Sunday, August 5, 2012

It's Feeling, Stupid!

Ini masalah rasa bung! Karena rasa take pernah bohong. Itu adalah kata-kata yang menjadi highlight pada slide presentasi saya minggu lalu tentang customer treatment. Sebenarnya, saya tidak terlalu ahli dalam ilmu Marketing, apalagi yang spesifik seperti ini. Akan tetapi hal yang menyenangkan dari ilmu sosial adalah karena bidang ilmu ini adalah hal-hal keseharian yang kita alami. Oleh karena itu, kita Bisa langsung belajar dari kasus dengan langsung menyimpulkan. 

Ada prinsip sederhana dalam memperlakukan manusia, siapapun dia, termasuk costumer Anda. Semua orang ingin dimanusiakan, dalam bahasa Jawa sering disebut "wongke wong", memanusiakan manusia. Artinya, semua orang ingin diperlakukan layak. Terlebih lagi costumer Anda yang di otaknya sudah tertanam paham bahwa konsumen adalah raja. Bagaimana ukuran kelayakannya? Ukuran paling sederhana dan mudah adalah dengan memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. 

  It's Feeling, Stupid!. Ini masalah Rasa Bung!

Rasa tidak pernah bohong. Istilah ini sudah menjadi justifikasi umum untuk menempatkan rasa dalam posisi penting ketika berhubungan dengan orang lain, termasuk dengan costumer Anda. Ditambah lagi dengan perubahan karakter kostumer yang mengedepankan emosi dalam memutuskan untuk membeli sesuatu. Dan tentu saja keputusan untuk tidak membeli. Konsumen berbondong-bondong bermigrasi ke 'planet Venus', planet emosi. Planet rasa. Oleh karena itu, membuat pelanggan merasa nyaman dengan Anda adalah harus kalau produk Anda tidak ingin ditinggalkan. Rasa nyaman yang ditimbulkan dari interaksi dengan front office ataupun marketer Anda akan menimbulkan kesan bagus terhadap produk yang Anda tawarkan. Bagaimana cara menimbulkan rasa nyaman?

  Put Hospitality in First Thing!
Mengapa Bali lebih terkenal dan lebih diminati wisatawan dibandingkan daerah wisata lain di Indonesia? Lombok misalnya. Walaupun Lombok dan daerah-daerah lain mempunyai objek wisata yang lebih bagus dari Bali dan gencar berpromosi, kunjungan wisatawan ke Lombok tidak setinggi di Bali. Biasanya wisatawan ke Lombok hanya sekedar Karen penasaran denga ada apa di belakang Bali? What's beyond Bali? Atau juga sering hanya kunjungan sisa. Jawabannya lagi-lagi adalah masalah rasa, Hospitality. Hospitality adalah usaha kita untuk menciptakan rasa nyaman dalam diri konsumen kita.

Hospitality di Bali tidak hanya ditemukan di Hotel atau bisnis lainnya dalam genre service business. Ia telah menjadi karakter yang melekat dalam keseharian masyarakatnya. Ia ada dalam senyuman dan sapaan orang-orang Bali yang Anda temui di jalanan. Ia terangkum dalam paket interaksi Anda sehari-hari dengan orang Bali. Apalagi kesadaran masyarakatnya akan pentingnya pariwisata untuk keberlangsungan ekonomi mereka membuat karakter ini secara sadar dipelihara dan dipertahankan. Sangat mudah mendapati senyum di Pulau cantik ini. Mulai Anda menampakkan kaki di Ngurah Rai International Airport, sampai ketika Anda harus menawar barang-barang handicraft di Pasar Ubud. Mengapa senyum?

Senyum adalah ciri keramahan pertam yang tertangkap oleh orang lain dari diri Anda. Senyum adalah jembatan emosi pertama yang menghubungkan Anda dengan orang lain. Kalau mau orang lain menyukai Anda dan produk Anda, maka tersenyum lah!

 Berikan Lebih
Semua orang senang diistimewakan. Apalagi pelanggan Anda yang notabene sudah punya ekspektasi itu. Ingat film "The Confession of Shopaholic"?. Satu adegan yang paling saya sukai adalah ketika Rebbeca Bloomwood dalam sebuah gala dinner mengkritik dengan tajam dan nyeleneh seorang direktur Bank yang menurutnya bank nya sangat membosankan. Saran nyelenehnya itu sederhana. Rebbeca menyarankan agar Bank itu meletakkan payung warna warni dan lebih banyak pot bunga dengan kembang bermekaran di depan jendela dan teras kantor bank tersebut. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian calon nasabah dan membuat nasabah lama merasa betah. 

Saran sederhana dan nyeleneh itu ternyata ampuh. Nasabah bank tersebut bertambah. Direktur bank sangat berterima kasih dan memuji kejenuhan ide Rebecca. Strategi tadi tidak jauh-jauh dari usaha untuk 'merangkul' rasa konsumen. Merangkul mereka dalam rasa nyaman dan rasa gembira karena semarak payung warna-warni dan bunga-bunga tadi. 

You are the Ambassador!
Setiap orang dalam perusahaan adalah duta untuk perusahaan tersebut, termasuk duta untuk produknya. Perusahaan-perusahaan besar sangat strict dalam menjaga perilaku karyawannya karena mereka sadar bahwa orang akan menjudge tidak hanya pribadi orang tersebut akan tetapi juga atribut yang disandangnya. 

Anda adalah Ambassador produk Anda. Ketika Anda ingin kostumer Anda loyal dan merefleksikan produk Anda ke orang lain, buat mereka nyaman. Kenyamanan adalah varian rasa. Memberikan rasa nyaman adalah tugas semua orang dalam perusahaan. Apalagi Anda yang bersentuhan langsung dengan pelanggan seperti front officer dan marketer. Karena Anda adalah duta dari rasa produk Anda. Sekali lagi, it's feeling, Stupid!

Thursday, August 2, 2012

Kisah Masa Kecil# Pohon Jambu, Bisnis, Karet Gelang dan Gundu


Kata bisnis menjadi salah satu trending word saat ini. Ada sekolah bisnis, bisnis online, kompetisi bisnis, pelatihan bisnis. Orang tua ingin anaknya terbiasa sejak dini. Anak-anak muda berlomba-lomba memulai bisnis sendiri. Bisnis orang-orang muda yang berhasil banyak menghiasi profil majalah majalah bergenre ekonomi. Begitu juga acara-acara TV. Singkatnya bisnis tidak lagi menjadi kata elit yang berhubungan dengan kaum berdasi seperti saat sebelum krisis melanda pada era 98. Menurut ilmu sosiolinguistik sih, kalau salah satu kata menjadi trending topik, itu artinya hal yang berkaitan dengan kata tersebut memegang peranan penting dalam sebuah masyarakat. Pokoknya, bisnis itu penting banget.


Saya sedang tidak menulis tentang panduan how to membangun bisnis ataupun meraup untung seperti yang banyak menjadi trend buku di toko-toko buku. Saya ingin bercerita tentang bagaimana bisnis dalam masa kecil dulu. Saya teringat bagaimana orang tua mendidik saya karena dalam salah satu sesi Workshop, coach bisnis saya menyampaikan kalau salah satu kunci sukses dalam berbisnis adalah 'mental skill'. Dan itu bawaan didikan sejak kecil, pengaruh lingkungan dan benturan keadaan. 


Ibu saya mempunyai rumah dengan halaman yang luas. Sejak kecil, kami anak-anaknya mempunyai bagian masing-masing atas pohon buah-buahan di halaman yang lebih menyerupai hutan saking rimbunnya. Selain anaka jenis rumpun pisang, pohon kelapa, belasan batang nangka, kami mempunyai cukup banyak pohon jambu. Nah, masing-masing saya, kakak dan abang saya mempunyai satu pohon jambu andalan yang kami jaga layaknya harta yang berharga. Kalau salah satu di antara kami memetik jambu tanpa seizin empunya, bisa dipastikan perang besar akan terjadi. 


Pada suatu musim jambu, pohon jambu milik saya dan kakak perempuan saya tidak berbuah lebat selebat pohon jambu milik abang kami yang berpohon kokoh berdampingan dengan pohon nangka di belakang rumah. Buah-buahnya yang montok dan ranum tentu saja mengundang anak-anak nakal untuk mencicipi tanpa izin. 


Abang saya pun memperketat penjagaan terhadap pohon jambunya. Akan tetapi Ia tidak bisa stand bye sepanjang hari menjaga pohon jambunya. Maka, sekuriti untuk membantu penjagaan perlu direkrut. Setelah lowongan domestik terbatas dibuka, maka kakak perempuan saya lolos fit and properti test untuk menjadi sekuriti menjaga aset bisnis abang saya. Dan tahukah Anda berapa gajinya? Gajinya sangat menggiurkan, 3 buah jambu per hari. Hahaha ha! Padahal kalau kami mau, kami Bisa mendapatkan jambu berkepanjangan-keranjang dari kebun kami yang lain atau dari pohon jambu liar yang memenuhi bukit di pinggir desa. Akan tetapi, saya menganggap itu adalah kemampuan abang kecil saya untuk memimpin karyawan. Oh ya, waktu itu abang dan kakak saya masih SD dan saya belum bersekolah.


Ketika ada pohon pisang yang menunjukkan tanda-tanda siap dipanen, kami biasanya membagi rata. Buahnya diolah sesuai kehendak masing-masing. Kakak perempuan saya bersaing dengan abang saya membuat pisang goreng dengan tangan mereka sendiri dan menjualnya dari rumah ke rumah. Sore hari, uang penjualan dihitung dan dimasukkan ke dalam celengan tanah. 


Saya juga, walaupun belum mulai berjualan mempunyai celengan tanah. Akan tetapi umurnya tidak pernah lama karena saya selalu mengoreknya untuk jajan. Kadang saya membuat skenario yang membuat celengan itu jatuh dan pecah dengan alasan yang sangat-sangat tidak profesional; jatuh disenggol kucing! 


Ketika, saya mulai masuk SD, saya tidak sabar untuk memulai berjualan juga. Maka, saya membawa permen dalam toples untuk dijual kepada teman-teman sekolah. Dagangan saya cepat habis! Tapi bukan karena banyak yang beli. Saya sendiri yang keseringan memasukkannya permen-permen itu ke mulut!


Semasa SD, dagangan saya bermacam-macam. Ketika semua murid dilatih untuk menulis tegak bersambung, saya berjualan buku halus (nama buku tulis untuk latihan menulis indah). Hal yang paling saya suka adalah ketika musim bermain karet gelang dan gundu melanda desa. Itu adalah saatnya saya jualan karet gelang dan gundu. Saya pun pergi ke kota untuk beli karet gelang dan gundu. Seringnya sih titip ke ibu. Kemudian, karet gelang itu saya kemas dalam satu rangkaian berisi 10 karet gelang. Namanya anak desa, uang jajan bukan hal yang lumrah. Maka, transaksi pun menggunakan sistem barter berupa biji kemiri atau bawang putih. 10 biji kemiri biasanya ditukar dengan 1 rangkaian karet gelang atau satu buah gundu. Ketika dagangan saya habis, terkumpul lah satu karung kecil kemiri. Kemiri itu saya jual kepada pengepul. Senangnya ketika lembaran-lembaran uang itu saya pegang. Musim bermain ketapel, saya berjualan karet ketapel. 


Memasuki bangku SMP, saya jarang berdagang. Akan tetapi celengan saya terus bertambah dari hasil berjualan ayam. Iya, saya beternak ayam kampung yang dagingnya tidak pernah saya nikmati sendiri karena saya tidak tega melihat mereka disembelih. Kalaupun disembelih, saya akan pergi jauh dari rumah agar tidak melihat ayam-ayam kesayangan saya disembelih dan dipotong-potong. Pada saat SMP saya lebih banyak mengurus ternak sapi saya yang ternyata beranak pinak. Iya, saya adalah anak gembala kecil sejak masih SD. Ternak-ternak inilah yang terus mengisi celengan saya yang sudah bertransformasi menjadi rekening bank. Karena saya mempunyai tabungan sendiri, barang-barang saya selalu lebih keren dari siapapun di satu sekolah waktu itu. Hobi jual-jual itu berlanjut sampai saya sekolah di Boarding School. 



Mengingat kisah masa kecil itu, saya sangat kagum terhadap cara ibu saya mendidik kami bertiga. Beliau sangat mampu sebenarnya memenuhi kebutuhan kami bertiga. Toh, selama itu kami tidak pernah kekurangan. Beliau rupanya ingin mendidik kami menghargai uang, bagaimana merasakan manisnya uang hasil keringat sendiri. Beliu sendiri berbisnis berbagai macam jenis usaha walaupun hanya sampingan. Sampingan dari menjadi buru dan petani desa.