, getar tanggung jawab, getar melindungi dan getar cinta. Ayah, kata yang menjadikan seorang pria pecinta seorang pahlawan yang siap membersembahkan yang terbaik buat keluarga. Kata yang membuat seorang pria menjadi begitu bersemangat untuk berjuang buat hidup karena dia tahu di belakangnya ada orang-orang tercinta yang bergantung pada pundaknya.


 

Sayangnya, aku tidak membawa kamera. Jadinya aku tidak bisa memampang wajah imut si disini. But I will post it later. I'll be back to take some picture of her.


 

Satu titik lagi oase kutemui minggu ini. Kalau dua hari yang lalu oase itu berupa ikrar kebahagiaan dua orang yang sedang dimabuk cinta, hari ini adalah sebuah keluarga baru dengan buah cinta berupa little sweet angel. Oase yang memberikan aku kesejukan sehingga memekarkan satu kelopak dari kuncup bunga yang insya Allah akan mekar sempurna seiring dengan perjalanan sang waktu. Tinggal menungu kelopak lainnya saja.


 

Hey, bulan ini juga bakal hadir satu "ponakan" lagi dari istrinya Akh Suaidi. Mudah-mudahan selamat menginjakkan kaki mungilnya di dunia ini.


 


 

Thursday, July 2, 2009

Indah Pada Waktunya; Biarkan Bunga Itu Bermekaran Pada Waktunya

Semakin ku kejar semakin kau jauh. Potongan syair lagu dari group Band…….itu merupakan gambaran yang sangat tepat bagi kondisiku ketika kuliah semester 4-6. Pada waktu itu aku menjadi sangat skeptis dengan pentingnya kuliah. Menurutku, nggak perlulah repot-repot dan capek-capek kuliah 4 tahun hanya untuk mendapatkan qualifikasi yang setara dengan sarjana Humaniora seperti yang dihasilkan oleh fakultasku. Kursus dan banyak-banyak membaca cukup lah, itu yang ada dalam pikiranku waktu itu yang membuat aku menjadi tidak bersemangat buat kuliah dan menjadi sangat bosan berada dalam kelas. Apalagi “cuma” buat mengidentifikasi “tempat keluar sebuah bunyi” dalam satu kata (jadi ingat Mr. Mukarrom) dan mengtahui elemen penyususun sebuah kata. Pada waktu itu saya ingin cepat-cepat kerja dan menghasikan uang saja. Nggak perlu kuliah lama-lama. Yang duputuhkan skill, bukan gelar dan pengetahuan yang diajakan di fakultas yang menurut saya pada waktu itu sangat tidak aplikatif dengan chinese boxes, tree diagram, bilabial stop dan sebangsanya. Yang intinya, pada waktu itu aku tidak sabar buat menjalani semua proses menuntut ilmu dalam jurusan yang telah saya pilih (terpaksa ataupun tidak, saya telah memilihnya).

Aku hanya gelisah memikirkan bagaimana masa depan saya dengan jurusan yang saya ambil. Pernah terpikir untuk pindah jurusan ataupun mengulang di kampus lain sekalian. Ide itu datang setelah aku membaca bukunya Rhenald Kasali yang berjudul “Re-code Your Change DNA”. Bagian yang paling mempengaruhiku adalah; Sejauh manapun jalan salah yang anda ambil, putar arah sekarang juga. Menurutku, aku berada dalam jurusan yang salah. Tapi ternyata saya saya tidak punya cukup keberanian pada waktu itu.

Kegelisahan akan masa depan membuatku tidak menyadari bahwa aku sedang dalam proses menuju masa depan itu sendiri. Aku hanya terus memandang ke depan tanpa menunduk untuk melihat dan menikmati tempat aku berpijak yang ternyata belakangan aku sadari sangat indah. Masa-masa pergulatan batin yang membuatku hampir stress dan memutuskan untuk travelling ke Borneo untuk merilekskan otak dan mencoba memikirkan dam menganalisa semuanya.

Sekarang aku selalu berusaha menikmati semua proses yang aku jalani. Dan hasilnya aku sangat menikmati kuliah (bukan berarti aku ingin telat lulus loh ya) dan mendapatkan banyak hal. Aku mencoba berdamai dengan pilihanku kuliah di jurusan yang sekarang walaupun kalau disuruh memilih aku lebih memilih jurusan yang lain. Aku ingin menikmatidan melakukan yang tebaik untuk hari ini tanpa diganggu oleh bayang-bayang masa depan. Toh, dia belum terjadi dan kalau Yang Berkuasa mengharuskan untuk tidak sampai kesana paling tidak aku sudah menkmati dan melakukan yang tebaik di jatah waktu yang aku punya sekarang.

Aku juga tersadar kalau aku sabar untuk kuliah dan belajar, banyak hal yang aku dapatkan. Hal yang belum tentu didapatkan oleh mereka yang cepat-cepat terjun ke dunia kerja. Kalau menurut Buku Pak Obama sih, golongan yang berilmu pengetahuan lah yang akan menentukan arah peradaban ke depannya. Golongan yang tidak akan mudah terhempas oleh pasang surut krisis zaman.

Beberapa hari yang lalu sempat chatting sama Murobbyku yang dulu, salah seorang yang kalau aku mengingatnya membuat semangatku jadi naik. Aku disadarkannya dengan sebuah kata yang indah; Biarkan bunga itu bermekaran pada waktunya. Yup, aku akan bersabar menjalani proses menuju mekar itu. Aku tidak akan mengejar masa depan yang semakin jauh tetapi melupakan hari ini yang indah, hari yang menjadi salah satu batu tapak menuju masa depan.