Saturday, November 1, 2014

Cerita Jogja; Mari, Ngopi Bareng saya di Lagani



Jarum jam baru menunjukkan angka 9, tetapi  hari sudah panas menyengat di Jogja. Persawahan dan kebun tebu di belakang rumah saya hanya menyajikan warna cokelat tanah retak dan rumput kering. Kemarau berkepanjangan membuat tanah-tanah kering mencipta debu yang diterbangkan angin. Salah satu alasan untuk malas beraktifitas di luar. Meja tulis saya yang menghadap dinding  yang seluruh bagian atas dindingnya adalah deretan empat jendela yang member saya akses pemandangan ke arah taman kecil yang tanamannnya tetap bertahan hanya karena saya sering menyeprotnya langsung dengan shower dari kamar mandi  setiap saya mandi pagi atau sore sangat nyaman untuk tempat mengerjakan tesis sebenarnya. Saya tinggal membuka pintu di samping meja dan pemandangan ke teras belakang yang penuh tanaman tersaji. Akan tetapi saya sedang tidak ingin berada di rumah dan mengerjakan thesis  di rumah hari ini. Godaan untuk turun ke dapur memasak ini itu terlalu beresiko. Saya akan pergi ke Lagani, kedai kopi favorit saya di Jogja.

Tetangga yang tinggal di Apartemen di lantai bawah sana bertambah satu orang, pemuda Rumania berpostur jangkung dan langsing, dan sangat tampan tetapi pacarnya, gadis Indonesia ala-ala itu berbetis buesar, kebalikan dari cowok Rumania yang berpostur langsing dan cool itu.. Sejak saya kembali dari Jakarta, mereka belum pernah berpesta yang selalu membuat gaduh sampai pagi lagi. Tapi Keponakan saya yang menginap di rumah ketika saya pergi ke Jakarta bercerita bahwa mereka pernah membuat pesta yang sangat gaduh sehingga membuat keponakan saya tidak bisa tidur sampai pagi. Dan tentu saja keponakan saya itu tidak berani menggedor pintu mereka dan meminta mereka untuk tidak gaduh seperti yang biasa saya lakukan. 


Oke, saya tidak akan bercerita tentang tetangga saya itu pada postingan ini. Saya akan bercerita tentang sebuah sudut di Jogja yang menjadi tempat favorit saya untuk sekedar menyendiri dengan bacaan, mengerjakan paper, bertemu teman-teman, meeting point buat bertemu teman baru dan sekarang tempat saya menulis tesis kalau saya ingin suasana baru. Kalau saya tidak sempat ngopi di rumah, saya juga datang ke sini untuk mengisi tumbler kopi saya dan membawanya ke kampus. Saya juga berusaha untuk membawa teman yang datang dari luar Jogja untuk menikmati secangkir kopi di sini.  Kadang-kadang saya hanya datang sendiri tanpa alasan-alasan  tadi dan duduk sendiri di kursi di balkon hanya untuk melihat orang yang lalu lalang di depan coffee shop, profiling satu-satu pengunjung coffee shop yang kebanyakan adalah mahasiswa asing baik yang sedang belajar di kampus-kampus di Jogja ataupun yang sedang belajar bahasa Indonesia di sekolah bahasa yang bertebaran di area ini.

Lagani, nama coffee shop ini begitu tenar di kalangan anak-anak muda Jogja terutama di kalangan komunitas kreatif muda dan para pencinta kopi. Berjarak satu blok dari Lagani tempat saya menulis ini, masih di jalan yang sama  ke arah barat anda akan mendapati Lagani yang lain, sebuah coffee shop masih dalam payung manajemen yang sama. Bangunan kedua-duanya sama-sama menyatu dengan distro dengan brand yang ekslusif, handicraft & fashion accessories shop dan tentu saja semuanya produk Indonesia.

Dalam postingan ini saya akan bercerita tentang satu lagani dulu, lagani yang tidak hanya menyajikan kopi tapi juga makanan berat seperti pasta, pizza dan berbagai menu ayam, makanya namanya lebih dikenal dengan Pasta Lagani . Dan menu favorit saya adalah menu sarapan tentu saja. Saya selalu menyukai sarapan, it’s my favourite meal time. Dengan harga yang sangat murah, saya sudah bisa mendapatkan satu menu sarapan dengan pilihan salah satu racikan kopi; cappuccino, Americano atau Coffee au lait.  Menurut pengamatan saya pengunjung biasanya datang untuk kopi dulu dan duduk berlama-lama sibuk di depan laptop atau membaca, atau  seru mengobrol dengan teman-teman. Baru kemudian ketika mereka lapar, mereka memesan makanan berat.  Sepertinya alasan utama datang ke sini adalah kopi dan ambience.  Perpaduan berbagai macam ras, buku-buku tebal, aroma kopi, percakapan dengan berbagai bahasa yang sahut menyahut membuat saya betah berlama-lama di sini. Kalau anda adalah orang yang merasa bahwa a man with book is sexy, anda akan orgasm di sini.

Pertama kali menemukan bangunan coffee shop ini saya langsung suka. Kursi-kursi berwarna hijau mengelilingi  meja putih bundar di teras depan yang terbuat dari kayu yang tidak dicat menggoda saya untuk mampir. Vas bunga  yang terbuat dari botol bening di atas tiap meja memberikan efek manis. Untuk sampai ke coffee shop, anda harus melewati tangga kayu yang akan membawa anda ke teras lantai dua.  Begitu saya membuka pintu kaca geser, saya langsung mendapati sebuah meja bar dari kayu bercat biru yang terkesan rustic di samping pintu . Salah satu dining dicat putih seperti hanya dikapur dengan bata yang tidak diplester dengan gambar tangan biji-biji kopi, rempah yang diselang-selingi dengn kata-kata positif.  Sebelah didnding yang lain dibuat dari jendela-jendela bekas dengan cat biru, putih dan tanpa kayu memberikan kesan retro sekaligus rusty. Ada beberapa mural yang mencolok di tembok  rungan yang lain yang dipisahkan oleh ruangan dengan sekat kayu dan kaca dengan pintu kaca. Rungan ini hanya diisi oleh satu meja panjang dengan delapan kursi dengan karpet yang mengalasi lantai. Mirip dengan sebuah dining room di rumah sendiri.

Sementara di ruangan besar berbentuk huruf L tempat bar berada terdapat sebuah tembok dengan  lemari kayu berkaca yang menempel di sepanjang sisi tembok. Lemari  tersebut diisi oleh barang-barang dari masa lampau seperti kamera LSR manual antik, mesin ketik tua, permainan-permain kartu lama, radio tua dan barang-barang lawas lainnya. Ada sebuah pemutar piringanhitam di atas meja.   Desain meja-meja di dalam ruangan in itidak seragam. Kursi-kursi yang mengelilingi meja di setiap ujung ruangan berbentuk peti kayu yang tidak dicat dengan sofa di sebelah yang lain. Meja lainnya adalah meja kayu seperti meja tua di rumah kakek di desa. Lantainya pun terbuat dari tegel kayu berwarna cokelat dan krem.


Memasuki pintu kaca itu setiap berkunjung ke sini, saya selalu mendapatkan sapaan hangat barista yang berada di meja bar di belakang mesin kopi.
“Sendirian aja Mas?
“Habis dari mana Mas?
“Cappucinno panas ya?
“Rapi banget Mas? Ngedate ya?
“Temannya yang kemarin mana Mas?. Katanya sambil tersenyum.
Nah, kalau dua pertanyaan terakhir ini sudah menjurus kea rah kepo deh. Mungkin mereka kepo karena saya selalu membawa teman baru dengan perwakilan etnis dari berbagai belahan dunia ke sini dan  mengobrol berjam-jam dengan pesanan kopi berulang-ulang. Bisa jadi mereka mengira-ngira, apa hubungan saya dengan orang-orang tersebut. Bisa jadi.


Dengan kopi yang digiling langsung dari biji kopi di situ, sajian kopi yang anda dapatkan benar-benar fresh from the bean. Masalah rasa, mereka sudah terbukti dengan beberapa kali memenangkan kompetisi barista tingkat nasional yang memilih peracik kopi terenak dari seluruh pelosok nusantara. Kopi yang enak, barista yang ramah berpadu dengan suasana yang homey membuat pelanggan selalu kembali. Mereka benar-benar memberikan personal touch dalam menyajikan kopi.

Jogja adalah syurga bagi para pencinta kopi. memang kota ini tidak mempunyai perkebunan kopi, tapi berbagai jenis kopi nusantara maupun belahan dunia lain bermuara dalam cangkir-cangkir kopi hasil racikan para barista andal dapat anda nikmati di ratusan coffee shop yang bertebaran di kota ini. Buat saya, kalau anda menginginkan kopi enak, lupakanlah kedai kopi jaringan internasional maupun nasional itu. Cobalah untuk memasuki kedai kopi di yang bertebaran di antara pemukiman, di dekat kampus atau di area food street seperti Prawirotaman atau Tirtodipuran. Berkaitan dengan kopi dan kafe, satu hal yang membuat Jogjakarta sangat berbeda dengan kota lain  adalah anda akan menemukan coffee shop ketika berjalan-jalan di mana saja, coffee shop tidak melulu berdiri di business area atau eating street. You’ll find your favourite coffee shop in a simple neighbourhood. Dan kebanyakan dari coffee shop ini bukan tempat nongkrong massal. Sepertinya, pencinta kopi mempunyai kedai kopi favorit masing-masing, dan kedai kopi favorit saya adalah Lagani ini. Ini bukan sekedar kopi yang enak, tapi juga ambience dan sedikit flirting. Lihatlah senyum di meja seberang sana. Itu saja sudah cukup menjadi oase buat panasnya Jogja hari ini.