Monday, January 27, 2014

Ethiquette; Ruang Publik

Sore di Jogja hari ini hangat dan menyenangkan. Maka setelah menyelesaikan pekerjaan domestik, saya memutuskan untuk berangkat ke gym untuk beberapa set latihan. Lagipula, saya baru saja menyelesaikan minggu-minggu yang melelahkan dengan beban UAS dan final paper yang menumpuk. Beban saya semester ini jauh lebih banyak dari mahasiswa lain yang malah jauh berkurang karena perkuliahan telah berfokus kepada mata kuliah yang menjadi konsentrasi pilihan. Saya malah mengambil dua mata kuliah di jurusan Kebijakan Publik dengan beban kredit total 9 SKS di luar 14 SKS di jurusan saya sendiri. Dua mata kuliah itu menyumbang beban 5 final paper yang cukup berat, terutama policy paper yang dibuat sebagai skenario menghindari midle-income trap yang menghantui Indonesia. Rasanya setelah melalui minggu berat trsebut saya berhak untuk latihan gym panjang, berenang dan mungkin sauna. 

Saya tergelitik menulis postingan ini karena setelah berenang 10 putaran, saya merasa cukup terganggu dengan sekumpulan anak-anak muda berjumlah 8 orang yang menempati pool chair di sebelah saya. Mereka terdiri dari tampang lokal dan 3 tampang kaukasia yang perkiraan saya adalah mahasiswa asing. Mereka tampan-tampan dan cantik cantik yang dari fitur wajah dan semua yang melekat di tubuh dan gadgetnya, jelas mereka berasal dari peradaban modern. Tapi kecantikan dan ketampan tersebut langsung bernilai nol di mata saya karena perilaku mereka. Selain asap rokok yang mengepul, mereka memutar musik dari Iphone mereka yang disambungkan ke spekaer yang tentu saja menghasilkan suara yang keras. What? Am I in the kind of taman bermain somewhere in coast of Java with a bunch of Kampung people visiting? Selain itu, berkali-kali mereka berenang melintang yang menghalangi perenang lain yang berenang memanjang sebagaimana lazimnya. Well, rasanya dalam konteks seperti ini bukan saatnya untuk tampil beda deh. It doesnt't look creative at all. It's annnoying!

Dalam anggapan saya, mereka bukanlah orang yang tidak terpelajar yang asing dengan istilah common space dan etiket ketika berada di dalamnya. Di ruang publik, kita memang bebas untuk mengekspresikan diri dan melakukan hal yang kita sukai. Tapi hal yang harus diingat adalah, hak tersebut dibatasi oleh hak orang lain. Dalam konteks ini, hak tersebut adalah hak saya untuk menghirup udara yang bebas polusi asap rokok karena saya menjaga kesehatan saya. Saya juga berhak untuk tidak mendengarkan suara bising musik yang bukan selera saya tersebut. Bukankah teknologi sudah canggih sehingga musik tersebut bisa didengarkan melalui headset yang pastinya tidak mengganggu ketenteraman orang lain? Lagipula di pinggir kolam renang hotel ini jelas-jelas tertulis aturan dalam menggunakan fasilitas yang menekankan untuk memperhatikan kenyamanan orang lain, tertulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sekaligus. Well, kecuali mereka tidak memahami kedua bahasa tersebut atau mungkin rabun. 

Akhirnya saya juga tergelitik untuk menulis perilaku orang-orang di gym yang sepertinya tidak tahu tentang gym ethiquette. Atau sebenarnya mereka tahu tapi terlalu angkuh untuk mematuhinya. Dalam tata krama gym, sudah menjadi pengetahuan umum untuk mengembalikan alat dipakai ke tempatnya semula. Selain itu mengembalikan posisi alat ke posisi netral juga sudah menjadi peraturan umum di mana-mana. Tapi entah apa yang ada di pikiran orang-orang itu sehingga mereka meletakkan barbel berserakan dan membiarkan free weight machine dengan beban yang telah mereka set, bukan dikembalikan ke posisi nol. Apakah mereka berpikir bahwa mereka segerombolan makhluk istimewa yang mereka harus dilayani? Hey I'm a gift from God fro you. You have to serve me! Hellowww! Dan entah mengapa harus berbicara sambil berteriak-teriak di dalam ruangan seperti itu. Do you need attention Sir? Menurut saya ini adalah bentuk dari insekuritas sehingga mereka berpikir dengan berbicara ribut bergerombol orang lain akan terintimidasi. Thanks, not for me!

Selain membiarkan alat berserakan, kok mereka santai saja duduk di salah satu alat padahal tidak melakukan aktivitas latihan, malah asyik menekuri layar gadget. Tidakkah berpikir bahwa orang lain mungkin ingin menggunakan alat tersebut? Kalau buat saya sih gampang; saya tinggal menatap langsung ke matanya dan bilang; are you done? Akan tetapi ada orang lain yang entah karena budaya uwuh pakewuh malah mengalah instead of pushing to get what they deserve to. Di locker room juga sama. Selain bercakap-cakap dengan keras dan seringkali berteriak dan tertawa ngakak yang sangat gaduh di dalam shower room, mereka juga membiarkan handuk-handuk yang telah mereka pakai tergeletak di pantai instead of returning them to the towel storage. Sekali lagi kok enak sekali menambah pekerjaan orang lain untuk memungut handuk-handuk itu buat mereka. Yang menari adalah, mereka akan sangat senyap ketika tidak dalam gerombolan. Well, suatu hari saya tidak tahan dan menyelutuk, pindahan dari hutan Mas ya?

Akhirnya, karena saya menghargai hak saya, saya tidak mau hanya diam dan mengelus dada motok hasil latihan keras saya. Saya mendatangi gerombolan pemuda di samping saya dan dengan sangat sopan saya berkata;

"Mas, musiknya bisa didengarin sendiri saja? Kebetulan saya tidak sedang ingin mendengarkan musik sore ini"

Kelihatannya mereka cukup terkejut tidak menyangka akan ada orang yang protes dengan ketidaknyamanan yang mereka timbulkan. Dengan tampang memerah salah seorang yang bertampang bule meminta maaf dengan bahasa Indonesia yang dalam setingan biasa terdengar lucu, tapi tidak untuk saat ini. Sementara yang lainnya hanya memandang dengan pandangan bercampur heran dan takjub. 

Well, someone must stand for his right. Lagipula, perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil dan berani untuk menegur ketika melihat hal yang salah. Berani membicarakan hal-hal yang tidak lazim dibicarakan yang biasanya dihindari dengan kekhawatiran akan menyinggung dan merusak hubungan dengan orang lain. Mengalah dan menjaga perasaan orang lain tidak selalu bagus kalau hanya untuk menjaga agar suasana tetap harmoni dengan mengorbankan kenyamanan diri sendiri. Lebih baik mengungkapkan daripada memendam kekesalan di belakang yang hanya akan memberikan energi negatif pada diri sendiri.   Talk the untalkable, discuss the undiscussble. Value yourself, people will value you. 



Sunday, January 12, 2014

Catatan Akhir Semester; Dosen Favorit

Dalam banyak hal saya sangat percaya dengan "Judge the book from it's cover" dan " get the people from its first impression". Berbicara tentang frirst impression, saya bisa langsung memilah-milah mana dosen yang menyenangkan dan mana yang tidak. Definisi menyenangkan di sini  adalah kemampuan sang dosen berkomunikasi dengan mahasiswa, engaging, mempunyai aturan yang jelas, dan memposisikan mahasiswa sebagai equal peer dalam knowledge construction. Sehingga, ketika berinteraksi dalam kelas mahasiswa merasa bebas untuk menyampaikan pendapat, menyanggah ataupun mendebat dosen, tentu saja harus dilakukan dengan ethics. Ada banyak dosen yang ketika seharusnya sessi diskusi, ataupun ketika mahasiswa mengeluarkan pendapat di tengah-tengah sesi kuliah, dia tidak memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan kedalaman pengetahuannya dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengelaborasi, mengkontekskan, dan memberikan pendapatnya atas sebuah masalah sebelum dia bertanya untuk mengetahui pendapat dosen tersebut atas konteks permasalahan yang didiskusikan. Sang dosen dalam tipe tersebut biasanya akan memotong dengan "inti pertanyaannya apa"? Dan menekan berkali-kali dengan kata intinya. Buat mahasiswa yang nyalinya kecil, ini bisa membuat mereka gugup dan kehilangan kata-kata dan bisa jadi tidak akan mengeluarkan pendapat selama perkuliahan satu semester ke depannya. 

Saya pernah punya pengalaman dalam salah satu kelas profesor senior yang mengajar subjek "change management". Sebenarnya saya dan beberapa teman tidak berminat mengambil mata kuliah tersebut karena pengalaman kami pada semesternya dalam perkuliahan yang berbeda, professor yang mengampu mata kuliah ini pendekatannya dalam kelas tidak bagus. Dari student feedback evaluation yang diisi di akhir semester, professor ini menempati 2 posisi terendah. Akan tetapi, mengingat ini mata kuliah penting yang berhubungan dengan kebijakan, saya bersama beberapa teman teman bersepakat untuk memasukkanke dalam kredit SKS kami dengan komitmen, kami sendiri yang akan menghidupkan kelasnya dengan lebih aktif untuk menanggapi dengan berdiskusi walaupun si profesor belum membuka diskusi seperti yang dia lakukan biasanya. Kami bersepakat untuk selalu membaca jurnal dan referensi sebelum memasuki kelas sebagaimana seharusnya yang dilakukan oleh mahasiswa yang baik. Pada pertemuan pertama sampai ketiga, semua berjalan lancar. Kelas sangat hidup dengan diskusi-diskusi yang menarik. Kami selalu termotivasi untuk membaca jurnal yang berkaitan dengan topik yang akan kami diskusikan pada tiap pertemuan. Sang profesor pun menunjukkan perubahan dibandingkan dengan semester sebelumnya. Dia lebih engaging. Tampaknya feedback review yang kami tulis dan evaluasi dosen membuat dia berusaha untuk berubah. 

Topik perkuliahan pada pertemuan kali ini adalah tentang globalization drive. Topik yang saya sangat sukai. Semalam sebelumnya saya sudah membaca beberapa jurnal dan buku tentang "globalization and higher education". 

Ketika mahasiswa lain mulai menunjukkan kebosanan yang ditandai dengan menekuri layar laptop masing-masing, saya melihat kesempatan untuk menghidupkan kelas karena saya pun tidak akan tahan mendengarkan pembicaraan searah dpprofesor ini selama 2 jam ke depan. Ketika saya mengangkat tangan, prfesor tersebut mengangguk dan meberikan kesempatan kepada saya. Saya mulai menangkat beberapa fakta dan menghubungkan dengan bukunya Thomas Friedman, the World is Flat dan kemudian mengkontekskan dengan disparitas berbagai aspek di Indonesia yang membuatnya sulit untuk menyesuaikan diri dengan tantangan yang ada. Saya belum satu menit berbicara ketika sang profesor memotong dengan berulang-ulang mengatakan "intinya!". Sekarang, semua mahasiswa yang tadi menekuri laptop masing-masing mulai terfokus kepada saya dan si profesor. Saya pun mengajukan kalimat pertanyaan saya. 

Ketika si professor menanggapi, sampai pada 1 menit pertama, saya tidak mendapatkan poin yang berhubungan dengan apa yang saya sampaikan. Melihat hal tersebut, saya menyampaikan bahwa menurut saya apa yang dia bicarakan tidak dalam konteks pertanyaan saya. Maka saya menyampaikan ulang maksud saya dengan menjelaskan lebih detail konteks pertanyaan saya dan apa yang saya harapkan dari tanggapan beliau. Saya juga menyampaikan mengapa dalam diskusi ini saya tidak bertanya, tapi saya meminta pendapat beliau sebagai expert untuk membandingkan dengan apa yang saya baca, apa yang saya sintesa dari fakta dan bacaan dan kemudian saya sintesa lagi dengan pendapat beliau. Sintesis akhir itu adalah hak prerogratif. Saya sedikit menekankan bahwa dalam kelas ini kami tidak melakukan tanya jawab tetapi berdiskusi. 

Sesi tanya jawab adalah sesi untuk proses pembelajaran di sekolah menengah menurut saya. Dalam pembelajaran orang dewasa yang menggunakan prinsip pendekatan andragogy, bukan pedagogy, mahasiswa harus diposisikan sebagai partner. Mahasiswa, apalagi mahasiswa pascasarjana adalah manusia dewasa dengan kemandirian berpikir dan kemampuan analisis yang lebih, begitulah seharusnya. Akan tetapi banyak dosen, terutama dosen dari generasi tua masih mengajar dengan cara yang sangat klasikal dimana mereka menempatkan dirinya pada posisi yang lebih superior dalam hal knowledge. Pembelajaran di universitas seharusnya bukan lagi mengacu kepada knowledge transfer tetapi kepada proses knowledge construct dimana mahasiswa dibekali dengan learning skill dan kemampuan analisis serta critical inquiry yang menjadi slaah satu learning philosophy. Ketika mahasiswa mempunyai bekal ini, mereka akan belajar apa saja dengan lebih mudah. Mereka akan berpikir secara universal, think through.

Satu hal lagi yang sering menjadi hambatan dosen generasi tua adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Ini tidak berlaku untuk semua dosen karena saya mempunya beberapa midle-aged profesor yang sangat high tech. Dua orang orofesor favorit saya adalah profesor dengan umur di atas 50 tahun tapi kemampuannya beradaptasi dengan teknologi terbaru tidak kalah dengan mahasiswa yang generasi baru yang memang lahir di era digital. Ketika pertama kali memasuki kelas profesor tersebut, saya langsung menyukai mereka begitu seperangkat gadget keluaran perusahaan Mbah Steve Jobs tergeletak di atas meja mereka. Dan, walaupun saya belum menemukan penelitian yang menunjukkan korelasi antara melek teknologi dengan kemampuan menghidupkan kelas dalam proses perkuliahan, dua profesor ini mempunyai kelas yang sangat hidup. Kelasnya selalu ramai dengan diskusi-diskusi tentang fenomena terbaru yang sesui dengan topik perkuliahan. They also happeneed to be the most engaging professor that I've ever met. 

Saya juga punya cerita berkaitan dengan teknologi. Masih dalam setting yang sama dengan cerita pertama. Salah seorang teman sekelas mengajukan pendapat sambil sesekali matanya melirik ke tablet yang dipegangnya. Sebelum menanggapi pendapat teman saya tersebut, sang profesor dengan nada sinis berkata 

"kalau mau bermain dengan tablet, silahkan di luar kelas saya!"

Mendapati tanggapan seperti itu, teman saya agak tersinggung dan memberikan alasan mengapa ia harus melihat tabletnya. Ia menjelaskan bahwa kasus yang dia bicarakan tertulis di browsing window di tabletnya. Ia harus memastikan data yang dia sampaikan benar seperti yang tertulis dalam laporan yang baru dia dapat di internet yang terkoneksi ke tabletnya tersebut. Kemajuan teknologi membuat semuanya serba real time. Pada saat perkuliahan sedang mendiskusikan topik cross-border student mobility, mahasiswa bisa langsung mencari hasil penelitian terkini tentang topik tersebut dan menyajikannya hangat-hangat di tengah diskusi. Hal ini yang banyak belum dipahami oleh sebagian dosen generasi tua yang lahir dan besar ketika teknologi belum merubah wajah dunia seperti saat ini. Atau sebenarnya mereka paham, hanya kesulitan untuk beradaptasi. Saya mengerti, beradaptasi dengan perubahan yang sedemikian cepat tidaklah gampang, people tend to resist to change.Dan saya angkat topi untuk dosen-dosen generasi tua yang bisa melakukannya. 

Kembali ke judul curhatan saya. Dosen yang bagaimana sih yang menjadi favorit saya. Yang pertama, dosen tersebut masuk ke pertemuan pertama dengan RKKPS yang lengkap terdistribusi ke semua mahasiswa, atau karena ini zaman high tech, silabus dan aturan perkuliahannya bisa dialses di situs pribadinya atau media apapun yang disediakan oleh kampus. Salah satu dosen favorit saya, semua silabus perkuliahan dan bahan perkuliahannya bisa diakses di situs pribadi beliau. Ketika memasuki kelas, anggapannya adalah semua mahasiswa sudah mengakses situs tersebut dan tahu aturan main perkuliah di kelas tersebut. Di sinilah mahasiswa harus berperan aktif untuk reserach tentang perkuliahan dan dosen yang dihadapinya dengan googling atau bertanya ke bagian akademik. Ketika mahasiswa memahami RKKPS dari mata kuliah yang dia ambil, dia akan lebih mudah untuk melakukan self-directed learning, sebagaimana seharusnya pembelajaran pada orang dewasa. 

Yang kedua, dosen favorit dalam versi saya menempatkan mahasiswa dalam posisi setara. Tentu saja dalam koridor etika hubungan dosen-mahasiswa. Ada satu hal mengapa dosen dan mahasiswa harus dalam posisi setara, keduanya adalah insan akademis dengan kemampuan menyerap pengetahuan yang sama dan berada dalam mimbar kebebasan akademik. Yang membedakan keduanya adalah dosen mungkin mempunyai wisdom dan pengalaman yang lebih sehingga mahasiswa belajar dari hal tersebut. 

Yang ketiga, dosen tersebut menempatkan posisinya sebagai inspirator dan motivator. Ketika seseorang mempunyai motivasi yang tinggi, dia akan melakukan apa saja. Maka tugas dosen adalah menajga agar mahasiswa tetap termotivasi untuk belajar dan memperluas pengetahuan mereka, melihat dan mengkritisi fenomena dan kejadian di sekelilingnya dengan pijakan dasar yang kuat dan diterima secara intelektual. 

Yang keempat, pada akhirnya semua skill tadi harus dibungkus dengan kemampuan komunikasi yang baik karena proses perkuliahan adalah interaksi dan komunikasi. Kemampuan komunikasi di sini bukan hanya kemampuan berbicara dan mendeskripsikan. Terkadang kita terpaku bahwa kemampuan komunikasi hanyalah kemampuan berbicara seperti seorang orator ulung yang memukau. Kita melupakan. Salah satu aspek komunikasi yang penting, yaitu kemampuan mendengarkan dan berempati. Dan ini menurut saya adalah kemampuan yang paling sulit. 

Pada akhirnya, tulisan saya ini tidak bermaksud untuk mengeneralisir bahwa dosen-dosen kita berkwalitas seperti gambaran cerita saya tadi. Menarik untuk melihat indikator penilaian perguruan tinggi yang dipakai oleh Times Higher Education yang dipakai untuk menilai perguruan tinggi secara world wide. Sebesar 30% proporsi nilai disumbang oleh indikator "teaching" dengan beberapa sub indikator di bawahnya seperti teaching process dan learning environment. Ketika kita ingin meningkatkan daya saing pendidikan negara kita kita secara global, sudah sepatutnya untuk mengevaluasi dengan jujur kwalitas pengajaran di perguruan tinggi negeri ini. Data Kemendiknas menunjukkan bahwa baru 47% dari ratusan ribu dosen di negeri ini yang tersertifikasi. Tentu saja, kita harus menelisik lebih dalam, apakah yang membuat kwantitas tersebut serendah itu. Apakah karena memang dosennya tidak lolos sertifikasi atau karena sistem yang membuat proses sertifikasi sulit sehingga banyak dosen yang kesulitan untuk mengurus berkas sertifikasi. Seharusnya petanyaan kedua, bisa terjawab oleh dukungan teknologi yang serba online dan juga celah otonomi yang semakin luas diberikan kepada perguruan tinggi.