Sunday, January 30, 2011

Prepare More!; Puding, Sendok, Mbak Bunga Citra Lestari dan Colokan

Saya sangat surprised ketika menemukan pudding kesukaan saya tersedia di warung kecil yang akhirnya saya temukan ketika berjalan keluar mencari angin di sesi-sesi pelatihan untuk krew baru kantor kami. Di kota lain. Di kota lain, untuk menemukan puding biasanya saya harus ke supermarket besar atau toko kue. Akan tetapi di kota kecil ini, puding bisa ditemukan di warung-warung kecil di banyak tempat.


 

Oke, saya tidak sedangbercerita tentang puding. Saya hanya mau bilang kalau saya sangat suka puding sehingga kalau suatu saat anda ingin memberi saya hadiah makanan berikan saja saya puding dengan aneka rasa. Yang ingin saya ceritakan adalah ketika saya nongrong di warung kecil sebesar lemari baju saya itu, yang memesan puding bukan hanya saya saja. Teman saya juga memesan makanan yang sama. Permasalahannya adalah, sendok yang tersedia untuk memakan puding itu cuma dua. Kedua-duanya terpakai oleh teman saya yang juga memesan puding dan teman saya yang satu lagi. Saya yang sudah tidak bisa menahan air liur saya terpaksa menahan dongkol karena tidak bias makan puding karena sendoknya tidak cukup.


 

Oke, itu terjadi di warung kecil yang pemiliknya mungkin tidak punya visi untuk membuat usahanya menjadi besar. Akan tetapi, saya juga menemukan hal sama dengan kasus yang berbeda di sebuah kafe yang memasang fotonya mbak Bunga Citra Lestari dan beberapa artis lain ketika berada di kafe itu. Maksudnya, pemilik kafe itu mau bilang kalau kafenya pernah didatangi artis-artis terkenal gitu. Dalam bahasa yang lebih singkat mereka mau bilang; kafe kita keren loh, artis aja pernah datang ke sini.


 

Di kafe itu kasusnya begini. Saya dan teman-teman saya sepakat mengerjakan deadline pekerjaan kantor di kafe karena sudah terlalu sumpek melihat suasana kantor yang begitu-begitu saja. Niat itu sedikit terhambat karena di kafe itu tidak tersedia colokan (apa ya, bahasa kerennya?) listrik yang cukup untuk tiga orang. Sebenarnya itu bisa disiasati dengan memakai kabel rol yang mempunyai banyak stekker. Tapi niat itu juga tidak bisa diwujudkan karena waiter maupun teknisinya bilang mereka tidak mempunyai persediaan itu. Mereka juga terkesan cuek dan tidak mencoba memberikan solusi. Atau paling tidak minta maaf atau berikanlah saya ini senyum lima jari biar saya nggak dongkol.


 

Dari dua kejadian di atas, saya mengambil kesipulan bahwa banyak orang yang tidak siap untuk menjadi besar. Mereka tidak punya visi untuk menjadi besar. Sang tukang warung mungkin tidak pernah membayangkan bahwa warungnya akan dikunjungi lebih dari dua orang. Oleh karena itu dia hanya menyiapkan dua sendok karena mungkin itulah jumlah maksimal warungnya pada saat yang bersamaan. Kalau dia punya visi untuk mempunyai warung yang besar dan ramai pengunjung, dia pasti akan menyiapkan sendok yang banyak untuk mengantisipasi pengunjung tersebut. Sementara si coffee shop yang memasang gambar mbak Bunga Citra Lestari dengan harapan agar coffee shopnya dianggap keren itu juga sama. Pengelolanya tidak punya visi untuk membuat coffee shopnya besar karena dia tidak siap untuk melayani kebutuhan pelanggan yang banyak dan bermacam-macam maunya. Itu baru kebutuhan yang simple dan sangat mudah terpikirkan oleh semua orang loh. Bagaimana kalau pelanggannya butuh sesuatu yang lebih complicated dan itu wajar? Rupanya ia hanya dimenangkan oleh lokasinya yang ada di dalam mal yang ramai pengunjung. Dan dia mendapat limpahan dari pengunjung mal itu.


 

Apapun pekerjaan dan usaha anda, sebaiknya sisipkan visi besar dalam pekerjaan dan usaha itu. Kemudian persiapkanlah kemungkinan-kemungkinan untuk visi tersebut. Kalau tidak, pelanggan yang anda harapkan tidak akan dating lagi ke tempat anda karena mereka terlanjur kecewa.


 


 


 


 

Saturday, January 29, 2011

It’s an Encouragement! (Karena Kita Sedang Membangun Karakter)

Saya menyelesaikan semua rangkaian pendidikannya tanpa hambatan berarti. Dukungan penuh orang tua saya membuat saya menyelesaikan pendidikan SD-S1 dengan lancar. Bahkan bisa dibilang bertabur bintang. Juara 1 kelas tidak pernah saya lepas dari tangan saya sejak SD-SMP. Ketika di SMA pun walaupun tertatih saya lulus dengan genggaman juara 1 di tangan. Memasuki bangku kuliah, saya tidak mencetak angka-angka tadi karena di kampus tidak ada laporan yang menyebutkan anda juara atau tidak. Saya tidak merasakan suasana kompetisinya, jadi saya tenang-tenang saja. Di kampus saya (waktu saya kuliah) tidak ada sebuah pengumuman yang menginformasikan siapa yang mendapatkan nilai terbaik (IP tertinggi di akhir semester). Jadi, kalau anda mendapatkan nilai rendah, anda tidak akan merasa terisntimidasi dan terlena dengan nilai anda. Bahkan saya pernah mendapatkan nilai yang amat buruk (dibandingkan dengan nilai anak-anak dig geng saya yang bertabur A). Akan tetapi saya selalu punya motivator ulung; ibu saya. Ibu saya tidak pernah mengomeli saya karena nilai saya buruk. Beliau malah memotivasi dan menambahkan tawaran uang jajan agar saya bias belajar lebih tenang.


 

Sampai akhirnya saya mulai khawatir karena harus menulis skripsi sedangan saya sama sekali tidak menguasai apa yang telah saya pelajari selama bersemester-semester di kampus. Kondisi ini membangunkan saya dari kecuekan saya terhadap kuliah. Saya mulai membaca buku-buku yang berkaitan dengan disiplin ilmu saya dan mencoba membuat fokus untuk saya jadikan skripsi saya. Saya cukup serius membaca buku-buku itu. Saya mulai merasakan nikmatnya berlama-lama membaca di perpustakaan dan membuat note-note kecil untuk bahan skripsi. Dasar saya orangnya dreamy, saya mulai membanding-bandingkan. Mungkin seperti ini nikmatnya belajar ala anak-anak Harvard atau Leiden itu. Pada waktu itu saya benar-benar cinta sama yang namanya perpustakaan dan menulis skripsi.


 

Ketika akan menghadapi sidang akhir skripsi untuk menentukan kelulusan, saya sedikit was-was juga. Pasalnya dari cerita teman-teman saya yang sudah melewati tahap ini, sidang ini adalah semacam pembantaian oleh para dosen penguji yang membuat kebanyakan mahasiswa harus berkeringat dingin bahkan yang mentalnya lemah, menangis. Tapi pada waktu itu saya malah tidak pernah mempersiapkan khusus untuk mendalami materi dalam rangka menghadapi 'pembantaian'. Yang saya lakukan untuk persiapan malah tidak ada hubungannya sama sekali dengan materi skripsi saya. Malam sebelum ujian skripsi saya malah sibuk mutar-mutar di mal mencari outfit yang keren untuk saya pakai pada ujian skripsi saya. Saya juga sibuk diskusi sama mbak-mbak pramuniaga yang jaga outlet parfum tentang aroma parfum apa yang cocok untuk saya. Saya hanya ingin memanjakan diri saya setelah bekerja keras dengan skripsi. Saya ingin menciptakan suasana relaks yang membuat saya juga relaks menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mempertanggungjawabkan apa yang saya tulis di skripsi saya. Saya sangat percaya bahwa 5 menit pertama orang akan melihat pada penampilan kita. Saya mencoba membuat kesan pertama yang baik di hadapan dosen saya besok dengan mempersiapkan penampilan terbaik. Saya malah melanggar pakem berkemeja putih dibawah jas dengan memakai kemeja merah marun yang menurut saya lebih keren daripada kemeja putih yang membosankan karena dipakai oleh setiap mahasiswa.


 

Keesokan harinya saya memasuki ruang sidang skripsi dengan agak was-was walaupun sudah mempersiapkan penampilan yang keren. Apa yang diceritakan oleh teman-teman saya tentang ujian skripsi yang mengerikan itu tidak terbukti sama sekali. Saya malah seperti sedang bercakap-cakap dengan dosen penguji mereka. Hangat dan bersahabat. Saya malah sempat berdiskusi tentang masa depan saya dengan mereka. Mereka malah memotivasi saya.


 

Belakangan ketika pekerjaan saya berhubungan dengan dunia pendidikan, saya menemukan kata kunci tentang kenapa prestasi saya gemilang pada saat SD-SMA dan saya sangat menikmati belajar ketika di akhir-akhir kuliah. Satu kata singkat; Encouragement.


 

Encouragement; Karena Kita Sedang Membangun Karakter

Saya menemukan simpul kata ini ketika saya membaca artikel tulisan Prof. Rhenald Kasali dengan judul yang sama seperti kata pertama sub judul tulisan ini; Encouragement. Artikel itu bercerita tentang pengalaman beliau dengan guru anaknya di Amerika. Pengalaman yang menggambarkan betapa jauhnya cara mendidik guru-guru di sana dengan kebanyakan cara guru-guru di negeri kita.


 

Ketika saya sedang memberi training atau mendampingi trainer magang di tempat saya bekerja, saya selalu mengingatkan mereka untuk berhati-hati memberikan nilai dan mengoreksi pekerjaan siswa. Mereka kadang protes, mengapa saya memberikan nilai B untuk hasil tulisan siswa jelek dan tidak jelas apa tema dan maksudnya.


 

Di dalam kelas kami, nilai bukanlah punishment, kami memfungsikan nilai sebagai encouragement. Nilai bagi kami harus bias memotivasi siswa untuk berbuat lebih. Standar nilai yang kami berikan bukan semata-mata berdasarkan hasil pekerjaan siswa tersebut. Kami sangat menghargai proses dan perbedaan individu. Fatih yang belajar dengan start up 1 misalnya, ketika bisa melaju ke standar 4, itu progress yang bagus. Sedangkan Patrick yang nilai start upnya 5 dan melaju ke ke angka 6, itu bukan progress yang bagus. Yang mempunyai nilai yang lebih tinggi adalah siswa yang strat up nya 1 dan melaju ke angka 4. Nilai bagus yang diberikan kepada Fatih adalah encouragement. Biasanya di bawah nilai itu kami berikan komentar dan pujian atau kata-kata motivasi yang mendorong siswa untuk terus meningkatkan prestasi mereka.


 

Di kelas kami, pada sessi akhir kelas, siswa diminta untuk membuat sebuah karangan dengan bahasa Inggris setiap harinya. Biasanya, siswa akan bersemangat untuk menulis lebih banyak lagi karangan setelah melihat nilai dan kata-kata motivasi di atas hasil karangan mereka. Ketika melihat lagi hasil tulisan selanjutnya di buku karangan mereka keesokan harinya, mereka semakin termotifasi untuk menulis lebih baik ketika mendapatkan nilai yang lebih baik. Pada akhirnya, buku hasil tulisan itu akan menjadi permainan 'lempar –tangkap' motivasi antara guru dan murid maupun trainer dan trainee.


 

Encouragement ini tidak hanya ampuh buat anak-anak. Kebanyakan peserta training saya adalah guru-guru dengan usia 20-56 tahun. Pada awalnya saya sendiri kaget ketika mendapati kaum 'senior' tersebut begitu bersemangat. Semangat yang menghilangkan keluhan-keluhan mereka tentang kemampuan belajar dan daya ingat yang menurut mereka semakin menurun karena mereka sudah tua.


 

Siapa pun orangnya, mereka akan senang dan termotifasi ketika hasil pekerjaannya dihargai. Contoh yang lain adalah dalam dunia kerja. Tak bia dipungkiri, staf yang mendapat penghargaan dari atasannya baik itu berupa pujian ataupun reward dalam bentuk materi akan semakin termotifasi untuk berprestasi.


 

Kalau anda seorang pendidik, guru, trainer, boss atau atasan, sudahkah anda memberikan encouragement kepada murid dan bawahan anda? Atau jangan-jangan kita 'membunuh' karakter mereka dengan memberikan nilai punishment? Kita tidak sedang menghasilkan generasi yang bernilai bagus saja, tapi yang paling penting adalah menghasilkan generasi yang berkarakter unggul, karakter yang kompetitif dan penuh motifasi. Kebanyakan karakter positif didapat dari imput yang positif juga.

Monday, January 10, 2011

Padang 3# Simple Box of Happiness

I am kinda man who is very simple. I always take whatever I find instead of whining and expect something that hard to find. I have the simple thought of what is beauty and what is pleasure. Lucky me, these mindset make me be a very adaptable man. Dealing with my recent job, it's very helpful. My jobs required me to be ready to relocate to some different cities in a month or two. Kinda job that I had been dreaming of when I was a student.


 

Two recent months I was relocated to two different cities which are very different each other. One is a metropolitan wannabe city, and another is a city with no fancy café or big malls to escape when I feel tired as I do in my previous town that I have been living in for years. However, I was amazed. I find myself enjoy the living in the no big mall city as same as in the metropolis city. The two cities have their own interesting side, at least based on my paradigm of what is interesting.


 

The Metropolis wannabe has its complete facilities that you need. You'll find yourself easy to transport everywhere with the comfort transportation. When you miss your favorite original delicacies from your own hometown, you'll easily get it available because they open the restaurant with the same taste and even atmosphere with the own you have in your hometown. With the franchise system, it's easy to find your favorite black pepper steak you usually have for your dinner in your hometown. The no big mall and fancy café city won't provide you that easy access and delicacies place to escape, but I find its different interesting side. I amazed when I found myself can do no whining because I couldn't find the good coffee shop with the widescreen home theaters and a cozy sofa. I find that the full decorated 'angkot' is very interesting. I feel that having city tour by that 'angkot' and uproar town bus very interesting. The seashore which is located just a few minutes ride from the central of city is a place to enjoy the very magnificent sunsets. When I need to fulfill the adventure instinct of mine, I'll ride away heading to the rural area which is lies a few kilometers away from my place. No need to ask people to get there. Using a mountain as a spot guide, I'll randomly take the way which is heading there. After getting once or twice lost, I found myself surprised with the green view and clear as a glass river. The nature atmosphere quickly fills my soul and be the fuel for me to continue my-full-of-works-days.


 

I never can stand to see the water. I always want to get myself jumping and swimming, or at least let my feet steeped into the cold fresh water. In my recent wandering to Lubuk Minturun, a clear watered river in suburban area of Padang, I spent five hours to swim in the streams. It was hard flowing streams which take you hundred meters away in a minute. I also tried to jump from the high edge as many little kids did. At first, I thought it was a piece of cake. However, when I got in the tip of edge and looked down the stream water, I felt my heart throbbed quicker. It took more than twenty minutes for me to gather all my bravery to jump down there. I knew, it was only water down there, so no problem if I jump. I also knew, these kids found themselves fine after jumping. No matter how much I tried to inject the logic into my brain it's still born down by my feeling. In the end, when I finally jumped, I addicted to try more. I enjoyed the moment when my bravery bore down my anxiety and took y body drifting from the edge into the stream.


 

Recently, I tried to explore the no big mall town more. After an exhausting week which full of many things to do, I invited my boss to do the city tour. I took him to try the 'angkot' and city bus. As we usually do, we had nice long English discussion along the way. People looked us as we are the stranger because we spoke in English. Actually, it was kinda marketing strategy we always use. In many cases it works. At first, we just wanted to visit the city's beautiful campus which lies on the highland miles away from the central of city. However, when we were wandering around that 'power rangers' quarter' we saw the narrow green valley which is split into two part by a river. My adventure instinct popped up. Without a map and clear direction, we started to walk down the hill of 'power ranger' quarter' went along the earthen path with the bushes in the sides. After 20 minutes, we found the village street and tried to walk along to the foothill. After about 45 minutes, we found a green rice field along the river sides with the green hills background. It was very refreshing to see these views. We kept walking until we arrived in the quit place with no human life but black stones in the middle of rivers. We directly found the big flat stone where we could lay down or body while enjoying our feet steeped in the slow flowing water. The wild tree with the shocking yellow flower above us guarded us from the sun's heat.


 

The symphony of flowing water, singing bird and blowing wind in the natural atmosphere took us into the deep sleeping. We woke up with very fresh body and soul when the afternoon came. We were ready to get back to our daily routine with fresh soul and new spirit.


 

The refreshing for me is that simple. A backyard view for me is magnificent. It depends on how I set my heart and paradigm. I don't really need a luxurious holiday with superb eateries and a cozy accommodation. It doesn't mean I don't want that kinda holiday. I want it but I do not require it for my refreshing. I always try to enjoy each place with its uniqueness without whining about something doesn't exist in my surround. Therefore, when my mother ask me about living in the new places whenever I'm relocated I always happily tell her how beautiful the place I live in.