Tuesday, February 23, 2010

Dragon Zakura; Only Idiots and Ugly Chicks can Attend Tokyo University


Belakangan ini saya suka menonton drama jepang. Pada dasarnya, saya memang paling suka tontonan yang bergenre drama. Dalam dua bulan ini saja saya sudah menamatkan dua drama seri sekaligus. Yang teralhir malah saya selesaikan dalam waktu kurang dari 12 jam. Dua drama seri yang saya tonton itu adalah; My Boss my Hero dan Dragon Zakura. Mengapa saya begitu suka menonton drama jepang? Jawabannya simple, drama jepang mengandung banyak filosofi kehidupan dan nilai-nilai positif. Serial yang saya sebutkan tadi kedua-duanya bertema pendidikan. Saya sangat terkesan dengan cara mereka menyampaikan pesan lewat drama-drama itu. Drama-drama itu mengingatkan saya akan banyak hal dari literature-literatur yang saya baca.


 

Ketika menonton dragon Zakura misalnya, saya langsung teringat buku Re-code your Change DNA dan Toto Chan. Buku yang pertama adalah tentang bagaiman melakukan pembaharuan dengan strategi "re-code Your Change DNA". Apa yang terjadi dalam film itu, persis sama seperti yang digambarkan oleh Rhenald Kasali daalam bukunya itu. Ketika melakukan perubahan, kita akan menghadapi banyak resistensi. Resistensi dari orang-orang yang sudah terbiasa dengan kehidupan dan gaya hidup lama mereka. Drama ini menggambarkan dua hal sekaligus; yang pertama adalah bagaimana strategi merubah persepsi. Yaitu mengubah persepsi anak-anak SMU Ryuzan yang sudah terlanjur percaya bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi idiot dan tidak mungkin diterima di masyarakat apalagi bisa menembus ujian masuk Todai (Tokyo university) yang menjadi symbol pencapaian seorang pelajar di Jepang. Persepsi yang kedua adalah persepsi masyarakat yang terlanjur sudah melegitimasi bahwa anak-anak Ryuzan adalah "sampah" sehingga mereka pantas untuk menerima diskrminasi dalam banyak hal dalam masyarakat. Seperti dalam kasus ketika Hideki bertengkar dengan anak SMU Shumaken, sebuah SMa favorit yang meloloskan 50 orang siswanya setiap tahun ke Todai. Walapun Hideki nyata-nyata tidak bersalah dan anak SMU Shumaken itu lah yang bersalah tapi polisi langsung menetapkan Hideki bersalah hanya karena dia siswa SMU Ryuzan.


 

Drama ini mengisahkan tentang seorang pengacara miskin mantan anggota geng motor Sakuragi Kenji (Abe Hiroshi) yang ditugaskan untuk menangani sebuah SMA "idot", dengan ideks nilai rata-rata 36 dan kemungkinan diterima di Universitas hanya 2% dan belum ada satupun alumninya yang diterima di Todai. SMU ini terlilit hutang dan asetnya terancam diambil alih oleh debitur. Awalnya pengacara ini menerima tawaran untuk menangani SMU Ryuzan untuk menjadi batu lompatan karir. Ia berharap setelah berhasil menangani kasus ini ia akan dikenal public secara Nasional yang kemudian secara otomatis akan membawa namanya menjadi pengacara paling diperhitungkan di Jepang. Akan tetapi pikirannya berubah beberapa hari dia melihat langsung kondisi SMU Ryuzan. Ditambah lagi, ia sperti melihat masa lalunya dalam sosok-sosok anak Ryuzan itu. Kepribadian Sakuragi yang menyukai tantangan membuat dia berpikir kalau dia bisa memulihkan nama Ryuzan; menghapuskan persepsi "idiot" yang sudah melegitimasi baik itu persepsi public maupun persepsi warga Ryuzan sendiri. Strategi yang paling mungkin dan paling cepat adalah; MELOLOSKAN 5 ORANG SISWA DALAM TES MASUK TODAI.


 

Tentu saja pemikiran itu ditentang oleh semua guru dan direksi sekolah yang sudah terlanjur percaya bahwa masuk Todai bagi anak-anak SMU Ryuzan adalah mimpi yang terlalu muluk. Mereka mengatakan Sakuragi adalah penjual mimpi. Para guru itu berusaha menyingkirkan Sakuragi dari SMU Ryuzan dengan berbagai cara. Bahkan mereka tidak pernah bermimpi untuk bisa masuk Todai. Akan tetapi Sakuragi sudah bulat tekadnya, ia tidak akan mundur sedikitpun. Kepada para guru yang menentang itu ia menyodorkan dua pilihan. Ia akan menyelesaikan pekerjaannya secepatnya dan mengalihkan kendali Smu Ryuzan ke tangan kreditur dengan konsekuensi semua guru akan kehilangan pekerjaanya atau membiarkan ia menjalankan strateginya; membentuk kelas khusus untuk persiapan menghadapi test masuk Todai. Para guru itu mau tidak mau harus membiarkan Sakuragi Kenji menjalankan strateginya walaupun mereka terus berusaha mencari cara untuk menyingkirkan Sakuragi. Akhirnya Sakuragi menantang mereka dengan taruhan. Kalau ia tidak bisa mendapatkan lima siswa untuk kelas intensivnya ia akan keluar secara sukarela dari sekolah itu akan tetapi kalau sebaliknya ia mendapatkan lima siswa atau lebih para guru tidak boleh mencampuri urusannya dalam menjalankan strateginya. Deal!


 

Ternyata untuk menndapatkan siswa yang bersedia belajar di kelas intensive persiapan masuk today tidaklah mudah. Mereka terlalu takut untuk sekedar bermimpi untuk masuk Todai. Mereka sudah tenggelam dalam persepsi mereka yang dibentuk oleh lingkungan sekeliling mereka bahwa mereka idiot. Persepsi yang kemudian membuat mereka benci dengan sesuatu yang berbau Todai dan sesuatu yang berbau belajar. Tapi bukan Sakuragi namanya kalau ia menyerah. Bukan pengacara kalau tidak punya strategi. Bukan mantan anggota geng motor kalau caranya tidak unik dan tidak lazim. Sakuragi tahu dalam lubuk hati anak-anak yang dicampakkan itu mereka punya harapan. Persepsi yang berubah menjadi legitimasi itulah yang menelan harapan itu sehingga anak-anak itu tidak berani menampakkan harapan itu.


 

Murid pertama adalah Yajima Yusuke (Tomohisa Yajima ), seorang pemain saxophone dalam band yang terdiri dari anak-anak Ryuzan juga. Tipikal anak temperamen dengan dandanan harajuku yang harus menelan kenyataan pahit bawha ayahnya meninggalkankeluarga karena dililit hutang sehingga asset keluarga mereka disita. Yajima adalah protype Sakuragi remaja; keras kepala dan nekad namun sangat bertanggung jawab. Sakuragi melihat hutang yang melilit keluarga Yajima sebagai peluang untuk menarik dia ke dalam kelas intensive yang dia buat. Dia menawarkan kepada Yajima untuk melunasi hutang-hutangnya dengan syarat Yajima mau masuk kelas intensive. Tentu saja yajima menolak. Dia tidak mau dibeli. Tapi pada akhirnya dia harus menerima kenyataan bahwa dia tidak mungkin membayar hutang keluarga yang begitu besar.


 

Bergabungnya Yajima disusul oleh lima siswa lainnya dengan motif berbeda-beda. Ogata Hideki (Koike Teppei) dan Kosaka Yoshino (Aragaki Yui) misalnya. Hideki masuk kelas intensive karena Yajima sahabat dan anggota bandnya meninggalkan band dan masuk kelas itu. Sedangkan Kosaka, dia tidak ingin selalu bersama-sama dengan Yajima yang menjadi pacarnya. Kobayashi Maki (Saeko) bergabung karena ia berpikir dengan masuk Todai ia akan bisa menjadi selebriti terkenal dan menyaingi temannya yang sangat menyebalkan itu. Sedangkan proses bergabungnya Mizuno Naomi (Nagasawa Masami) lumayan alot, hamper serupa dengan Yajima. Yang bergabung paling akhir adalah Okuno Ichiro (Nakao Akiyoshi) yang mempunyai saudara kembar siswa SMU Shumaken yang sangat pintar dan malu mengakui ia sebagai saudara karena ia bersekolah di Ryuzan.


 

Hal pertama yang dilakukan Sakuragi adalah membuat "Spesial Camp" untuk merubah gaya hidup mereka gar mereka siap mengikuti "Special Advance Class" nama kelas intensive yang ia buat. Dari sinilah kemudian proses belajar anak-anak kelas khusus ini dimulai. Proses belajar yang jauh dari cara konvesional. Belajar yang keras dan menyiksa pada awalnya namun membuat mereka ketagihan setelahnya. Cara Sakuragi memotivasi anak-anak itu sungguh keren. Eksentrik namun ampuh. Ia hanya menunjukkan kail. Anak-anak lah yang membuat keputusan untuk apakah mengambil kail itu dan memancing denganya atau tidak. Pada akhirnya mereka bukan hanya belajar abagaimana menyelesaikan soal test masuk Todai. Mereka belajar tentang totalitas, pilihan hidup, persahabatan, menghargai dan yang paling penting percaya akan kemampuan mereka sendiri. Belajar yang embuat mereka menjadi orang yana sama sekali baru bukan lagi idiot yang tidak diperhitungkan di masyarakat.


 

Sakuragi mendatangkan guru-guru yang semuanya nyentrik. Ada Mathemathic Demon, Guru Bahasa Inggris yang pelayan di Philipina Bar yang mengajar dengan menggunakan lagu-laagu barat, guru fisika yang mengajar dengan menggunakan manga yang lucu-lucu dan guru bahasa Jepang yang menggunakan manga. Mereka semua mengajar dengan cara yang unik namun sangat mudah diterima. Sementara para guru mengajar, Sakuragi tetap mendampingi mereka.


 

Kata-kata yang paling saya ingat adalah perkataan perpisahan Sakuragi di bawah pohon Sakura; Dalam ujian hanya ada satu jawaban yang benar akan tetapi dalam hidup berbeda, ada banyak pilihan yang benar. Mau masuk today itu juga pilihan yang benar, mau belajar sendiri di rumah juga pilihan yang benar, mau bermusik dan olahraga itu juga benar.


 

Apakah mereka semua kemudian lolos test masuk Todai dan meruntuhkan persepsi masyarakat tentang SMU Ryuzan? Tonton sendiri dramanya!


 

Drama ini penuh dengan konflik. Konflik psikologis maupun konflik antar tokoh. Tapi jangan membayangkan anda akan melihat konflik seperti sinetron Indonesia. Tidak ada sama sekali konflik seperti itu. Hampir 90% isinya adalah strategi belajar menghadapi test masuk Tokyo University (Todai). Hampir semua materi Quantum Learning masuk kesini. Tapi tentu saja tidak membosankan karena sangat kaya dengan ramuan konflik dan penyelesaian yang sangat cerdas dan nyentrik.


 

Menurut saya drama ini masuk kategori wajib tonton bagi para guru, siswa, yang mau menghadapi test maupun buat siapa saja yang ingin melakukan perubahan. Sama wajibnya dengan membaca Toto Chan, novel karya Tetsuko Kuroyanagi yang menjadi bacaan wajib pelajar di jepang.


 

Ujian adalah dialog. Dialog dengan orang lain dan dialog dengan sendiri. Peserta ujian yang lain bukan musuh. Jangan pikirkan mereka.

Thursday, February 4, 2010

Dia Punya Otak Tidak Kasi Main!!!

Salah satu keuntungan tinggal di kota pelajar yang mahasiswanya datang dari sabang sampai Merauke adalah saya jadi bisa mendengar dan sedikit-sedikit tahu bahasa masing-masing daerah. Saya jadi tahu sedikit bahasa Ambon, Papua, Flores, Makassar, Madura, Aceh, Sunda, Tetun (Timor Leste) dan agak banyak bahasa Jawa. Itu baru bahasa yang mayoritas dipakai loh ya. Kabarnya, di NTT sana, beda desa bisa berbeda bahasa. Tetapi biasanya mereka punya bahasa daerah yang menjadi pemersatu. Istilah linguisticnya Parole (benar parole ya?). Dan tentu saja semua bahasa itu mempunyai karakter yang jauh berbeda dan mewakili karakter budaya daerah mereka masing-masing. Dari sekian bahasa yang saya dengar, saya suka mendengarkan orang-orang dari Indonesia Timur bertutur. Logatnya yang khas, struktur kalimat yang sepertinya berbalik dari struktur kalimat yang biasa dipakai oleh penutur di Indonesia tengah dan Barat dan intonasi mereka yang khas membuatnya sangat mudah dikenali. Unik.


 

Ketika kerja part time zaman kuliah dulu, customer saya kebanyakan berasal dari NTT, Timor Leste dan Papua. Saya sering sengaja menyimak percakapan mereka dan menebak-nebak artinya. Nah, diantara semua operator warnet di tempat saya bekerja, saya lah yang paling bisa mengerti pembicaraan mereka. Teman-teman saya sering kebingungan dan mesti nanya dan menyimak berulang-ulang untuk mengerti apa yang mereka katakan. Padahal mereka berbicara pakai bahasa Indonesia loh ya… tapi, ya itu tadi, struktur kalimatnya membuat teman-teman saya susah menangkap maksudnya.

"Minta tolong ini dikasi print kakak. Logo kasi tambah dari komputer. Ada kah?

"Sa mau kirim sa punya foto tara bisa. Kaka tolong saya" eh, belakangan ketahuan ternyata nggak punya email.

"sapu teman tanya fb saya.Sa buka tara bisa. Error terus" oalah, gimana mau punya FB Mas, wong Masnya nulis www.fb.com. Yah, not going anywhere deh…!


 

Kalau anda pernah nonton film denias, percakapan mereka sama seperti itu tapi dengan intonasi yang lebih alami, lebih cepat maksudnya. Ditambah lagi, banyak kata-kata yang dihilangkan.


 

"Sa tra tahu dia su datang apa belum" (saya tidak tahu dia sudah dating atau belum)

"sa pi tinggal dulu ambil flash disk. Sebentar teman saya datang"


 

Nah, teman kos saya sekarang kebanyakan berasal dari Papua dan Ambon. Tetangga kiri dan kanan dari Ambon, tetangga atas (lantai dua) berasal dari papua dua-duanya.


 

Suatu hari saya balik dari jogging dan mendapati rumah dalam keadaan sepi. Sebagian Penghuni sudah berangkat ke tempat aktifitasnya masing-masing dan sisanya lagi masih asik dengan selimutnya masing-masing. Melangkahkan kaki memasuki ruang tengah kok saya mendengar gemericik air yang tidak biasanya saya dengar. Saya hafal banget suara air yang jatuh ke penampungan di samping kamarnya Roni, mahasiswa magister asal Papua itu. Tapi suara ini bukan suara air yang jatuh ke bak penampungan alias tandon. Suaranya gemericik kayak air terjun kecil di tengah hutan dekat rumah saya di Bima sana.


 

Bergegas saya menuju kamar saya di bagian belakang rumah induk yang dihuni keluarga Ibu kos. Dan tadaaa….!


 

Terhamparlah pemandangan nan indah di depan mata saya. Pemandangan yang membuat saya selalu kangen sama desa saya yang di pinggir hutan itu. Ada air terjun yang jatuh di tangga berundak yang menuju lantai dua. Sebagian airnya jatuh lurus mengikuti alur tangga sebagian lagi membentuk aliran ke samping dan keluar dari tangga dan jatuh di taman di depan kamar saya. Rupanya air terjun inilah yang bergemericik ketika saya memasuki rumah tadi. Segera saya menuju ke depan kamar saya tempat sakelar untuk air berada dan mematikannya.


 

Pletak!! Aliran air yang mengisi tendon berhenti seketika tetapi air terjunnya masih terus mengalir.


 

Wah, gawat!!

Setelah erkesima dengan air terjun itu saya tersadar. Kalau airnya sampai turun tangga begini berarti dia juga mengalir kemana-mana dulu dong di lantai atas sana. Segera saya berlari melewati air terjun tadi menuju kamarnya Roni. Pintunya tertutup rapat dan jelas sekali kawan, airnya mengalir sampai jauh memasuki celah di bawah pintu kamar anak Papua yang malang tersebut.


 

Saya gedor kamarnya sambil teriak-teriak.

"Bang Roni..!!bangun oii!!

"Bangun!! Kamarnya kebanjiran tuh!


 

Tak seberapa lama pintu kamar terbuka dan kepala Bang Roni yang tampangnya ternyata lebih keren dari Ne-yo dan Chris Brown itu melongkok keluar. Matanya masih merem.

"Ada apa?

Saya hanya bisa menatapnya dengan muka iba seraya menunjuk ke lantai kamarnya.

"Haaa…!!!!!

"Siapa yang kasi hidup itu air"

"Nggak tahu Bang, saya baru nyampe!

"Siapa itu?!! Tidak kasi main dia punya otak!!


 

Saya langsung ngacir ke kamar saya sambil menahan tawa mendengar kalimat terakhirnya itu.

Jadilah hari itu Bang Roni dan Reu, anak yang punya kamar di depannya yang juga kebanjiran itu seharian mengangkut semua barangnya keluar kamar dan menjemurnya di atap. Mulutnya terus saja merapal kalimat keren itu.


 

"Tidak kasi main itu punya otak!!


 

Wajarlah Bang Roni sedongkol itu. Seluruh kamarnya digenangi air semata kaki, buku-bukunya banyak yang basah, dan tentu saja kasur yang digelar di atas karpet di lantai itu ikut terapung juga. Dan ini yang ketiga kalinya dia kebanjiran seperti ini. Untunglah laptop dan TV ada di atas meja tidak terjangkau banjir lokal itu.


 

Mulai saat itu, "Tidak kasi main itu punya otak" menjadi umpatan favorit kami anak-anak Akono, anak kos Bu Warno.


 


 


 


 

Tuesday, February 2, 2010

Nggahi Sambori a.k.a Bahasa Sambori

Sorry, untuk posting kali ini, netter non Bima alias bukan orang Bima, kena roaming sedikit ya?


 

Fragmen 1

A        : Lao kai ko rambe?

A, B, dan C    : Lao todo uma la hami.

         Oe lao kai ko?

A        : Rae lao sawari uma la Rangga.


 

Fragmen 2

Ina Maria     : Cola apa ko marju?
Marju        : Wara tolu manu we?

Ina Maria    : Wara. Cola saunebe?

Marju        : Sowo mbua.

Tiba-tiba datang Mifta.

Mifta        : ee, Marju. Wara tugas ru kelas emera ka wea ba pak Sedo?

Marju    : Ara wara na. Ame laonggu ka dangga-dangga tese dore tana inggi. Ando lu'u kai kelas ne.

Mifta    : nee, u'u ru? Alae, pacaru ate anewo. Lao to'I mpa ka dangga-dangga ura ame amborakile. Mbosa ate nggu rae ka tana'o lo'o ne le.

Marju    : ma dusa unube ko emera ne ke. Kone ame inggine nonto ba lako me'e sangguna ipi. Nce palai nggurae ka lao ka ne'e roci kai rento due. Painewo ngaka na pak sedo nce.kari pa kari baa me untu ndese rento hadu na kiro kone loko ne.

Mifta    : da dusa unebe te. Nce dabae eme rae, kari unebeni guru ka nonto ba lako ne. ile batu ambora ki, mpewa ba rae lakoneke na kakae-kae!


 

Bahasa apakah gerangan yang dipakai oleh A, B, C, Marju, Ina Maria dan Mifta dalam percakapan diatas?Tau tak??


 

Haha…tenang! Itu bukan bahasa alien. Bukan pula bahasa yang dipakai di Negaranya Dayana Mendoza. Rihanna juga nggak make bahasa kayak gitu kok.

Terus bahasa apa dong?

Itu adalah bahasa Sambori, salah satu rumpun bahasa Bima yang dipakai di Desa Sambori, sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Lambitu, sebelah timur kota Bima. Desa ini sekarang masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Lambitu, sebuah kecamatan baru hasil pemekaran dari kecamatan Wawo. Bahasa Sambori bukanlah dialek bahasa Bima (Nggahi Mbojo) melainkan sebuah bahasa yang sama sekali berbeda dengan bahasa Bima.


 

Bahasa Sambori juga dipakai juga oleh penutur masyarakat desa di kecamatan Lambitu dengan dialek yang berbeda-beda di tiap desanya. Dialek disini bukan berarti logat (aksen) seperti pemahaman masyarakat umum. Dalam Ilmu linguistik, dialek adalah varian dari sebuah bahasa. Perbedaan dalam varian bahasa Sambori bukan hanya perbedaan dalam hal pengucapan tetapi juga dalam kosa kata. So, itu memang dialek bukan aksen. Dialek-dialek itu adalah bahasa sambori dialek Kuta (melingkupi , Kuta, Dengga dan Kaboro dengan aksen berbeda), (melingkupi teta, Londu dan Oi Wau dengan aksen berbeda), dan Tarlawi.


 

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Sambori adalah bahasa Asli dou Mbojo (orang Bima) akan tetapi sampai saat ini saya belum mendapati literature sejarah atau hasil penelitian yang membuktikannya.


 

Banyak teman-teman saya termasuk saya sendiri yang gagap berbahasa Bima karena terbiasa bertutur dengan bahasa ibu kami yaitu bahasa Sambori. Makanya, ketika berbicara dengan penutur bahasa Bima saya lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Itu karena saya tidak pernah bermukim lama di Bima. Setelah SMP saya langsung melanjutkan sekolah saya di Mataram. Gagap bahasa Bima ini sering menghinggapi teman-teman saya. Mereka sering split menggunakan bahasa Sambori ketika berbahasa Bima dengan penutur Nggahi Mbojo. Bahkan saudara-saudara saya yang sekarang tinggal di Bima masih sering split. Makanya mereka lebih memilih untuk bertutur memakai bahasa Indonesia.


 

Kalau saya sendiri sih, sudah lancar banget bertutur memakai bahasa Bima. Ini buah dari pergaulan saya dengan teman-teman Bima ketika SMA dulu. Tapi ya itu, masih sering saja saya split sehingga sering switch ke Bahasa Sambori.


 

Nah, bagi anda penutur non-sambori yang bisa menerjemahkan teks tadi dengan benar bakal dapat hadiah dari saya. Anyone?