Monday, March 3, 2014

Singapore City Tour; Clarke Quay in My Mind

Langit sore perlahan-lahan memudar menuju gelap. Angin bertiup sepoi-sepoi cukup membawa kesegaran setelah beberapa saat terjebak di ruang-ruang bawah tanah stasiun MRT dan pusat perbelanjaan, The Central. Lampu-lampu kota mulai menyala. Ramai pengunjung yang memenuhi pinggiran Riverside di Clarke Quay menambah semarak sore di pinggiran Singapura river. Beberapa laki-laki muda dengan tampang kaukasia berjalan santai menyandang tas dengan es krim di tangan. Negara ini telah menjadi tujuan pemuda-pemuda negeri barat untuk memulai karir internasional. Tampang India, Bangla, Chinese dan Melayu bercampur dengan lalu lalang wajah Thai dan Vietnam. Para laki-laki dengan balutan kostum Sport dari Nike dan Adidas berlari-lari di sepanjang jogging track di antara lalu lalang wisatawan dan melewati deretan meja-meja restoran yang bertebaran di sepanjang sungai. Campuran aroma parfum yang semerbak dari para  laki-laki wangi tersebut bercampur antara spices, woods, flowers, fruits, dan entah apa lagi. Entah datang dalam kemasan Bvlgary, Armani, Lacoste, Hermes, atau Dior. Entah membawa nama merek mana lagi. Semua ramai menghampiri pembauan saya yang sangat sensitif mengendus wewangian lelaki yang terkirim lewat perantaraan angin senja di tepian sungai ini. Satu yang melekat dalam otak saya; semerbak wangi urban. Beginilah aroma udara urban yang meruap dari badan laki-laki dan perempuan negara berpenghasilan tinggi. Aroma udaranya saja sudah meruapkan kemakmuran. 

Bangunan antik dalam kemasan modern Swiss Merchant Hotel di depan saya menyiratkan bagaimana negara ini menjaga bangunan-bangunan bersejarah agar tetap menjadi bagian keindahan negara kota yang modern.  Semua menyatu dalam kemasan cagar budaya lampau yang terkemas apik berdampingan dengan kehidupan modern. Berjalan menyeberangi Read Bridge seakan diajak untuk kembali meneluri sejarah Temasek masa lampau. Bangunan-bangunan tua yang terjaga apik berdampingan dengan bangunan berarsitektur modern dalam wujud shopping mall, apartement dan taman-taman yang berdampingan menyumbang harmonisasi suasana. Pemusik jalanan melantunkan balada tepat di tengah Read Bridge di antara lalu lalang pejalan kaki dalam senja yang mulai temaram. Flash kamera pijar memijar dari gadget-gadget canggih dan lensa-lensa kaliber tinggi. Semua ingin mengabadikan sore yang rancak di tepian Singapura River di Clarcke Quay. 

Negara ini sangat berhasil menjaga cagar budaya menjadi aset wisata yang menguntungkan. Jembatan tempat saya duduk ini adalah Read Bridge yang dibangun pada masa penjajahan Inggris tahun 1888. Pada waktu itu hiduplah seorang saudagar yang bernama William Henry McLeod yang berhasil mengajukan petisi kepada kerjaan Inggris agar Temasek diposisikan langsung di bawah Kerajaan Inggris sebagai Crown Colony.  Untuk mengenang kebesarannya jembatan yang dibangun menggantikan Merchant Bridge yang terlalu rendah untuk dilewati tongkang-tongkang yang berlayar di Singaporean river inipun dinamakan dengan mengikuti namanya, Read Bridge. 

Menuju gelap hentakan irama Timur tengah dari restoran-restoran dan bar beraroma padang pasir di sepanjang  kompleks restoran di Clarke Quay semakin rancak. Meja-meja restoran di sepanjang sungai maupun di dalam mall dipenuhi orang-orang dengan pakaian terbaik. Komplek bangunan restoran ini adalah bangunan-bangunan toko dan loji tua tempo dulu yang masih terjaga bentuk aslinya di bawah atap konstruksi yang futuristik. Perpaduan yang menarik. Suasana ini sangat kontras dengan kota yang baru beberapa jam yang lalu saya tinggali. Beda Negara memang beda nasib walaupun berangkat dari sejarah yang mirip dan berada di wilayah yang berdekatan. 

Otak saya membawa saya dalam ingatan tentang Asian Century dan ASEAN Community yang saya paparkan di depan ratusan mahasiswa dan pelajar di kota Batam sana, kota dengan jarak tempuh kurang dari 1 jam dari sini. Melihat bagaimana kondisi negara ini dan membandingkannya dengan negara di mana kota yang baru saya tinggalkan berada, rasa-rasanya negara ini akan menang telak dalam kompetisi yang dihasilkan oleh free flow of everything yang menjadi implikasi dari skema kerjasama negara-negara ASEAn dalam platform ASEAN Community. Tentu dengan beberapa negara dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang u ggul seperti Malaysia dan Thailand. Berbicara tentang free flow of people, aneka tampang yang mewakili berbagai macam ras di dunia ini sudah cukup mewakili bahwa arusnya tengah mengalir di negara ini. 

Mata saya beralih kepada sekelompok muda-mudi yang berdiri bergerombol di ujung jembatan. Kelihatannya mereka dalam rentang umur 20an. Umur-umur yang sedang meniti tangga karir. Yang menarik perhatian saya adalah fitur wajah mereka. Belasan pemuda yang masih dalam balutan kemeja kantoran tersebut mewakili beberapa ras kaukasia, dan Asia. Lihatlah, negara ini telah menjadi tempat bertemu berbagai macam ras dalam setingan profesional. 

Dalam balutan kemeriahan tepi sungai Singapura di Clarke Quay, saya semakin asyik terbawa dengan suasana dan pikiran saya sendiri, menyimpulkan simpul-simpul informasi yang saya dapat tentang bagaimana Asia yang tengah menjadi fokus mata dunia dalam sebuah nama optimis Abad Asia. Saya tengah menyaksikannya sendiri dalam suasana urban yang saya selami dari tadi. Lalu munyul pertanyaan dalam pikiran saya; bagaiaman dengan negara kita? Siapkah generasi bangsa kita menyambut Abad Asia? Siapkah pemerintah menyetir bahtera bangsa kita denga kebijakan-kebijakan yang unggul? Tentu saja pertanyaan  tersebut juga adalah pertanyaan untuk diri saya.