Thursday, August 19, 2010

Pontianak 3# Sotong Pangkong, Teh Es dan Kecap Ayam


 

Saya tergesa menuruni eskalator di Mega Mall Pontianak begitu azan maghrib terdengar. Tujuan saya adalah gerai Es Teller di ground floor. Saya ingin berbuka dengan semangkuk Es Teller yang segar itu sore ini.


 

Sambil menikmati Es Teller saya perlahan, saya memasang telinga mendengarkan pembicaraan para pengunjung maupun para pelayan yang sibuk menyiapkan pesanan pengunjung yang lumayan ramai sore ini. Saya selalu suka mendengar logat Melayu yang lembut mendayu. Saya langsung teringat potongan-potongan percakapan Upin dan Ipin daam film kartun besutan Malaysia yang digandrungi di tanah air. Kalau ada perempuan yang ngomong, pasti saya langsung teringat sosok kak Ros. Dan kalau perempuan yang sudah tua bicara, saya langsung ingat atuk.


 

Tiba-tiba datanglah serombongan ABG yang langsung berkerumun melihat daftar menu. Seorang cewek langsung meneriakkan pesanannya.


 

"Kecap Ayamnya satu kak"

Hah? Kecap ayam? Makanan macam apa pula lah itu?


 

Yang satu kemudian meneriakkan pesanan minuman yang juga langsung membuat telinga saya terbuka lebih lebar.


 

"Teh es dua!

Nah, kalau ini saya tahu. Soalnya, teman saya Ridho mengucapkan pesanannya persis sama dengan ABG tadi ketika pertama kali ke Malang. Teh Es adalah sebutan untuk Es teh. Dan kecap ayam pastilah ayam kecap kan?


 

Es Teller di mangkuk saya sudah tandas, licin. Porsinya terlalu kecil buat saya. Rasanya pun jauh di bawah es Teller favorit saya di Malang. Mana harganya mahal pula. Untuk semangkuk Es Teller dan sebotol mini air mineral, saya harus membayar 20 ribu rupiah. Eits....! ini ramadhan Erik, syukurilah makanan yang kamu makan. Oke deh, alhamdulillah ya Rob, Es tadi telah menyegarkan tenggorokan hamba. Tapi, harganya terlalu mahal ya Robb!

Sotong Pangkong

Sejak mendengar nama makanan ini saya langsung penasaran ingin mencoba mencicipinya. Katanya, ini khas pontianak banget. Tapi kok teman kantor saya, ada yang tidaj tahu rupa makanan ini. Apalagi mencobanya. Padahal dia asli Pontianak loh.


 

Sepulang taraweh di masjid kecil beratap sirap khas Melayu dengan menara kayu dan dinding kayu berukir di dekat Pontianak Convention Center, saya langsung menghampiri penjual Sotong Pangkong di dekat kantor saya yang sedang raai dikunjungi pembeli.


 

Penjualnya menawari saya pilihan Sotong Pangkong yang 5 ribu rupiah per buah atau yang sepuluh ribu rupiah. Saya memilih membeli dua Sotong pangkong dengan yang 5 ribu rupiah per buah. And do you know what Sotong pangkong is?


 

Sotong adalah sebutan masyarakat Pontianak untuk ikan cumi-cumi. Sedangkan pangkong adalah sebuah aktifitas memukul-mukul dengan palu. Nah, sotong pangkong ini adalah, cumi-cumi kering yang digongseng kemudian dipangkong sampai pipih. Cara memakanya, sotong pangkong dicelupkan ke dalam saos yang serupa dengan saos cilok di jawa. Seperti apa rasanya? Lumayan sih. Sama dengan makan cumi-cumi kering bakar yang biasa dibawakan oleh teman saya yang suku bajo dari Sepeken itu. Yang beda hanya sausnya saja.

Akhirnya, kesampaian juga saya makan sotong pangkong alias cumi-cumi bakar itu. Lumayan buat senam mulut. Tahu sendiri kan bagaimana mengunyah cumi-cumi kering? Makanya, biar nggak alot, makanan ini harus langsung dinikmati selagi hangat.

Pontianak 2# Ke Kantor Naik Pelampung

Pagi-pagi sekali saya sudah berbaur dengan para penduduk pontianak yang sudah memenuhi jalan berkendara ke berbagai tujuan di kota ini. Ada koko-koko dan cici-cici yang berboncengan menuju pasar. Sayuran dan buah segar hasil tangan dingin dan kerja ulet para chinese petani (di sini lebih dikenal dengan istilah "Cina kebun") tampak tersususun rapi di lapak-lapak pinggir jalan. Di seberang jalan sana saya melihat sekeluarga Chinese berpakaian rapi sedang menyetop bus jurusan Pontianak-Serawak. Bus eksekutif dengan tujuan Brunei Darussalam juga tampak melaju dari arah jembatan. Pedagang pakaian second hand mulai menata dagangannya menyambut para pembeli. Semua tampak sibuk. Di atas boncengan Honda Win 100 yang melaju perlahan saya merekam semua aktifitas di sekeliling saya dengan antusias. Kemacetan segera saja terjadi akibat dari kendaraan yang memadati jalan dengan berbagai macam tujuan itu.


 

Membayangkan kemacetan yang akan terjadi sepanjang jalan menuju seberang (sebutan untuk pusat kota yang memang berada di seberang sungai), Ridho segera saja membelokkan motor ke arah pinggir sungai. Untuk menghemat waktu, kami akan naik Ferry saja ke seberang. Memang lebih hemat, karena menyeberang dengan ferry hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Satu kendaraan dikenai Rp. 4.000 sekali naik ferry. Sedangkan kalau kami harus melewati jalan darat, waktu tempuhnya lebih lama arena harus memutar dan melewati dua jembatan panjang. Belum lagi kemacetan yang biasanya mengular ditambah dengan pengendara sepeda motr yang sangat tidak kenal rambu-rambu lalu lintas. Serobot sana-serobot sini dan berbelok seenaknya tanpa memberi tanda.


 

Dari atas ferry saya bisa lebih leluasa memperhatikan semua aktifitas di sungai yang menjadi jalur pelayaran nasional ini. Rumah-rumah kapal dengan penghuninya yang sedang sibuk beraktifitas pagi; madi dan mencuci dari atas kapal mereka. Para laki-laki chinese dan abang-abang melayu eksotis memenuhi 'anjungan mandi' dengan tubuh hampir telanjang. Anjungan mandi adalah sebutan saya untuk bangunan semacam dermaga kecil yang terbuat dari kayu sebagai tempat warga pinggi sungai melakukan aktifitas mandi dan mencuci. Anjungan speed boat yang sedang tertambat di pinggir sungai pun tidak luput menjadi tempat seorang perempuan melakukan aktifitas yang sama dengan kaum lelaki tadi.


 

Sementara itu perahu-perahu motor tempel seukuran perahu dayung bolak-balik mengantar penumpang yang ingin berbelanja ke pasar yang terletak di pinggir sungai di seberang sana. Hmm...saya ingin sekali mencoba naik perahu seperti itu menyusuri sungai ini.


 

Istana Qadariyah, istana kesultanan Pontianak tampak berdiri megah di atas tanggul tepat di persimpangan sungai Kapuas. Atap khas rumah melayu yang dimiliki mesjid istana tampak mencolok sekali terlihat dari anjungan ferry tempat saya berdiri. Sebuah tempat mengendalikan pemerintahan yang sempurna untuk sebuah peradaban sungai di masa lampau. Menurut sahabat saya, Ridho, kita bisa menyewa perahu-perahu motor kecil yang banyak tertambat di sepanjang sungai ini untuk river tour sepanjang sungai ini. Dan biasanya, para pengunjung memasukkan istana Qadariyah sebagai salah satu menu river tour ini.


 

Merapat ke dermaga kecil di seberang, saya langsung disambut oleh bangunan-banunan tua yang semakin mengokohkan ketuaannya dengan lumut-lumut yang menepel di tembok rumah. Begitu juga dengan rumah-rumah kapal dengan penghuninya yang tampak sedang bersantai menikmati pagi. Kapal yang merapat langsung disambut oleh arus penumpang yang ingin ke seberang.


 

Ternyata, di balik gedung-gedung tadi membujur jalan raya yang mengubungkan pelabuhan dengan pusat kota dan bagian-bagian lain kota ini. Dengan berkendara sebentar, sampai lah saya di kantor.

"Naik apa kesini Mr. Erik?"

"Naik Ferry"

'Ooo...naik pelampung!

"hah..???


 

Woalah, ternyata pelampung itu sebutan oarng-orang disini untuk kapal ferry. Padahal kapalnya sebesar ferry yang menghubungkan banyuwangi dan bali loh. Masih baru pula. Tidak seperti ferry Ketapang-Gili Meno yang tua seperti kaleng rombeng itu. Yah, begitulah. Hari pertama ke kantor, saya naik pelampung!

Monday, August 16, 2010

Pontianak #1; Love at the First Sight

Saya sampai di kota ini hampir tengah malam. Jadi, saya tidak bisa melihat banyak dalam remang-remang kota. Tapi yang pasti, kota ini mempunyai banyak sungai dan kanal. Itu saya simpulkan karena dalam perjalanan dari pelabuhan ke rumah sahabat saya, Ridho, saya melewati beberapa jembatan besar dan kecil beserta kanal-kanal kecil di kiri kanan jalan.


 

Keesokan harinya lah saya baru bisa melihat kota ini secara jelas. Hal yang paling menonjol adalah jalur sungai Kapuas yang membelah kota. Selain sungai Kapuas, sungai besar yang membelah kota ini adalah sungai landak. Makanya, untuk mencapai rumah sahabat saya itu, saya harus melewati dua jembatan panjang. Selain sungai besar tadi, hampir di kiri-kanan setiap jalan terdapat kanal-kanal (mau dibilang parit, terlalu besar) kecil.


 

Saya membayangkan kanal-kanal dan sungai di kota ini ditata dan dijadikan wahana wisata seperti kota air Venesia. Pasti tidak kalah cantik. Lagu opera yang dinyanyikan oleh mas-mas pendayung Italia itu diganti dengan dendang Melayu dengan iringan akordion. Wuihh....eksotis banget deh!


 

Tata kotanya hampir-hampir sama dengan kota Samarinda di Kalimantan Timur. Bedanya, Samarinda hanya dibelah sungai Mahakam sedangan Pontinak selain dibelah oleh sungai Kapuas juga dilintasi oleh sungai-sungai kecil dan kanal-kanal yang bejibun. Kalau di Samarinda, ada jalan besar yang langsung menyusuri sungai, disini tanggul sungai dipenuhi oleh bangunan.


 

Satu lagi yang membuat kota ini benar-benar unik adalah keberadaan etnis Cina yang begitu mendominasi. Di sepanjang jalan pasti bisa dijumpai koko-koko dan cici bermata sipit. Bedanya dengan etnis Cina di Jawa, chinese di Pontianak sangat berbaur. Profesi mereka pun bermacam-macam. Mulai dari petani, buruh pabrik, tukang becak sampai tauke-tauke besar. Dan tentu saja mereka adalah penguasa Ekonomi disini. Hanya di Pontianak saya melihat koko-koko putih bermata sipit sedang memanggul sayuran dari kebun atau mandi pagi di tepi sungai Kapuas. Begitu juga di sekolah umum yang menjadi client kantor saya, saya mendapati beberapa guru yang beretnis Cina. Agak susah juga sih membedakan mana etnis cina dan mana yang etnis dayak. Maklum, kulit dan mata mereka serupa. Putih-putih dan sipit. Tapi kata teman saya, kulit etnis dayak putihnya beda. Lebih pucat.


 


 


 

Setelah mengobrol dengan salah satu penduduk lokal, saya jadi tahu mengapa tiket pesawat dari Jakarta maupun Surabaya dengan tujuan Pontianak menjadi mahal gila. Rupanya ini high season karena Chinese yang ada di Jakarta dan Surabaya ramai-ramai mudik ke Pontianak untuk sembahyang kubur. Sebuah ritual rutin dua tahunan.


 

Dengan jumlah etnies Cina yang begitu banyak, jumlah warga Muslim di Pontianak hanya sekitar 52%. Itu yang saya dengar dari kajian di sebuah masjid yang saya ikuti pada hari kedua saya tiba di kota ini.

Hmm....saya masih punya waktu lebih dari 1 bulan untuk mengeksplore kota ini lebih dalam. Saya rasa, saya jatuh cinta dengan keunikannya.


 

Road to Pontianak 1# Kapal Ekonomi dan Kapal Pesiar Ternyata Sama!

Saya sudah pernah menyaksikan potret masyarakat kebanyakan Indonesia melalui wajah kereta ekonomi. Dan menurut saya, itu sangat parah dan tidak manusiawi. Manusia berjubel dengan unggas dan barang yang bertumpuk-tumpuk yang melebihi muatan gerbong yang tidak berpendingin dengan perjalanan lebih dari 18 jam.


 

Ternyata pemandangan dalam kapal penumpang di dek ekonomi sebelas dua belas dengan pemandangan di kereta ekonomi. Dua belasnya kapal penumpang kelas ekonomi. Dalam kata lain, dek kapal penumpang ekonomi lebih parah. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana penumpang dengan anak-anak kecil kumal berjejal dalam dek yang panas dan pengap. Berasa masuk ke dalam bunker tentara jepang pada zaman penjajahan dulu (paling tidak seperti itulah yang saya tangkap dari cerita kakek saya). Bayangkan, menghabiskan waktu lebih dari 50 jam di dalam dek pengap dengan aroma bau badan yang beraneka ragam. Jangan tanya deh ada wangi Fahrenheit atau Higher Energy nya Christian Dior.


 

Bagaimana ceritanya saya yang selalu merasa "sok-bukan-kelas-ekonomi-mode-on" ini bisa terdampar ke dalam kapal penumpang kelas "bunker jepang" itu? Semuanya berawal dari tugas kantor ke Pontianak dengan dana pas-pasan dan harga tiket pesawat yang melambung tinggi sehingga menghempaskan saya ke dalam kapal penumpang kelas ekonomi.


 

Ketika memutuskan membeli tiket saja saya sudah merasa was-was. Menghabiskan waktu 2 hari 2 malam di tengah lautan dengan bayangan tenggelamnya kapal penumpang yang sering menjadi menu berita layar kaca, tidak pernah masuk dalam bayangan saya. Apalagi agen tiket itu bilang kalau selain kapal PELNI tidak ada yang berlayar dengan alasan gelombangnya sedang tinggi. Hhhh....makin bergidik lah saya. Saya hampir saja memutuskan untuk membeli tiket pesawat kalau di otak saya tidak terbayang barang-barang yang bisa saya beli dengan uang sebanyak itu. Ada sepatu Mas Yongki, jeans keren, jam tangan, parfum dan banyak lagi yang lainnya terus-menerus menyesaki otak saya.


 

Akhirnya toh saya harus tetap berangkat dengan kapal laut. Berbekal buku tebal, majalah berjibun, botol parfum di tangan dan Hand sanitizer beserta list mp3 yang sudah saya select, saya dan Ridho melangkah memasuki dek kapal. Dan tada....!


 

Saya langsung dihadapkan dengan penumpang yang bergelimpangan memenuhi dek ekonomi yang panas, berkabut karena asap rokok dan tentu saja sangat bau. Saya langsung shock membayangkan kalau saya harus melewati kondisi seperti itu selama lebih dari 48 jam.


 

Saya sangat beruntung karena tidak lama kemudian datang seorang ABK menawarkan kamar kepada kami. Akhirnya setelah merogoh-rogoh dompet dan mengucek-ngucek kantong kami menambah 125 ribu untuk bisa tinggal di kamar ABK dengan konsekuensi uang di dompet tinggal tidak lebih dari 20 ribu. Worth it lah! Saya jadi tahu ternyata ABK itu tinggal dalam kamar seperti dalam rumah biasa; ada kulkas, washtafel dan tempat tidur susun serta lemari pakaian. Tapi tetap saja tinggal dalam kapal dengan pemandangan ke depan biru, belakang biru, samping biru dan ke atas biru membuat saya merasa bete habis. Untunglah saya berhasil menghibur diri saya dengan merubah pandangan saya terhadap kenyataan seperti yang disarankan Mas Jack Canfield.


 

Saya mencoba menganggap ini dalam perjalanan liburan dengan kapal pesiar. Makanya saya berdandan dengan gaya liburan. Kaus V-neck berdada rendah, celana sebetis warna putih, sneaker putih, slayer di kepala yang dipadukan dengan topi fedora dan telinga yang dibekap oleh headset. Lumayanlah, saya bisa menghabiskan waktu di geladak dengan bacaan di tangan dan suasana santai seperti liburan walaupun berada di tengah lalu lalang penumpang yang dandanannya ya, gitu deh itu. Hasilnya saya mabok buku dan mabok music. Tapi toh saya akhirnya menghibur diri saya dengan kata-kata; Ternyata naik kapal ekonomi itu menyenangkan!