Friday, December 30, 2011

Jogja Jogja!

Tanggal 19 kemarin saya ke Jogja. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Ngajogjokarta Hadiningrat setelah sekian tahun tinggal di tanah Jawa. Padahal katanya kan Jogja itu jantungnya Jawa. Sebenarnya saya sudah lama berencana untuk mengunjungi kota ini. Undangan teman-temanpun sudah berkali-kali menghampiri. Sampai saya kemudian mulai membenci kota ini karena alasan yang sangat-sangat aneh yang disebabkan oleh Abang saya. Saya sampai harus dibujuk oleh Abang saya untuk pergi ke Jogja karena kalau tidak saya sudah keberatan sekali untuk test TOEFL ITP di Jogja. Dia sampai memberi saya alasan panjang lebar agar saya berangkat. Pakai menjanjikan hadiah segala. Aduh, kayak anak kecil saja ya saya.

Ketika saya di Jogja, saya tetap dipandu oleh abang saya melalui WhatsApp. Jadi, lumayanlah saya tidak terlalu sedih. Saya sampai jalan-jalan ke borubudur dan prambanan segala. Dan tetap dipandu oleh abang saya. Nampaknya dia khawatir saya tidak menikmati Jogja karena dia tahu benar kalau saya sangat membenci Jogja. Lumayan, saya merasa ada yang menemani. 

Awalnya, saya berniat mencari hostel murah buat menginap. Tapi teman saya, Nadi dan Mas nya meminta saya untuk menginap di rumah mereka. Senang menjadi tamu di rumah mereka. Saya tidak kesepian dan nelangsa. Ada teman sharing. They treat me so well. baik banget mereka. Mas bayu nganterin ke mana-mana. 


Payung Siapa?
Saya sempatkan sehari untuk jalan-jalan dulu menikmati Jogjakarta. Saya nggak mau jadi orang Indonesia yang durhaka. Makanya, saya mengunjungi Borubudur. Di jalan ketemu sama backpacker asal Taiwan, Si Wang. Sepakat jalan bareng karena destinasi kami sama, Borubudur dan Prambanan.
Wow, Amazing!
Karena antrian di Local Visitor Gate, setelah beli tiket saya diajak si Wang masuk lewat International Visitor Gate aja. Kasihan banget ya orang Indonesia, pintu masuknya biasa banget plus antriannya puanjaang. Beda dengan International Visitor Gate yang ada lounge nyaman dengan fasilitas free drink dan bonus pelayanan ramah dari gadis-gadis Djogja yang memasngkan kain batik di pinggang saya. Akhirnya, saya mengajak Wang buat nyantai dulu di taman belakang Lounge yang teduh sambil menikmati kopi.

Under my Umbrella ella ella ella e e e....
Saya mulai bisa menikmati tour saya. Borubudur memang magnificent and breath taking. Bayangkan, orang zaman dahulu banget sudah mampu membuat bangunan dengan arsitektur keren seperti ini dengan modal batu-batu doang. Pasti arsiteknya jenius deh. Ketika muter-muter di atas candi, hujan turun dengan lebatnya. Karena tidak berniat tour, saya lupa membawa payung merah marun cantik andalan saya. Si Wang sampai menawarkan untuk merobek mantelnya menjadi dua agar bisa berbagi dengan saya. Saya tolak dan memilih berteduh sambil jepret orang-orang both with my DLSR and Blackberry. Share foto lewat BBM sama teman di Jakarta dan cela-celaan mengenai selera foto saya.

Kleting Kuning
Selama Borubudur Tour, saya dipandu oleh abang saya lewat WhatsApp. Ngomel-ngomelin pula gara-gara saya nggak bawa payung. 

Prambanan Temple under the rain
Setelah puas berkeliling di Borubudur, sesuai dengan jadwal yang saya sepakati dengan Wang, saya mengunjungi Prambanan. Sebenarnya waktu kami masih cukup untuk mengunjungi Prambanan. Akan tetapi bus Trans Jogja yang akan membawa saya ke Prambanan selalu penuh. Hasilnya, saya sampai di Prambanan ketika loket karcis hampir tutup. Hujan yang cukup lebat embuat saya tidak leluasa mengambil foto. Akhirnya misinya menjadi 'yang penting sudah mengunjugi Prambanan'. Dalam perjalanan pulang saya kembali nelangsa dan marah ketika transit di halte Airport. Airpot ini memantik kembali kebencian saya akan Jogja. 

Suasana Djogja
Setelah TOEFL test, saya sempatin jalan ke Malioboro. Lagunya Aggun 'Malioboro' langsung berputar di otak saya. Sore yang mendung di Malioboro yang padat saya merasa nelangsa di tengah keramaian. Okay, I just don't get why people love Malioboro. Okay, perhaps I've set my expectation too high about malioboro. Atau karena memang pengaruh kebencian saya akan Jogja. Ketika saya cerita kalau saya sedang nelangsa ke banag saya, dia minta maaf karena telah membuat saya benci Jogja. Tapi rasanya saya harus mulai mengakui, jogja menyenangkan. Saya harus belajar untuk menghapus kebencian saya. 



Monday, December 12, 2011

Bali Holiday # Room, Balcony, Yard and Stuffs

Some of my favorite objects to shoot with my camera are room and stuffs, building and yard. I think I have an interest in architectural photography. Need to learn more about it. I just so happy when I capture them. Here are some pics I took;

I was in Ubud and got mad with the all expensive Hotel. I rode away to the Village and Found this very  comfort guest house with a cozy luxury room for very very cheap price. It has two big windows with an open view to the rice fields with the mountain as a background.

After a long walking around in Ubud, I and my Abang took our lazy time in this  Restaurant. The ambiance is just perfect! 

Kajane Kafe in MOnkey Forest Street, Ubud. I love both exterior and interior. 

Really want to have this wooden bowl. However, I confused where to put since  I don't have my own house yet:(

I don't mind to spend my time a whole day in this cafe. Spin cafe. Situated on  the high  cliff  with  a direct view to the clear blue water of Indian sea below make whatever meal or drink you have doubled it's taste. My favorite is Manggo Smoothie. It's the best mango drink I ever had.  


Wine at Oops Restaurant. Will get back there in the next  Holiday. Wanna dance salsa with Dewi!

Coffee Maker. Found it in one stall of Hello Asia at South East Asian Summit and Exhibition in Nusa Dua 

It was heay raining Last night. This morning, I got out the room with my camera wandering  in the Hotel yard. Found these flowers scattering near the statue. La Waloon Hotel-Kuta Bali


Friday, December 9, 2011

Bali Fashion Candid Photos

I was waiting Christian's departure when the idea hit my mind. Instead of wandering in the beach in a hot day, I went to Discovery Mall. I hoped that there will be crowd of people. Usually, dressed up people are back and forth in the sea front 'piazza' behind the mall. I wanted to do candid photo shoot. I knew, Korean and other oriental girls always appears in eye catching dress shopping in this mall when the afternoon come.

Unfortunately, there were only few foreigner visitor in the mall that afternoon. I only got few photograph. Here they are:

A corner in a Piazza with Pink Kamboja tree

I adore her mix n match. 


Like her Pose. natural

Celebrity Looks

Love that little girl's outfit. 

White and Soft gown

Blue Jeans bermuda is always tempting for me!

Good Shoes take you to good places. have it happened to you girl?

Oriental Lady

I got this shoot in swimming pool side in old Fourteen Roses Hotel in Jalan Legian. I was swimming when this adorable smiling boy passed by . 











Saturday, December 3, 2011

The Pic of Bali LBH, Day 2; Padang-Padang Beach, Yeye's Warung



The breakfast was very good. I thought I had triple.
We found the motorbike rent near the hotel. I chose the red Vario for our ride exploring the coastal.  We rent the motorbike for 5 days.
So, it's now the time to explore. As we've planned before, today is the time for visiting the Padang-Padang Beach. It's a calm and quit beach where Michael Learn to Rock made their clip for the "Someday" song.

I always happy to ride motorbike in Bali, especially riding along the coastal street along the hill.

I would like to Spenad my rest of my life here!! definitely!
After Catching!
The beach is situated far away down. It's like under the bridge!

Michael Learn To Rock made their video clip for the "Someday" Song in this Beach. 
 I celebrated being in the nice beach and clear water by swimming back and froth, laying on the sands, reading and photo shooting. I swam until I got sore. 

The best thing for the tiring body in the extremely hot condition like this is a big glass of Orange Milkshake.
So, here we were, riding the motor bike climbing the hill heading to the Blue Point of Suluban Beach. The riding took me to the top of hill where I found a small restaurant with very nice outdoor space. We decided to stop and have lunch there.

The ambiance was very tranquiling. There were no other visitor except us.
Yeye's warung is recommended by "The Lonely Planet" for the good place for traveler.


 I picked mango milkshake, Tuna Salad with balinese sauce plus carrot cake and ice cream as dessert. 
Tuna steak with balinese sauce. Actually, the steak should be pair with steamed rice but I chose chips intead



Friday, December 2, 2011

The Pic of My Bali-Late-Birthday-Holiday; Day 1


Hello people!
It’s been I didn’t post my travelling pic on my blog. Or I even never did it?
I did several times I think.

I always love Bali for the Holiday destination. Along the August to November, I visited Bali four times.
The Last visit was on November in a two-week-holiday with my Abang, Christian. The holiday was the Late-Birthday-Present for me. I was much occupied with the camera at the time since I’m very excited with my new camera and tried so hard to get good picture. Here are my captures;

The first three days we had staying in Amaris Hotel in Legian. It's a new Hotel managed by Santika Hotel. Both exterior and interior are very simple, even they didn't provide fridge for the standard room. The hotel is just like other hotel in Indonesia. I found no Balinese touch like the Hotels in Bali. Most of the customers are Indonesian. And as usual, Indonesian are always communal. They come in big group and cause crowded:)
One thing I like from this Hotel is the Breakfast. Yup, they provide super-combo-jumbo four types breakfast in buffet that you can take by yourself. You may take double, triple or try all the variety of breakfast available! So, Indonesian deh!


Since we were still jet lag (not me actually, it was my Abang), we decided not to go somewhere except spending the time sunbathing, reading, and playing with the wave in Legian Beach. When the sun was in its hottest heat, we let our stuff under the umbrellas and went to Circle K for some ice cream and Fanta Fruit puch (my favourite fanta ever).

One of my fave place in Bali. Having fresh soft drink while reading under the 'kamboja' tree.

I took this from the Circle K near the Pulmoon Hotel in Kuta

When the sum went down to the horizon, we left the beach for Shopping some t-shirt and daily need in Kuta Square.

Todays activity was ended with Dinner @ our favourite restaurant. Kinda small and very affordable restaurant which provide very delicious snapper fish and big big crab! I got myself Big snapper fish with sweet sour sauce completed with chips and salads.


Christian had a snapper too but with the difference sauce; butter and onion sauce.

fFor tomorrow, we've planned to go to the new beach we never visit before. I'll post the pic.



Saturday, November 26, 2011

Alchemist, Banana Pancake, Personal Calling dan Bali


Pelan-pelan saya mengunyah banana pancake di mulut saya. Menu ini selalu menjadi pilihan menu utama saya ketika sedang berada di Bali. Bahkan kali ini saya mencombo banana pancake dengan scramble eggs, toast, fruit salad plus coffee au lait. Kalau saja abang saya, Christian saat ini ada di sini pasti dia sudah ngedumel sambil meledek porsi makanan saya. Dia pasti akan menggenggam pergelangan tangan saya sambil bilang ‘ you eat so much, but it doesn’t  influence your body at all. Where do all these food go?”. Biasanya saya akan tersenyum lebar sambil terus menyantap makanan saya dengan lahap.

Sesekali  saya menyelingi suapan pancake saya dengan coffee au lait yang kata abang saya menjadi lait au coffee karena saya mencanpur susu terlalu banyak.  Saya sangat betah berlama-lama di restoran ini. Selain harganya yang sangat terjangkau, hobi iseng saya terakomodir di sini. Ada banyak hal yang bisa saya komentari dari ramainya orang yang lalu-lalang di jalan kecil di depan restoran. Kadang  saya tersenyum, kadang kening saya berkerut karena berpikir dan kadang saya miris dengan apa yang saya lihat. Selain orang yang berlalu lalang, tidak ada perubahan yang berarti di jalan sempit tempat restoran favorit (karena murah dan enak) saya ini berada. Selama hampir lima tahun saya duduk di tempat ini paling tidak dua kali setahun. Dan dalam 4 bulan ini melonjak menjadi sepuluh kali. 

Toko-toko dan kios penjual souvenir di depan dan samping restoran masih sama seperti minggu lalu sebelum saya balik ke Malang dan kembali lagi ke sini, bulan lalu, dua bulan yang lalu, 7 bulan yang lalu dan 4 tahun yang lalu. Gadis-gadi yang menawarkan jasa pijat juga masih sama meneriakkan “Hello, massage please!” yang terkadang lesu. Kelesuan yang tercipta karena low session karena wisatawan tidak membludak seperti biasanya, yang artinya mereka harus berjuang lebih keras untuk menggaet pelanggan.

Memperhatikan semua itu membawa pikiran saya pada satu pertanyaan. Apakah mereka tidak bosan menjalani rutinitas yang itu-itu saja selama bertahun-tahun? Well, mungkin tidak itu-itu saja karena saya tidak tahu apa yang mereka lakukan di rumah mereka. Dari pandangan nanar gadis-gadis pemijat kepada wisatawan yang keluar masuk toko dan restoran, otak sok tahu saya bia menangkap sebenarnya mereka bosan dan ingin menikmati suasana berlibur seperti mereka dan juga saya. atau juga memimpikan bisa bertukar posisi dengan para wisatawan itu. Mereka menjadi wisatawan dan bule-bule itu menjadi penjaja jasa pijat seperti mereka.

Saya percaya bahwa sebenarnya semua orang mempunyai mimpi yang tinggi dan ideal untuk dirinya masing-masing. Buktinya, coba tanyakan kepada anak-anak TK atau keponakan anda yang sedang lucu-lucunya. Pasti mereka semua mempunyai cita-cita. Dan saya yakin kita semua pernah di sana, bergembira dengan cita-cita tinggi kita yang sepertinya akan mudah saja diraih. Itu sebelum terkontaminasi oleh pengaruh pesimisme terhadap realitas hidup dan prejudice orang-orang dewasa di lingkungan sekitar kita.

Cita-cita kita pelan-pelan terkubur karen akita diberitahu bahwa tidak semua yang kita inginkan akan tercapai. Kita diingatkan untuk tidak bercita-cita ‘terlalu tinggi’ karena akan menyiksa diri kita sendiri. Kita disuruh untuk melihat si Budi anak tetangga sebelah yang pernah bercita-cita tinggi  tapi sekarang stress karena cita-citanya tidak tercapai. Akan tetapi kita tidak disuruh untuk menengok si Iwan anak tetangga sebelahnya lagi yang sukses mampus dan berbahagia karena konsisten mengejar cita-citanya.

Lama-kelamaan cita-cita itu terkubur semakin dalam karena kita takut dengan konsisten mengejar cita-cita kita akan menyakiti orang-orang yang kit acintai; keluarga, sahabat, ataupun kekasih yang hatinya terpaut dengan hati anda. Padahal seharusnya cinta adalah energi. Kalau saya, saya yakin bahwa orang-orang yang saya cintai akan bahagia melihat saya bahagia karena saya menggapai mimpi-mimpi saya.

Paulo Coelho dalam novel fenomenalnya, Alchemist, menggambarkan dengan indah bahwa semua orang mempunyai keinginan yang disebut “personal calling”. Personal Calling adalah cita-cita atau keinginan setiap manusia seperti yang saya ceritakan tadi. Orang yang setia mendengar personal calling-nya akan menggapai personal legend; kejayaan dan kebahagiaan. They live happily because they live their life to the fullest”. Since they did all their best to achieve what they really want, they have nothing to regret.

Ada banyak orang yang mengubur personal callingnya dan berpikir bahwa penerus keturunannya bisa merealisasikan mimpi itu. Maka muncul lah orang tua yang memaksa anaknya masuk sekolah tertentu dan kuliah di jurusan tertentu untuk menggapai mimpi itu. Padahal anak-anak mereka bukan robot, mereka mempunyai personal callingnya masing-masing. You can put them in the best school in the town, but they have their own toys and interest.

Tugas orang tua adalah member masukan dan pertimbangan atas pilihan anak dan mensupport si anak jika apa yang di aimpikan memang hal yang positif.  Jangan sampai unrealized willing anda dibebankan kepada orang lain. Realisasikan sekarang selagi anda masih bisa. mumpung anda masih punya energy dan polusi pesimisme belum mencemari karena bisingnya suara-suara prejudice di sekeliling anda. Listen your heart, follow your personal calling!

Senada dengan “the Secret”, Melalui Achemist, Paulo Coelho juga mengatakan “ when you really want something, all the universe conspires in helping you to achieve it”.
Kopi di cangkir saya sdah habis. Banana pancake sudah tandas. Gadis-gadis pemijat masih berteriak “Hello massage”. Saya semakin yakin untuk mengikuti personal calling saya. Saya tidak ingin ketika saya tua nanti, saya mengutuk hidup saya karena berhenti berusaha merealisasikan “personal calling” saya.

PS:
Maaf, saya jadi terkesan menggurui. Mungkin karena efek kebanyakan makan banana pancake

Bali, 20 November 2011

Friday, November 25, 2011

It's Feeling Stupid!


It was long time ago my friend, Irma suggested to watch this movie, but I never realized it until my sister copied that movie to my laptop with a gazilion words telling that the movie is so me. They said that I'm a shopaholic so that I need to watch this movie for curing. Lol. I've questioned myself many times whether I'm a shopaholic or not. And the answer was a big big no. I like to do window shopping (and yes, shoping some times). I do shoopping when I'm in a very stucked with my job (or yes my feeling some time). And note it; I only shop when I found a very sexy and nice jeans from Levi's or nudie. And yes, very sexy bermuda or undie (undie is human right anyway. That's why I always wonder when there is a man with a daddy-used-to-be-white undie under their pants. Oh, come on, get enlightment guys!). And also very good fragrance. Okey, I'm too much about this part. It's just a personal side of me. We will not discuss about it.

Back to the "confension of shopaholic". I love the charachter of Rebecca Bloomwood. One schene that I really like is when ... And Luke were in the Gala Dinner. And Bloomingwood told the big boss of a big bank that his bank is very boring. Everyone on the spot was shocked of that bare words to the boss. She suggested to put the umbrella in front of the bank window and give the discount for administration payment to attract the customers. Surprisingly, the bank’s big boss like the idea. What I got from that short dialogue is about little things that usually forgotten. A feeling.


Putting umbrella is aimed to give a customer a good feeling so that they'll be attracted to come to the bank. And the sale or discount give the feeling to the customer that the product is cheap eventhough in logical thought it's not that cheap. These feeling enhancements lead you to the trance condition and then lead you to buy without thinking. It works that simple.


Last month was my birthday. And Christian, my lovely Abang come for a late birthday present. We have had a holiday together. He came along with a very nice book for another present. I felt in love with the book in a first sight. I spontaneously loove the book becouse of the cover's colour; shocking orange. It attracted me to directly open the first page and started reading. I'm sure if the book got a bad colour I would not that interested and enthusiastic to read. And in addition, I was happy to read becouse it was a birthday present. It's about the feeling.


Another story. I and my Abang was bored with the hotel we had been staying in for days. We intended to change. So, there we were, on the motorbike finding the comfortable hotel. The first hotel I stopped, I directly said no becouse the waiter didn't give me even a single smile eventhough the hotel got cheap price. The waiter's response lead me to a bad feeling. Instead of thinking that a hotel got a pretty cheap price, I walked away becouse I did,t feel confortable. Believe me, there is no single normal person in this world want to stay in a free hotel with everyday unconvenient and uncomfortable feeling. It's about feeling. Little things with big effect.


This morning we were sitting for breakfst in the swimmingpool side after an exhausting trip to Ubud a day before. The waiter got us two big white ceramic pot of coffee. One teko for each. A pot contains of about five cup of coffee. The coffee directly wiped away the bad feeling I have about the hotel becouse they provide a not really nice shower room. I was mumbling about it. But these pots of coffee enhance the hotel level from bad to the not so bad.  

Yesterday, we had been in Ubud for a quick visit. Staying there in the what people called a heart of Bali a two days and a night. The accomodation we got was more then expected. A small-six rooms cozy guesthouse with very well arrangement backyard and a big balcony with a free view to the paddy fields and of course with lot of kamboja trees, my favourite flover ever. More then anything, the owner knows how to pemper the customer so well. It's like the popped-up famously boys band lyric which I don't like becouse I'm not into boysband; I know you so well or in singaporean version, I know you so well lah.  Actually the gusthouse didn't really put us as a upper-ordinant or superior position. They consider us as a friend. The owner talked to us like a friend. She tried to build the feeling of being a friend. Small things that lead me to volunterily wanted to promote this guest house. So guys, If once you visit Ubud, do stay there in Kudos Guesthouse. Situated in the top of the hill in the middle of rice field make this place is the best accomodation to enjoy the peace ambience and feeling of being Balinese. It's not so far from Ubud Palace and Rio Helmi's photography gallery.


If you are a boss in a company or a leader in an organization, you can create the comforty feeling for your people by saying thanks to appreciate them, saying sorry if you think you put them in unconvenient situation, taking them to a coffee shop once, or gifting them a chocholate or your homemade carrot cake for the one or who you feel supported you in your work. Simple and appliable things with the gig effect; you'll get a loyal and productive employees. Let them know that you are care. Put them in a good feeling.  


These idea is a common dayly little things that effect big things. Tom Peters proposes in his Little Big Things that 'the toughest part of this message is that to do much with the idea, you need an attitude. For me, attitude is, putting others in the way you want others to put you. That's all.

Double Six Beach, 11-11-11

Tuesday, October 11, 2011

Ubud Writers and Readers Festival 2#; Rendevouz Deux



Susana Puri Ubud sangat sibuk dari tadi pagi. Para volunteer dan panitia Ubud Writers and Rreaders Festival sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk Gala opening acara ini nanti sore. Festival yang disebut oleh Bazar UK Magazine sebagai one of the top six best literary festival in the world ini diadakan setiap tahun di Ubud. Saya sudah berancang-ancang mencari cara bagaimana caranya agar bisa masuk karena acara ini terbatas. Lucky me, saya mempunyai sahabat yang restorannya menjadi sponsor dan mengajak saya masuk bersama dia.

Sambil menunggu sore, saya berjalan-jalan menyusuri jalanan Ubud, mengagumi karya seni, interior butik dan art shop, eksterior kafe dan resto yang semuanya saya rekam dengan jepretan lensa kamera saya.Gabungan culture, alam, café-café, artshop, restoran, handicraft dan senyum dan keramahan khas Bali membuat Ubud menjadi magnet.Saya banyak menemukan alam yang juga indah namun terasa biasa karena tidak mempunyai budaya yang mempesona seperti di Ubud.Pantas saja hermawan Kertajaya menulis buku dengan judul yang sangat menyanjung Ubud, Ubud; The spirit of Bali.

Langkah saya terhenti di depan sebuah bangunan sederhana yang dari jendela kacanya menyajikan barang-barang yang menarik buat saya. Jejeran rak buku dan kursi-kursi cozy dan sebuah meja bar yang mungil. Saya membaca plang nama di depan bangunan. Sebuah tulisan berbahasa Perancis tereja oleh saya; Rendevouz Deux.

Kaki saya langsung menapaki tangga berundak dan membuka pintu.Saya langsung jatuh cinta dengan tempat ini.Gabungan sebuah toko buku dan kafe.Ini adalah konsep toko buku yang selama ini ada dalam angan-angan saya yang ingin saya punyai kelak.Kafe tidak selalu harus berkawin dengan musik.Ia bisa berpadu sempurna dengan jejeran buku di rak-rak tinggi.
Pemilik kafe yang sedari tadi berbahasa Prancis dengan beberapa pengunjung lansung menyapa saya begitu saya meletakkan backpack di sebuah meja di ujung ruangan. Saya menelusuri  seluruh isi kafe dengan mata berbinar. Buku-buku yang hampir semuanya berbahasa asing memenuhi rak yang melapisi semua dinding.

Setelah memesan segelas jus saya tidak sabar segera meraih beberapa buku.Saya ingin mengambil beberapabuku sekaligus.Tapi mata saya hanya sepasang.Saya harus merelakan yang lainnya mengantri.Sambil menelusuri halaman-halaman buku, saya meneguk jus saya perlahan-lahan. Sensasi rasa buah mint dan jahe mengaliri lidah saya dan memberikan sensasi rasa dingin mint di tenggorokan. Benar-benar nikmat.
Gelas tinggi berisi jus di depan saya sekarang kosong dan berganti dengan Balinese Coffe di cangkir putih yang mengeluarkan aroma khas kopi panas. Itu artinya saya masih akan tinggal lebih lama lagi di sini.

Sesekali saya mengalihkan perhatian dari bacaan di dean saya mendengarkan pembicaraan para pengunjug yang berbaur dengan percakapan waiter yang melayani pesanan.Beragam bahasa asing menerpa gendang telinga saya. Saya geli melihat kesalahpahaman turis korea dengan waiter. Turis korea berusaha dengan bahasa Inggris yang sangat minim untuk mengutarakan keinginannya. Sementara waiter kebingungan memahami maksud si turis korea. Akhirnya si turis mengalah dengan keterbatasan bahasanya.

Segerombolan turis berwajah oriental lain masuk.Kedatangan mereka membuat kafe menjadi gaduh.Merk berbicara cang cung cang cung dengan sangat gaduh. Oh, rupanya mereka berebutan ingin memakai toilet. Muka ramah para waiter berubah masam melihat tingkah para turis itu. Tipikal turis  koreadi sini adalah suka bergerombol. Mereka mengunjungi satu tempat dengan rombongan besar dengan bus pariwisata dan dipandu oleh guide.Saya tidak tah uapakah itu karena keterbatasan bahasa atau karena mereka dasarnya senang bergerombol.Tapi yang pasti, di mana ada mereka pasti suasananya menjadi gaduh.Kebiasaan komunal mereka menjadikan ada satu pantai yang mayoritas pengunjungnya adalah wajah-wajah oriental.Ketika kemarin saya jalan pantai dreamland, mata saya selalu tertumbuk kepada wajah-wajah oriental. Saya seperti sedang menyaksikan adegan live Boys Before Flower. 

Kalau masalah gaduh dan manner, saya lebih suka dengan turis-turis dari benua Eropa.Mereka tidak pernah gaduh di tempat umum.Kalau ada bule yang gaduh, bisa dipastikan mereka adalah orang-orang Australia.Tiga teman Perancis saya selalu bilang kalauorang-orang Australia adalah tukang bikin ribut. Biasanya mereka berjalan sambil menenteng botol bir bintang dengan celana hawaian super melorot pendek dan kaus katung atau tidak memakai kaus sama sekali. Sampai si Pascal teman perancis dengan sangat judgmental bilang kalau orang Australia itu uneducated.Padahal kan orang Indonesia berbondong-bondong kuliah ke Aussie.

Karena kafe semakin gaduh, saya berkemas dan segera bergegas keluar. Lagipula sebentar lagi Gala Openingakan dimulai. Sebuah SMS masuk ke handphone saya; Erik, sorry! Ternyata tiket masuknya hanya boleh untuk satu orang.

Oops berita buruk. Ah, masa iya sih nggak bisa masuk. Sekarang mari kita pakai prinsip teman saya Fuad, everything is negotiable. Saya bergegas ke arah Puri dan mendapati teman saya, Dewi  yang tadi mengirim SMS juga sedang berjalan ke arah Puri. Dia reflek menoleh karena saya mengejutkannya dari belakang. Begitu samai di depan pintu Puri orang sudah ramai mengantri untuk masuk. Saya agak berdebar, takut tidak bisa masuk.

Dewi berbicara dengan seorang petugas yang tampaknya dia sudah kenal baik seorang petugas lagi menyapanya dengan riang.Dua orang tadi mengatakan tidak apa-apa kami masuk berdua.

Masalah muncul ketika kami melewati pemeriksaan tiket dan x-ray.Dewi sudah melewati pemeriksanan ketika petugas perempuan meminta undangan saya.
“I’m with her!” kata saya dengan cepat dan tegas sambil menunjuk ke arah Dewi yang sudah masuk. Petugas tadi melepas sayadengan senyum manis. Pengalaman saya, bahasa Inggris sangat memudahkan urusan di sini.Kalau ingin pelayanan di restoran tidak lama, berbicaralah pakai bahasa Inggris kepada waiternya. Biasanya waiternya akan cepat dan lebih ramah daripada ketika menggunakanbahasa Indonesia. Kenapa bisa begitu?

Menurut saya sih ini hanya karena masalah mental orang Indonesia yang selalu melihat orang asing lebih daripada orang Indonesia.Pengaruh dari sikap inferior.Lah, terus wlaupun saya berbahasa Inggris, kanwajah saya Asia banget. Haha…! Saya sering dikira orang Thailand di sini.


Sunday, October 9, 2011

Ubud writers & Readers Festival-Aisha



Hujan gerimis membasahi jalanan  Ubud pagi ini. Hawa dingin dataran tinggi yang menjadi spirit of bali ini semakin terasa dingin dengan terpaan gerimis. Saya bergegas menyusuri jalanan basah bau tanah ke arah Museum Antonio Blanco.Akan tetapi saya tiak berhenti di museum itu.Saya terus bergegas menapaki trotoar menuju Campuhan.Tujuan saya adalah main venue perhelatan Ubud Writers & Readers Festival di Left Bank lounge. Saya ingin mengejar masuk ke discussion session yang dihadiri penulis travel favorit saya, Trinity, Naked Traveler.


Rupanya saya telat.Segera saya bergegas balik dengan langkah-langkah panjangdi tengah gerimis yang berubah menjadi deras.Sepatu saya mulai basah.Akhirnya saya menyerah dan berteduh di teras sebuah galeri lukisan di samping pohon Beringin di jalan yang menurun menuju Museum Antonio Blanco. Saya tidak ingin kamera dan barang-barang di backpack saya basah kuyup.

Saya melongok ke arah jalanan dengan gelisah.Kalau hujan ini tidak berhenti juga saya bisa telat sampai ke workshop. Iya, setelah tidak bisa mengikuti workshop travel writing bersama Rob Liwall, travel travel writer yang terkenal itu. Kali ini saya mengejar sessi full day workshop travel writing di Taksu Spa& Restaurant.Saya belum tahu dimana tempat itu. Dengan modal city map di tangan saya mencegat angkot tua yang lewat dan turun di depan pasar Ubud. Setelah melihat peta, saya bergegas di bawah gerimis yang belum juga mereda.

Begitu menginjakkan kaki di Taksu Spa& Restaurant, saya bergegas ke balkon lantai 3 tempat akan berlangsungnya acara. Rupanya saya belum berjodoh dengan workshop ini.Saya tidak bisa mendapatkan tiket langsung di venue.Saya harus kembali ke ticket box di campuhan untuk mendapatkan tiket. Dengan ramah volunteer festival menyuruh saya kembali danakan menunggu saya untuk memulai acara.

Ketika akan bergegas, seorang gadis berambut pirang bergegas dari arah berlawanan menuju ke tampat saya dan volunteer berdiri. Rupanya ia juga sedang berusaha untuk masuk ke workshop seperti saya. Dia berharap masuk gratis dengan student pass. Melihat gadis bule berdiri di depannya, volunteer bertanya apakah iamahasiswa asing. Lalu dengan lancarmengalirlah kalimat-kalimat bahasa Indonesia tanpa cela dari bibir mungilnya. Saya terpaku. Setengah terpesona dengan paras anggun  dan kalimat bahasa indonesia yang meluncur dari bibirnya,saya membatalkan niat untuk meninggalkan volunteer tadi.

Ketidakberuntungan tidak bisa masuk workshop membawa kami berjalan beriringan di bawah rumpun kamboja di sepanjang jalan Gautama.Kami sepakat untuk bersama-sama memburu tiket masuk ke tiket box ke campuhan.Dari hasil percakapan kami, saya tahu namanya Aisha.Gadis Bali beribu New Zealand dan Bapak Italia.Saya mengerutkan kening mendengar namanya.Rupanya dia memahami keheranan saya.Saya teringat saya pernah bilang kalau saya punya anak perempuan, kelak akan saya namai Aisha. Nama itu kedengarannya indahdi telinga. Sama dengan nama ibu saya dan nama gadis ini.
“Yes, It’s a moslem name, but I’m not a moslem” katanya sambil tersenyum.
“Erik muslim?tanyanya balik sambil tersenyum.
Saya menganggukkan kepala sambil terus berjalan.

Saya mengiyakan sambil terus menembus gerimis.Berjalan di bawah gerimis dengan pakaian separuh basah seperti ini menjadi sangat menyenangkan gara-gara ada gadis ini.

Pembawaan gadis ini sangat anggun dan dewasa.Saya sampai terkecoh mengiranya mahasiswa. Dandanan dan gaya berbicaranya sama sekali tidak mencerminkan anak SMA. Tubuhnya dibungkus oleh gaunberwarna hijau muda jatuh lembut di atas lutut yang dipadukan dengan cardigan cokelat.Pergelangan kakinya dilingkari dengan gelang jalinan tali berwarna hitam dengan kaki terbungkus sepau kanvas warna hitam.Rambut pirangnya yang panjang dibiarkan terurai menutupi lehernya yang jenjang.Saya setia mendengarkan mulutnya berceloteh dalam bahasa Indonesia yang benar-benar sempurna. Ah, mungkin saya terlalusubjektif. Saya terpesona oleh auranya sehingga apapun yang diucapkannya pasti sempurna menurut saya. Ah, Aisha…!

Aisha heran mengapa saya hafal jalan-jalan di Ubud. Sedangkan dia yang sudah 4tahun tinggal diBali doesn’t know where is where. Padahal saya kan hanya modal sotoy dan yakin seperti biasanya. Dan tentu saja city map di tangan sudah lebih dari cukup.

Ternyata kami tidak bernasib baik.Tiket workshop full day tidak terjangkau oleh budget saya yang semakin menipis karena Festival ini di luar agenda perjalanan saya kai ini.Aisha juga bernasib sama. Dari awal dia sudah menempatkan dirinya sebagai student yang mencari free pass untuk setiap sessi. Akan tetapi, free pass student semuanya sudah habis. Akhirnya saya memutuskan untuk memburu free pass event dan mencoba menyusup  ke beberapa session.

Saya kagum dengan cara Aisha membawa diri. Salah seorang pengusaha malah mengira dia seorang penulis yang diundang ke festival sehingga dia selalu ditawari kopi dan makanan plus diminta tanda angannya dan foto bareng.Dengan pede dan memang seolah-olah dia adalah penulis, dia melayani foto bareng pengusaha itu. Ketika kami bersama-sama bergegas ke sessi “Japanese Wife” nya penulis India, Kunal Basu untuk melihat-lihat foto karya fotografer kondang berdarah Turki-palembang, Rio Helmi, dia dengansangat anggun dan PD langsung duduk di kursi VIP seolah-olah dia adalah undangan. Dan dia memang kelihatan seperti itu.

Saya berpisah dengan dia di sore itu karena dia memilih ikut sessi yang berbeda di tempat yang agak jauh.Sedangkan saya memilih makan siang dulu dengan sastrawan Bima, Alan Malingi dan melanjutkan menyusup ke “River, Ships and Award Winning Journalism” bersama Chris warren, Mike Carlton dan Chris Warren.

Saya pasti akan mengontak Aisha lagi kalau saya ke Bali nanti. Buat sekedar kopi dan foto session dan sharing-sharing foto karena dia juga suka Fotography dan traveling. See you Aisha…!

Wednesday, September 28, 2011

A journey; Finding What I Love and What I Really Want



Duduk bersandar di sofa kafe ini, saya menerawang mencoba menyatukan titik-titik yang telah saya lalui dalam hidup. Titik-titik yang mengantarkan saya pada saya yang sekarang; seorang laki-laki muda seperempat abad yang masih gelisah mengejar mimpi-mimpi. Gamang pada kenyataan. Namun, saya tetap mencoba untuk melihat ke depan dan menggapai apa yang seharusnya saya gapai.

Bukan satu kali ini saya merasa gamang dan stuck seperti ini. Ini yang ke sekian kalinya. Bahan sebelum-sebelumnya saya pernah tenggelam dalam galau yang amat dalam dengan deraian air mata yang saya coba lampiaskan dengan berbagai cara. Kalau saja saya hdup dengan pikiran mainstream nan bersahaja, saya seharusnya merasa sangat bahagia dan tenang dengan apa yang saya dapatkan dan saya jalani dalam hidup saya sekarang. Saya hanya merasa galau dan merasa harus berada dalam satu titik dalam hidup saya yang sudah saya impikan sejak dulu.

Saya tidak tahu, apakah Tuhan memang mengumpulkan orang galau dengan orang galau lain. Tapi mungkin memang begitu. Atau saya harus percaya pada law of attraction; galau menarik galau yang lain, orang galau menarik orang galau yang lain. Sahabat saya ternyata tengah merasakan hal yang sama. Seorang sahabat yang telah saya anggap sebagai saudara atau lebih tepatnya soulmate.

Dalam rangka mengusir galau, kami sepakat untuk bersekutu dalam sebuah perjalanan backpacking extreme kea rah timur Indonesia. Kami tidak tahu kami akan mencapai titik sebelah mana. Tapi kami sudah bulat untuk melakukan perjalan dengan sepeda motor mencoba menyelami makna hidup, melihat permasalahan dari sisi berbeda. Seperti kata para ahli strategi; ketika mempunyai masalah, keluarlah dan coba lihat permasalahan dari luar.

Sebenarnya tidak harus keluar dengan melakukan perjalanan, tapi hasil obrolan dan curhatan kami, kami harus melakukan perjalanan untuk membicarakan hidup kami, masa depan kami, mengevaluasi ulang langkah-langkah kami dan melihat kembali titik-titik yang telah kami lewati untuk dihubungkan menjadi sebuah peta perjalanan yang lebih memandu. Kami akan membicarakannya di café-kafe di tepi pantai di Bali mungkin. Atau di atas pasir di Lombok. Atau mungkin di atas puncak sebuah bukit di Sumbawa. Kami sengaja tidak merencanakan perjalanan yang detail; kami hanya akan berjalan semampu kami ke   arah timur. Perjalanan ini mungkin tidak dramatis seperti film Eat, Pray and Love. Tapi rangkuman perjalanan ini adalah dalam kerangka topic; I’ve got to find what I love and What I really want!

Insya Allah, dalam perjalanan kami, kami akan mengupdate melalui social media dan blog kami masing-masing. 

Tuesday, September 27, 2011

Mengurus Passport; Siapa Bilang Petugas Imigrasi Ribet?


Akhirnya saya punya juga kesempatan untuk mengurus passport setelah tertunda beberapa kali. Dokumen pelintas batas ini akan membawa saya menjadi warga global, warga dunia. Saya memilih untuk mengurus passport di kota kelahiran saya karena memang di KTP saya masih tercantum sebagai warga Kabupaten Bima. Selain itu, bertepatan dengan libur super panjang yang saya ambil dalam rangka lebaran. Dimana itu Bma? Googling deh.

Begitu sampai di Bima, saya baru tah kalau di kota tercinta saya itu tidak ada kantor imigrasi. Kantor imigrasi adanya di Mataram dan yang terdekat di Sumbawa dengan jarak tempuh 7 jam naik bus. Oh tidak!

Dengan menghibur diri bahwa saya akan menyaksikan pemandangan indah sepanjang jalan Bima-Sumbawa dan keinginan kuat untuk memegang passport, saya pun berangkat ke Sumbawa dengan diringi doa dan cucuran air mata dan bekal seadanya (oke, itu lebay!).

Ternyata rencana yang saya buat tidak sesuia dengan di lapangan. Seharusnya berangkat jam 6, saya dapatnya bus jam 10. Dengan hitungan di otak saya, berangkat jam segitu pun saya masih bisa engurus passport hari itu juga.tapi sekali lagi, realita berbicara lain. Saya baru sampai di Kota Sumbawa ketika sore menjelang dengan cahaya remang-remang dari balik semak-semak. Aduhh..! bakalan nginap deh. Belum juga berurusan dengan ribetnya kantor imigrasi, saya sudah harus ribet aja nyari tempat nginap di kota antah berantah ini.

Telfon sana-telfon sini, ternyata saya tidak perlu menginap di hotel karena saya punya family di sini. Menguhbungi family dan keluarga di saat butuh doang adalah hal ayang amat sangat prgmatis. Jadi, jangan ditiru. Akhirnya, saya menginap di rumah paman saya yang ternyata jaraknya cuma sekoprolan saja dari kantor imigrasi.

Keesokan paginya, saya sudah rapi jali berdiri di depan kantor imigrasi. Sengaja rapi jali karena saya sudah thu bakalan berurusan dengan petugas imigrasi yang katanya ribet. Jadi, saya tidak mau menambah masalah di penampilan. Mainstream saja lah.

Begitu mau melangkahkan kaki ke pintu kantor, saya dicegat oleh dua lelaki sekaligus. Hey! Saya memang menarik, tapi ngantri duonng! (halah!). Rupanya mereka calo yang mau menawarkan bantuan. Dengan sangat baiknya meraka langsung meraih dokumen-dokumen saya buat diperiksa. Eits…tampang kayak lo, nggak boleh nyentuh-nyentuh dokumen gue. Tapi tentu saja saya tidak ngomong seperti itu. Bisa digebukin nanti. Yang saya lakukan adalah tersenyum ganteng lima jari dan bilang;

“terima kasih bapak-bapak yang kumisnya menakutkan (oke tiga kata terakhir itu nggak masuk). Saya akan menguru sendiri”

Wajah manis bapak-bapak tadi berubah menjadi asem banget! Mereka ngedumel dalam bahasa Sumabwa yang lagi-lagi saya balas dengan senyuman. Tapi saya bertekad, itu adalah senyum terakhir yang saya berikan pada mereka. Tidak sudi aku!! Tapi rupanya dua bapak itu tidak rela, dia malah mengoper saya ke temannya yang menyerupai petugas (berseragam) di dalam kantor imigrasi. Akhirnya, karena bingung yang mana bagian informasi dan yang mana calo, saya minta bertemu dengan kepala bagian yang ngurus-ngurus passport (lupa namanya).

Ketika bertemu dengan bapak kepala bagian itu, saya menjadi tenang. Si bapak tersenyum ramah dan menanyakan keperluan saya. saya pun bercerita kemuadian bertanya calo-calo itu legal? Saya menyampaikan kalau saya tidak ingin ‘dibantu’ oleh mereka. Akhirnya si Bapak, memeriksa kelengkapan dokumen saya dan celaka!

Ternyata mereka mensyaratkan adanya surat pengantar dari orang tua, kampus atau kantor. Setelah berpikir sebentar, saya menyanggupi untuk melampirkan surat rekomendasi kantor. Saya segera menelfon sahabat saya Ridho yang masih ngantor dan juga Kak Dian. Saya minta tolong kedua-duanya untuk membuatkan surat rekomendasi dan mita dikirimkan melalui fax.

Nah, masalahnya sekarang mau cari tempat menerima fax di mana? Ah, tenang ada tukang ojek. Dengan bantuan tukang ojek, saya sampai di kantor Telkom yang mempunya layanan faximile. Dan tenang saja, tukang ojek dan umumnya penduduk kota Sumbawa itu ramah-ramah banget kok. Calonya aja yang asem.

Setelah kering menunggu di dengan pemandangan customer service bertampang nan jutek itu, akhirnya surat rekomendasi sampai di tangan. Segera meluncur kembali ke antor imigrasi. Saya melangkahkan kaki di bawah tatapan sinis calo-calo yang ‘bantuannya’ saya tolak.
Sebelumnya saya membaca alur pembuatan passport dan ketentuan-ketentuannya yang terpampang besar di tembok. Oh, jadi passport 48 halaman biayanya Cuma Rp. 255.000 dan passport dengan jummlah halaman di bawah itu lebih murah pula.
saya menuju ke loket penyedia formulir. Saya mengambil formulir dengan gaya bahwa formulir itu memang gratis. Tapi kemudian saya berdiri bimbang. Yang say abaca di internet, map berisi formulir itu gratis, tapi petugas biasanya minta uang administasi. Petugas di depan saya juga kelihatannya bimbang. Dengan bodohnya saya bertanya;
“gratis kan?
“bayar mas. 30 ribu!
Ya sutralah ya. Makan itu 35 ribu!
Setelah saya buka map, terpampanglah tulisan besar-besar; FORMULIR INI GRATIS, TIDAK DIKENAKAN BIAYA APA PUN!
Halah! Harusnya saya tidak boleh bimbang.
Setelah mengisi formulir saya menyerahkan ke loket dan bertanya berapa lama saya harus menunggu. Si petugas blang Cuma 1 jam.
Oke lah kalau begitu!
Satu jam menunggu, saya dipanggil untuk scan sidik jari dan wawancara plus membuat pas foto. Satu lagi yang eleset dari informasi yang saya dapat di internet. Ternyata fotonya nggak boleh bawa sendiri. Padahal saya sudah foto ganteng pake jas rapi kemarin.

Yang judulnya wawancara ternyata Cuma obrol-obrol singkat mau kemana dan untuk apa sambil menanda tangani passport. Dan informasi yang membuat saya shock adalah ketika petugasnya bilang; silahkan datang untuk mengambil passport anda 4 hari lagi.

Waduh, bisa berabe ini. Bagaimana mau kembali 4 hari lagi kalau saya harus kembali ke Malang dua hari lagi? Petugasnya bilang pengambilannya bisa diwakilkan. Tapi, saya merasa kepalang tanggung. Sudah repot biar repot sekalian. Kalau bisa selesaikan hari ini juga deh.

Setelah berbagai alasan cantik nan rasional, salah seorang petugas wanita dengan senyum manis bersedia mengusahakan passport saya jadi hari itu juga. Saya mgotot mau selesai hari tu juga karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri ada yang passportnya langsung jadi seketika. Dengan pelican sejumlah lembar rupiah tentunya.

Si Mbak baik hati itu dengan amat menyesal mengatakan tidak bisa membantu saya setelah bolak-balik ke berbagai ruangan mengusahakan passpot saya bisa diambil seketika. Saya hampir menyerah dan akan mewakilkan pengambilan passport kepada paman saya.

Tapi seberkas ide menyinari otak saya menjadi eureka! Saya menelfon abang saya dan minta untuk menelfon om saya yang pernah di Imigrasi propinsi dan sekarang ada di imigrasi Jakarta. Rupanya sang paman cepat tanggap dan merekomendasikan beberpa nama.

Dengan pede, saya minta bertemu dengan beberapa nama yang direkomendasikan om saya itu. Akan tetapi respon yang saya dapat adalah; mereka kebingungan karena nama itu tidak pernah ada dalam memori otak mereka.

Saya segera menanyakan kembali ke om saya. halah, rupanya beliau engira saya ada di kantor imigrasi propinsi. Nama-nama yang beliau sebutkan itu adalah mantan staffnya di imigrasi propinsi. Akhirnya keluarlah dua nama yang harus saya hubungi di kantor ini setelah paman saya terlebih dahulu menelfon mereka.

Si Bapak kepala bagian yang tadi tempat saya bertanya turun langsung mengurus passport saya agar bisa diambil saat itu juga. Dan taraaaa….! Passport hijau sudah di tangan saya dengan waktu pengurusan tidak lebih dari 3 jam!. Selain itu petugasnya sama sekali tidak ribet (karena saya punya koneksi om sayaJ).

Dengan hati riang saya, jalan-jalan dulu melakukan city tour sambil menunggu jadwal keberangkatan bus. Passport di tangan, saya merasa bebas. Tinggal koprol dan ngesot aja tuh ke Thailand. Tinggal lompat ke Swiss!