Thursday, December 23, 2010

India Moment; Senyummu Indahkan Duniaku

I was in rushing from Bandung to catch my flight in Soekarno-Hatta Airport when I wrote this note. I was anxious that I would miss the flight. It was three hours to the flight. I just keep on talking with my mind and regularly saw the clock above the drivers head front there. It was very annoying to think how I could be this late. I tried to keep the positive suggestion in my mind. I've proven this in many times, it was really works. What I kept in my mind was "the bus will get the airport no more than 2 o'clock" intervals with the words "the plane will delay 30 minutes, it's Indonesia men!"


 

To lose my anxiety I tried to focus on my book I bought in Gramedia Matraman when I was in my quick transit in Jakarta in my arrival from Padang. Unfortunately, instead of "wow, it's a good reading! I enjoy it!" what crossed in my mind was "owh…what kind of writing is this?". I just couldn't focus. Reading was no longer fun at the time. The anxiety of missing the flight broke my concentration. So, I packed back my book to my backpack and take my eyes out of the window in my side.


 

The shuttle bus I was taking started to enter the city highway which is regularly having the great long traffic jam. At the highway gate heading to the southern part of Jakarta and also Airport, the bus was side by side with another bus. The kind of a common economic bus crowded with the tired-face passenger. Suddenly, my eyes catch the other eyes in that bus. I didn't know why, that eyes create calm in my heart. Eyes on eyes on the side by side running bus. It was just randomly caught. It seems the eyes over there looked into my eyes too. Eyes on eyes lead to another contact. Now smile start to bow on that good looking face (Senyum from Raihan started to play). It's like that I had the 'India moment', the scene that you find in the bollywood movie (ya, ya, I know you'll laugh me because I like to watch Indian movie) when the man meet the girls at the first time. The girls blushingly avoid her sight from the men ayes and does the eyes contact afterwards. It's usually repeated. As you know, the next action will be the chasing each other in the large flower garden while singing. Sometimes hide behind the big tree and keep on singing. This part make Indian movie plays in a long long duration.


 

Ok, back to my India moment. The two buses rotated to run on before, rushing in the not too crowded highway. When they were running side by side, my India moment repeatedly happened. It's kind of strange to get the feeling from the 'I dunno who' over there. It's just started from the eye contact leaded by the smile. I forgot the anxiety of missing the flight and started to move my finger on my laptop's keyboard when the bus with the nice smiling face running on before my bus. It's an evidence that smile is a universal language, universal communication among us. So, why don't we smile? Who knows the smile on your face gives the cheers on people around you.

Padang 4# Padang in My Mind

I tried to look out of the aircraft window in my side. I wondered what kind of place that I will visit. Yes, I've learnt about this city from many books. I've googled the information for several times to make sure about the city. However, what I got in my mind was still blurring. What crossed in my mind was Siti Nurbaya, Sutan Takdir Alisyahbana, Agus Salim, Bunda Kanduang and many names that I got from the novel I had been reading when I was a child. The recent imagination about this city was related to the remarkable tourism place which is operated by the Italian; Cubadak Island. The Island I'm willing to visit during my stay in Padang. The view from the aircraft window was only the white cloud that was covered the land far down there.


 

Once the plane landed in International Airport of Minangkabau, I could see clearly the land outside. It was very different with the city I just left. I saw the green covered land surrounded by the forested hill. I was served with these tremendously beautiful views at my very first visit. Once I can directly conclude that the city is very beautiful with these natural landscapes. Yes, beautiful nature for me is a forest, hill and river.


 

It's proven when I was on the ride to the place where I stay now. I really enjoyed the ride along the way to the central of city. It was really different with the cities I had visited recently. I could feel the city would be very interesting. In addition, the people I met were very warm and friendly. It's kind of nice culture that Minang people have.


 

It didn't take a long time for me to adapt with the life here. Even I only knew little about 'bahasa Minang', it didn't take me to the 'lost in the city experiences'. It is very easy to get the information you need here. The people will gladly tell you the way home if you are lost. So, nothing to worry here.


 

Recently, I found my big pleasure in this city. I love to take the 'Angkot' wherever I go. It is not like the 'Angkot' I found in many cities in Indonesia, the old ugly public transportation that people try to avoid. Unlike the fact in other cities, Angkot in Padang is my favorite transportation. Whenever I needed the escape from my hectic job, I would directly head to the street and take Angkot to do the city tour. What I like is the good music, comfort seat and the artistic decoration. Sometimes, I thought that I got the ride from the gangsta black man driver that is figured in the Hollywood movie. The combination of good music, decoration, and speed driving make my imagination take me to the scene of Fust and furious movie. In some 'Angkot', I found the wide flat LCD screen which played Justin Bieber or Akon video. And in one lucky day, the driver played me Lady Gaga's songs along the way in my city tour. With what I've found, there is no reason not to enjoy the living in this city.


 

Monday, December 13, 2010

Padang 2# Angkot; Lady Gaga

Dalam setiap trip ke suatu kota, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari informasi sedetail-detailnya tentang angkutan umum kota tersebut. Informai yang saya butuhkan sih seputar tariff angkot, rutenya kemana saja dan cara menyetop angkotnya seperti apa. Selain itu saya juga akan bertanya apakah aman bertanya kepada supir angkot bila kita ingin ke suatu tempat. Saya butuh informasi detail seperti itu biar saya mudah pergi kemana-mana walaupun saya tinggal bilang sama tim saya di sini dan aya akan diantar kemana-mana. Tapi untuk urusan jalan, saya lebih suka suka jalan sendiri tanpa merepotkan orang lain. Pasalnya saya suka jalan kaki lama-lama, duduk diam di sebuah warung pinggir jalan sambil menikmati suasana sekitar dan hal-hal sepela lainnya yang sering diprote oleh teman jalan saya. Selain itu dengan mempunyai informasi yang lengkap anda tidak akan kelihatan seperti orang asing di sebuah tempat yang baru. Peluang anda untuk ditipu orang pun semakin kecil.


 

Walaupun saya sudah mengumpulkan informasi lengkap seperti tadi, biasanya saya masih juga nyasar. Tapi selama itu nyasar di tengah kota dan bukan di tengah hutan Amazon, saya sih oke-oke saja. Hitung-hitung bisa melihat tempat yang baru. I don't really buy malu bertanya sesat di jalan. Di kota yang baru kita kunjungi menurut saya banyak bertanya berarti siap-siap ditipu. Kalaupun bertanya saya memilih bertanya kepada bapak polisi atau ibu-ibu.


 

Kesukaan saya memakai transportasi umum membuat saya tahu beberapa hal yang sangat mencolok tentang angkot dan bus kota. Perbedaan yang paling mencolok adalah masalah kenyamanan, interior dan eksterior serta kesopanan pengemudi angkot. Supir angkot di Malang misalnya. Mereka cukup ramah namun angkotnya sangatnya sangat sederhana dan dengan warna biru yang membosankan. Rute angkot di Malang ditandai dengan huruf-huruf besar yang merupakan singkatan dari rute angkot tersebut. Yang lucu adalah di Balikpapan dan beberapa kota di Kalimantan Timur. Mereka menyebut angkot dengan sebutan Taxi. Begitu juga di Papua.


 

Nah, naik angkot yang paling menyenangkan menurut saya adalah di Kota Padang. Hari pertama sampai di kota itu saya langsung menjajal angkot sendirian. Angkot di sini sangat eye catching. Eksteriornya penuh ditempeli stiker-stiker dan tulisan seperti yang ada di mobil-mobil rally di F1. Kebanyakan angkot di sini dimodif sehingga menjadi ceper seperti mobil balap. Setiap rute mempunyai warna berbeda yang keren-keren. Ada yang berwarna pink yang hampir ke ungu. Orange, putih, dan biru. Saya suka banget yang berwarna pink dan putih. Badan mobil penuh. Sebagian lagi badan mobilnya ditutupi oleh gambar seperti yang ada di wallpaper computer. Ketika angkot-angkot ini sudah beriringan di jalan makin mirip dah sama mobil-mobil rally.


 

Begitu masuk ke dalam angkot, saya takjub mendapati interiornya yang luar biasa. Tempat duduknya nyaman dan bersih dengan posisi menyamping saling berhadapan. Seatnya tidak penuh berdesakan sehingga menciptakan ruang yang lapang yang membuat penumpang merasa nyaman walaupun angkot penuh. Seat depan yang ditempati pak supir lebih keren lagi. Posisinya dibuat lebih rendah daripada seat penumpang. Sandaran kursinya tinggi dan empuk seperti kursi kantor.


 

Yang paling keren menurut saya adalah pernak-pernik aksesoris yang melekat dalam angkot. Aksesoris yang paling dasar dan dipunyai oleh semua angkot adalah audio canggih yang super stereo. Biasanya perangkat audio itu terdiri dari satu buah speaker aktif yang besar dan 3-5 speaker aktif kecil di setiap sudut. Perangkat tadi tersambung ke pemutar audio (Mp4) yang semuanya menggunakan USB. Si supir tinggal mememncet remote control, music pun mengalun. Di beberapa angkot yang saya naiki bahkan dilengkapi dengan monitor layar datar Samsung 17 inci. Di angkot yang lain lagi dilengkapi dengan kamera CCTV yang di pasang di dashboard angkot. Biasanya angkot jenis ini menjadi rebutan anak-anak sekolah. Semua aksesoris itu dilengkapi dengan lampu-lampu dan botol-botol yang ditata dengan artistik sehingga menyerupai bar mini atau music room. Biasanya semua pernak-pernik tadi masih dilengkapi dengan aksesoris-aksesoris seperti yang saya lihat di mobil-mobil black men di film-film Hollywood. Hoho…saya tidak tahu nama-nama aksesoris itu karena pengetahuan saya akan otomotif jongkok banget.


 

Nah, aksesoris sudah oke, perangkat audio sudah keren. Bagaimana dengan musiknya? Hampir semua musiknya gue banget. Anda tidak akan mendapati music dangdut apalagi koplo. Ini Padang men! Kalaupun ada music daerah, ya lagu minang. Tapi saya nggak masalah. Telinga saya sangat menikmati lagu-lagu minang walaupun saya tidak tahu artinya. Tapi yang paling banyak diputar adalah music-musik hip-hop, electric pop , brit pop dan hip-hop yang menghentak. Makanya, mbak Lady Gaga, Uda Akon, Bang Usher, Mas Ne-yo dan Bang Craig David menjadi top hits di sini. Musik-musik keren dengan audio canggih tadi membuat anda merasa berada di sudut sebuah club. Malahan lagu-lagu yang menjadi ost. Drama Korea kerap terdengar. Kalau anda mau, anda juga bisa request kok. Saya pernah diputarin lagu-lagunya Mbak Lady Gaga sepanjang jalan gara-gara saya minta dia untuk replay lagu "Let's Dance".


 

Setelah saya pikir supir angkot di sini sangat customer oriented. Mereka tahu bagaimana memanjakan konsumen (angkot). Berbeda dengan bus-bus dan angkot di Jawa yang walaupun tertulis excecutive class/Patas, musik yang diputar adalah dangdut koplo group Palapa yang termasyhur itu. Padahal penumpangnya kebanyakan anak-anak muda. Malahan saya tahu lagu-lagu baru ketika saya naik angkot. Nggak perlu mantengin acara music di TV buat tahu lagu-lagu baru. Cukup mutar-mutar naik angkot saja.


 

Kalau supirnya bagaimana? Kebanyakan mereka masih muda dan tampil keren macam anak-anak gahul itu. Dari rambut ke kaki tertata apik. Sepertinya mereka sangat menikmati profesi mereka. Walaupun fitur wajah orang di sini gahar-gahar, ternyata mereka sangat sopan. Mereka akan memanggil anda dengan uda dan uni dan tidak segan-segan memberi bonus senyum lima jari.


 

Selama di sini, saya sudah mencoba 3 jenis angkot, dan saya paling suka angkot warna putih dengan rute pusat kota-Basko Mall. Desain eksteriornya keren-keren mulus. Interiornya juga keren-keren. Saya masih penasaran ingin mencoba naik angkot warna pink yang kelihatannya chic banget itu. Nah, kalau anda ke Padang, jangan ragu-ragu untuk naik angkot. Asyiknya pool pokoke!


 

Kalau anda, pengalaman naik angkot anda seperti apa? Cerita juga dong tentang angkot di kota anda!


 


 


 


 


 


 


 

Palembang 4# Connecting Connected, Being Connected. Are you Well Connected?

Saya menulis draft catatan ini dalam perjalanan dari Padang-Palembang melintasi jalan Lintas Sumatra dengan bus. Waktu itu saya agak kesal karena mau ke kota tetangga aja kok mesti transit ke Jakarta terlebih dahulu sih? Gara-gara kesal itulah saya dengan senang hati memilih naik bus daripada naik pesawat yang harus transit ke Jakarta dulu. Padahal kan secara logika lebih efektif naik pesawat walaupun harus transit ke Jakarta dulu. Tapi saya sedang ngambek. Wujud ngambek saya adalah memilih naik bus. Padahal sih, alasan lainnya karena naik bus jelas lebih murah. Siapa yang nggak mau? Bayar lebih murah dengan bonus sensasi melintasi rimba Sumatra. Buat saya itu jelas-jelas bonus yang menggiurkan.


 

Tapi selama dalam perjalanan saya masih juga memikirkan tentang 'mengunjungi kota tetangga tapi harus transit ke Jakarta dulu'. Itu kan sama dengan mau dolan ke rumah tetangga sebelah tapi harus berjalan memutar ke kampung sebelah. Padahal kan rumah yang dituju hanya terpaut dua rumah.


 

Bisa jadi, masalah 'koneksi offline' ini yang menghambat perkembangan daerah-daerah di luar Jawa. Mungkin ini tidak jadi masalah dengan para pebisnis dengan kantong tebal karena biaya transportasi hanyalah seupil bagi mereka. Berbeda dengan bisnis kecil dan pemula yang harus memperhitungkan dengan sangat cermat dan hati-hati semua biaya yang harus mereka keluarkan. Bagi mereka, naik bus tentu lebih dipilih karena jauh lebih murah. Tapi tentu saja naik bus tidak efektif buat bisnis mereka. Waktu produktif terbuang di kursi bus.


 

Ketika secara offline koneksi masih menjadi hambatan bagi sebagian besar orang, secara offline sebagian besar orang sudah connected. Perkembangan teknologi informasi terutama internet menyebabkan horizontalisasi di antara penduduk dunia. Secara online mereka sudah semakin sejajar alias horizontal. Informasi dan pengetahuan yang diakses oleh si Sam di new York sana pada saat yang sama bisa diakses oleh si Abdoul di tengah gurun Sahara Afrika maupun Si Yefrizal di Sawahlunto sana. Ide-ide yang didapat setelah mengakses informasi dan pengetahuan tadi tentu saja bermunculan di kepala mereka menunggu untuk direalisasikan di dunia offline.


 

Permasalahannya adalah horizontalilasi online tadi masih susah diwujudkan dalam dunia offline. Si Yefri di Bukittinggi boleh saja bercakap real time dengan si Yves di bawah Eiffel sana akan tetapi belum tentu ia bisa dengan mudah mengunjungi si Uno di Palembang. Ia bisa mengunjungi si Yves secara online dengan mudah akan tetapi susah untuk mengunjungi si Uno yang di Palembang walaupun mereka tetangga propinsi dan jaraknya tentu saja jauh lebih dekat. Ia memutuhkan waktu lebih dari 16 jam untuk bia sampai ke sana dan harus memutar ke Jakarta dan membayar lebih mahal kalau mau lebih cepat. Biaya yang lebih mahal dikeluarkan karena tidak ada direct flight dari Padang ke Jakarta walupun mereka tetangga. Lucu juga dengan kenyataan harus ke Jakarta dulu untuk sampai ke Pekanbaru atau Medan dari Palembang. Rute yang memutar jauh ini kan high cost. Bisa nggak sih salah satu Airport yang ada di Kota di Pulau Sumatera ini dijadikan hub untuk penerbangan ke kota-kota sekitarnya. Kalau perlu, di Kalimantan juga harus punya satu. Jadi, nggak harus Jakarta sentris kayak gini.


 

Saya: Ngantuk pagi-pagi buta rushing to Sultan Badruddin II Palembang airport to catch the flight to Padang via Jakarta. Menunggu untuk terbang dari satu kota ke kota lain di Sumatera tanpa harus ke Jakarta dulu.


 


 


 


 


 


 


 

Palembang 3# In the End, I have to Leave

Setelah memutarkan lagu "Good Byee"nya MLTR buat peserta pada sessi Listening kemarin, saya ternyata harus benar-benar say good byee kepada Indralaya and Palembang. Walaupun saya pernah bilang Indralaya itu very laid back, tapi toh saya terbiasa juga dengan ritme kehidupannya yang tanpa hingar bingar. Lagipula hati saya sudah terpaut dengan para peserta training saya yang secara emosional kita sudah sangat dekat. it's very hard to leave, when you fasten your heart upon something.


 

Saya sudah nyaman dengan ritme keseharian yang saya lakukan di sini. Berjalan kaki ke kelas tempat melintasi areal kampus yang luas. Pulang bersama-sama peserta menggunakan angkot ketika sore menjelang. Having conversation or words game during the way home or simply walking together while chatting or sharing about anything. And of course having extra days and corresponding through the SMS to assist them in Learning. It created closeness among us.


 

Saya juga sudah terbiasa dengan refreshing saya yang simple; naik bus kampus melintasi padang gambut menuju Palembang. Ini adalah salah satu cara bagi saya untuk menyelesaikan bacaan. 20 menit pertama perjalanan Indralaya-Palembang biasanya saya masih terpaku pada bacaan di tangan saya dengan diiringi nyanyian pengamen. Ketika perjalanan melintasi Padang gambut, mata yang tadi menuyusuri kalimat-demi kalimat mulai tidak tahan untuk melihat ke arah luar jendela. Maka di depan saya terhamparlah lahan gambut yang dipenuhi rumput-rumput rawa yang diselang-selingi oleh sungai-sungai kecil bening yang mengalir tenang. Ada satu sungai kecil yang selalu saya tunggu untuk melewatinya. Sebuah sungai bening yang saking beningnya saya bisa melihat dasar sungai dengan jelas dari atas bus yang melaju. Keindahan yang masih belum terjamah tangan manusia.


 

Ketika sampai di kota Palembang, saya akan langsung melompat ke atas bus Trans Musi dan menikmati kenyamanan sensasi segar setelah berpanas ria dengan hawa kota Palembang. Saya akan duduk tenang di atas bus dan mulai membaca atau sekedar memperhatikan orang-orang dalam bus dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Menurut saya, ini adalah salah satu cara untuk mencoba menyelami kehidupan lokal. Saya jadi tahu bagaimana the locals behave, saya tahu apa topic pembicaraan yang sedang inn di tengah-tengah mereka. Saya juga tahu bagaimna kecenderungan mereka dalam fashion tentu saja. Dan tentu saja saya mulai sok menilai satu per satu penampilan mereka.


 

Biasanya saya akan ikut rute bus dari ujung ke ujung kemudian transit di salah satu halte untuk menaiki bus yang lain yang akan membawa saya untuk makan siang. Karena ini di Palembang, menu utama yang dicari adalah makanan khas Palembang. Dan favorit saya adalah pempek. Setelah city tour itu biasanya saya menemukan banyak ide untuk training saya. Banyak hal yang menginspirasi ketika saya duduk berpikir sambil melayangkan pandangan ke luar jendela bus.


 

Ada yang bilang keindahan versi saya terlalu sederhana dan mungkin hal biasa bagi orang lain. Namun bagi saya, keindahan tidak harus dibingkai dengan mewah. Hal yang sederhana akan menjadi indah dalam bingkai hati saya. Keseharian yang bagi orang mungkin adalah hal biasa bisa menjadi romantis bagi saya. For me, it's the matter of how I set my paradigm. Saya sangat bersyukur bisa menikmati keindahan dalam bingkai yang sederhana. Saya menjadi mudah menemukan keindahan itu ada di mana-mana bahkan dalam hal-hal remeh yang luput dari perhatian orang. Banyak orang yang harus membayar mahal untuk menikmati keindahan dalam bingkai yang mereka buat sendiri atau bingkai yang dibuatkan oleh orang lain untuk mereka.


 

Kalau anda, bingkai keindahan versi anda seperti apa?


 


 

Indralaya, The City That’s Very laid Back

Apa yang anda bayangkan ketika mendengar Kata Palembang? Pasti anda akan langsung meneriakkan empek-empek dengan semangatnya. Iya, saya tahu kalau empek-empek itu terkenal banget dan tentu saja enak banget. Tapi sekarang saya tidak sedang menulis tentang empek-empek walaupun empek-empek itu memang enak sekali. Saya akan bercerita tentang sebuah kota kecil yang penting sekali untuk kehidupan pendidikan di Palembang, Sumatera Selatan bahkan Indonesia. Kota kecil itu adalah kota tempat Universitas Sriwijaya (Unsri) berdiri. Nama kotanya adalah Indralaya.silahkan cek peta anda! Atau kalau ingatan anda tidak tergolong ke dalam kategori 'Jongkok', silahkan "recall" lagi pelajaran geografi di SD dulu. Dapat? Iya, iya! Saya nggak jamin anda menemukannya karena kota ini memang kota kecil yang menjadi penting hanya karena ada Unsri di situ.


 

Indralaya adalah ibu kota kabupaten Ogan Ilir yang merupakan kabupaten baru (baru 5 tahun) pecahan dari kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Dari Palembang bisa ditempuh dengan bus selama lebih kurang 1 jam. Kota dengan dominasi lahan gambut kosong ini masih sangat minim fasilitas. Padahal kota ini dihuni oleh puluhan ribu mahasiswa Universitas Sriwijaya dari berbagai daerah. Jangan tanya dimana café nyaman dengan sofa empuk dan fasilitas hotspot karena yang tidak bersofa empuk dan tidak berfasilitas hotspot saja nggak ada. Makanya untuk beberapa kebutuhan, harus ke Palembang dulu untuk mendapatkannya. Padahal kan Unsri itu sudah berdiri puluhan tahun di tempat ini. Masak nggak ada yang berpikir untuk melihat ini sebagai peluang bisnis?


 

Mahasiswa tinggal di tempat yang namanya 'bedek' yang tersedia di sekeliling kampus atau di rusunawa yang disediakan kampus. Bedek adalah sebuatan untuk kos-kosan berbentuk bangsal memanjang yang berisi rumah-rumah kecil seperti perumahan tentara. Satu rumah terdiri dari teras, ruang tamu, kamar tidur dan kamar mandi. Biasanya iap bedek di isi dua orang.


 

Mau berenang? Kubangan sih banyak karena memang lahan gambut itu kan berawa-rawa juga. Tapi kalau kolam renang, kata orang-orang yang saya tanyai sih nggak ada. Nah, akhirnya siklus kehidupan di sini ya kos-kosan, kampus, kos-kosan lagi. Kalau yang cowok sih masih bisa maen futsal di sore hari di lapangan kampus. Mau ngetem di perpustakaan kampus juga, perpustakaannya tutup jam 4 sore.


 

Sebenarnya kampus Unsri itu berdiri di 4 lokasi. 3 kampus berada di Kota Plembang dan satunya berada di kota (masih berat menyebutnya kota) Indralaya ini. Akan tetapi kampus utamanya ya kampus yang di Indralaya ini. Kampus yang di Palembang hanya untuk program D3, Extension, dan Pasca Sarjana serta Kedokteran khusus untuk mahasiswa semester 2 ke atas. Kampus iniceritany adalah World Class University dan katanya lagi adaah kampus terbaik di luar Jawa (kata orang Univeristas Andalas, kampus merekalah yang terbaik di luar Jawa, begitu juga kata orang USU. Unhas pun bilang begitu. Hehe…!).


 

Kampus ini mempunya terminal bus di dalam kampusnya. Setiap jam ada bus khusus yang pulang pergi dari kampus ini ke kampus D3 dan Ekstension di Palembang sana. Dan intensitasnya semakin tinggi ketika jam-jam masuk kuliah atau siang ketika banyak kelas yang sudah selesai belajar. Ada dua pilihan bus yang bisa membawa anda keluar dari kampus ini. Yang berwarna kuning adalah bus dengan rute Unsri Indralaya-Unsri Bukit (di Kota Palembang) dan bus yang berwarna putih-hijau akan membawa anda ke pasar 16 Ilir, pasar tertua di Pinggir sungai Musi yang terletak persis di ujung Jembatan Ampera. Kalau anda ingin bermain-main ke kota, maka naiklah bus hijau. Tapi kalau saya lebih suka naik bus warna kuning karena lebih nyaman dan tenang tanpa bunyi-bunyian musik berisisk nggak jelas yang biasanya memenuhi bus kota di sini. Walaupun tujuan saya bukan ke Unsri Bukit, saya bisa naik Trans Musi (buswaynya Palembang) yang nyaman dan adem di halte Unsri Bukit untuk melanjutkan perjalanan ke berbagai tempat di kota Palembang.


 

Kuliner; I Miss Kayungyun!


 

Waktu makan yang paling saya sukai adalah watu sarapan. Sarapan itu wajib hukumnya buat saya. Sarapan saya sih simple aja. Kalau kebetulan lagi di Malang saya suka sarapan burjo (bubur kacang ijo) pagi-pagi buta. Adang-kadang sehabis shalat subuh. Lucky me. We have Kayungyun that are ready to serve me 24 hours. Ada juga sih edisi tiruannya Kayungyun. Ada Kagugu, Kakuyunuyun dan nama-nama yang mirip lainnya. Tapi model outletnya sama kok. Tapi kalau di Malang saya punya outlet Kayungyun favorit. Saya suka menyantap burjo di Kayungyun Mertojoyo deat gedung IBI. Kacang ijonya gede-gede dan manisnya pas banget. Porsinya juga nampol abis. Selain itu, mas-mas sunda cakep yang biasa melayani ramah banget.


 

Beda lagi kalau kebetulan saya lagi di Padang. Setelah mabok bertubi-tubi dihantam lontong gulai dan lontong pical, saya menemukan sarapan favorit saya; kue surabi dan lupis campur burjo di depan kampus Universitas Bung Hatta. Biasanya pagi-pagi saya jalan kaki ke tempat itu. Soalnya alau telat dikit pasti nggak kebagian. Makan kue lupis yang dulumuri gula merah cair dan parutan kelapa kemudian dicemplungkan ke dalam mangkuk berisi burjo adalah hal baru bagi saya. And I love it!


 

Sarapan yang paling saya sukai adalah kalau lagi di Kuta Bali adalah Banana Pancake dan Scramble Egg. Saya ngga pernah sarapan selain Scramble Egg, Banana Pancake dan Toast. Satu cramble egg, dua buah toast dengan strawberry jam atau madu plus dua Banana pancake cukup membuat saya kekenyangan. Banana pancake favorit saya adalah di restorannya Yulia Inn di Kuta Square.


 

Beda alau lagi saya pulang kampong. Sarapan favorit saya adalah nasi putih mengepul hasil sawah ibu saya, sayur bayam dan uta karamba bakar.


 

Nah, bicara sarapan dengan tempat saya tinggal sekarang membuat selera sarapan saya hilang. Setiap hari hanya ada dua pilihan sarapan; Nasi uduk dan Empek-empek. Saya suka makan empe-empek. Tapi makan empek-empek dengan kuahnya yang terbuat dari cuka itu kan bikin perut perih. Lagian empek-empek tida cukup nampol buat perut saya. Makan nasi uduk juga buan favorit saya. Apalagi lauk yang tersedia hanya telur rebus atau dadar telur kebanyakan tepung. Dan itu berlaku di seluruh Indralaya. Pernah karena bosan dengan sarapan yang itu-itu saja saya sarapan bakso pagi-pagi buta. Rasanya aneh.


 

Ketika saat makan siang, saya bias sedikit bersora bahagia. Saatnya menjelajahi kantin-kantin kampus Unsri. Kantin favorit saya adalah antin Tenik dan kantin Eonomi. Makannya ambil sendiri dan pilihan pun bejibun. Mau pindang ikan patin, ada. Minumannya juga beragam. Minuman favorit mahasiswa di sini adalah Cappuccino blend. Sama banget dengan minuman kesukaan saya. Lagian, saya suka makan bareng mahasiswa karena saya bias nguping pembicaraan mereka. Pengen tahu saja, apa sih topi yang biasa dibicarakan mahasiswa di sini. Lagipula saya bisa sekaligus belajar bahasa lokal walaupun harus nebak-nebak artinya.


 

Saya tidak merekomendasikan siapa pun untuk berwisata ke Indralaya ini. Kecuali bagi anda yang tergila-gila dengan keindahan lahan gambut nan luas yang terhampar di daerah ini. Tapi memang indah kok, di kanan-kiri jalan yang berawa anda akan mendapatkan teratai putih dan merah bermekaran berselang-seling dengan rerumputan setinggi orang dewasa. Sungainya juga bening dan tenang banget. Sampai-sampai dari atas bus yang sedang berjalan saya bisa melihat dengan jelas dasarnya.


 

P.S


 

Rupanya orang-orang di sini enggan menyebut tempat ini kota. Tadi pagi teman saya nanya gini; betah tinggal di dusun Indralaya?


 


 


 


 


 



Palembang 2# Musi River Tour

Seminggu setelah tinggal di Palembang, manager kantor saya di Palembang, Mas Agung mengajak kami untuk river tour. Saya yang sudah penasaran untuk naik perahu menyusuri sungai Musi seperti yang diceritakan oleh Tantowi Yahya dalam lagunya Sebiduk Sungai Musi (hayo..! pada tahu kan lagu itu?) menyambut gembira ajakan itu. Lagipula ini kesempatan untuk memperkuat tim. Semacam outing gitu lah. Tujuan kami siang itu adalah berperahu menuju Pulau Kemaro. Pulau yang menjadi salah satu tujuan wisata itu terletak di tengah-tengah sungai Musi ke arah hilir.


 

Berhubung ini akhir pekan, kawasan Ampera penuh dengan oleh pengunjung yang berwisata di Sungai Musi ataupun mengunjungi museum dan sekedar makan siang dan menikmati kuliner khas Palembang sambil duduk-duduk di tepi sungai. Ampera adalah sebutan untuk kawasan sepanjang pinggir sungai di sekitar jembatan Ampera. Daerah yang patut dikunjungi di sini adalah istana Sultan yang sekarang menjadi musem, benteng Kuto Besak peninggalan Sultan Badruddin dan Mesjid Agung yang berarsitek khas Palembang.


 

Dengan membayar 70 rebu perak untuk 6 orang, kami sudah bisa pulang pergi ke Pulau. Ada dua pilihan perahu yang bisa dipakai. Kalau anda ingin merasakan sensasi ngebut di atas sungai, maka pilihan yang tepat adalah naik speed boat kayu yang ngebutnya gila-gilaan. Akan tetapi kalau hanya ingin menyususri sungai sambil menikmatinya dengan santai, pilihan yang tepat adalah perahu motor biasa. Naik perahu motor ini membuat deg-degan juga. Setiap speed boat lewat yang menciptakan ombak yang membuat perahu motor yang kami tumpangi oleng hebat. Saya sampai takut banget perahunya bakal terbalik. Sampai malu dengan gadis-gadis tim kami yang santai saja menikmati perahu yang oleng.


 

Sungai Musi ramai dipenuhi oleh kapal-kapal tongkang dan kapal barang yang bongkar muatan. Belum lagi perahu-perahu wisata dan bus air yang hilir mudik mengantar penumpang. Apalagi kawasan pabrik PT.Pupuk Sriwijaya terbentang sepanjang sungai itu. Kapal-kapal pengangkut pupuk dan bahan baku pembuatan pupuk memenuhi sepanjang sungai. Selain itu kapal penumpang tujuan Pulau Bangka juga berlabuh di dermaga sungai Musi.


 

Sepanjang sungai ini juga berdiri beberapa 'SPBU' terapung yang siap melayani perahu motor yang butuh bahan bakar. Sepanjang tepian sungai berdiri rumah-rumah warga yang setengah terapung. Sebagian bahkan berdiri di atas sungai sepenuhnya. Anak-anak kecil tampak bergembira menimati sore hari dengan meloncat dari atas kapal-kapal yang bersandar atau dari beranda rumah mereka ke dalam sungai. Wah, kalau mencari bibit atlet renang dan loncat indah, seharusnya Pelatnas tinggal hunting di sepanjang sungai ini. Salah satu perkampungan tua yang berjejer rapi di sepanjang sungai ini adalah Kampung Arab. Lucu juga mebayangkan bagaimana nenek moyang mereka yang terbiasa hidup di gurun di tanah asalnya harus beradaptasi untuk hidup di atas sungai.


 

Ada satu hal yang patut disayangkan terkait dengan sungai Musi ini. Tampaknya warga sepanjang sungai sudah menjadikan sungai Musi sebagai halaman belakang rumah mereka. Tahu sendiri kan bagaimana kalau sungai sudah dijadkan halaman belakang? Sungai akan menjadi tempat membuang hajat, tempat membuang sampah dan tidak terpelihara lagi. Padahal ketika zamannya sungai Musi masih menjadi satu-satunya urat nadi transportasi, rumah-rumah itu menghadap ke sungai. Kasus yang hampir terjadi di semua sungai di Indonesia.


 

Setelah menepi sebentar untuk membeli makanan, kami menikmati makan siang kami di atas perahu yang melaju menyusuri sungai Musi. Makan siang menjadi berlipat nikmatnya karena dinikmati di atas perahu kayu kecil yang membelah sungai. Setelah mengantar ke Pulau, tukang perahu akan setia menunggu anda di dermaga pulau.


 

Di tengah pulau Kemaro berdiri sebuah Klenteng tempat beribadah masyarakat Palembang yang beragama………. Pulau yang diteduhi oleh pohon-pohon besar ini selalu ramai dikunjungi oleh penziarah atau mereka yang sekedar ingin berwisata. Saya agak lupa asal-usul pulau ini seperti yang tertulis di prasasti di tengah-tengah pulau. Yang saya ingat sih, dulunya ini tempat seorang Putri bernama Siti Fatimah yang dipersunting oleh prajurit cina tinggal.


 

Hari beranjak sore ketika kami berperahu meninggalkan pulau. Menimati sore hari sambil menyusuri sungai Musi benar-benar indah. Semburat lembayung sore yang berwarna jingga terpantul indah di permukaan sungai Musi dengan jembatan Ampera yang membentang kokoh di atasnya.


 

Pertama kali menapakkan kaki di kota ini saya merasa de javu. Saya seperti pernah berada di kota ini sebelumnya. Jalan-jalan lebar searah, panas yang menyengat, kendaraan yang memadati badan jalan dan halte-halte sepanjang jalan. Yup, Kota ini mirip Jakarta. Mirip panasnya, mirip padatnya dan hampir mirip macetnya.


 

Sungai Musi

Berbicara tentang Palembang tidak bisa dipisahkan dengan berbicara tentang sungai Musi. Mendengar nama Musi, saya langsung teringat sebuah lagu country yang dinyanyikan oleh Tantowi Yahya untuk mengenang sungai Musi. Sungai inilah saksi bisu peradaban-peradaban besar yang timbul dan tenggelam di Palembang ini. Sungai ini menjadi saksi kebesaran peradaban Kerajaan Sriwijaya yang kekuasaannya pernah meliputi beberapa Negara di ASEAN sekarang. Akan tetapi, sulit sekali mendapatkan sisa fisik peradaban Sriwijaya di kota Palembang sekarang. Kebanyakan arca-arca peninggalan Sriwijaya ditemukan jauh dari kota Palembang dan Sungai Musi.


 

Seperti peradaban-peradaban tepian sungai lainnya, Sungai musi menjadi pusat aktifitas sejak zaman kerajaan dahulu. Pasar Ilir 16 (pasar tua yang berdiri sejak tahun 20-an), Masjid Agung Palembang (masjid Sultan), Istana Sultan dan Benteng Kuto Besak terletak di tepi sungai Musi.


 

Ketika istana Kuto Gawang yang menjadi representasi kekuasaan Kerajaan Mataram dibumihanguskan oleh Belanda dalam sebuah penyerangan, Sultan Badaruddin II pun meminta bantuan kepada Raja Mataram di Jawa namun tidak ditanggapi. Kesal dengan keacuhan Kerajaan Mataram, Sultan inipun memutuskan untuk tidak bergantung lagi dengan kerajaan di Jawa tersebut dan bertekad mendirikan sebuah kekuasaan yang berdiri sendiri. Untuk menggantikan istana yang hancur rata dengan tanah, beliau mendirikan sebuah istana persis di tepian Sungai Musi berdampingan dengan Benteng Kuto Besak. Konon inilah satu-satunya benteng yang dibangun oleh pribumi untuk mempertahankan diri dari serangan penjajah.


 

Sampai sekarang Istana dan benteng tersebut masih berdiri kokoh menceritakan kebesaran Palembang masa lampau kepada dunia. Benteng Kuto Besak masih memegang fungsinya sebagai tempat pertahanan. Benteng itu sekarang menjadi KODAM dengan bangunan asli yang masih dipertahankan. Sedangkan Istana Kesultanan beralih fungsi menjadi museum namun kurang terawat.


 

Tepian sungai Musi sekarang sudah didesain menjadi public space yang selalu ramai dipenuhi oleh pengunjung yang sekedar bercengkerama sambil menikmati kudapan khas Palembang dan menikmati petunjukan para pemusik jalanan. Restoran-restoran yang berdiri di atas sungai siap memanjakan lidah dengan pilihan menu yang khas. Anda juga bisa menikmati makan siang atau makan malam anda di atas perahu yang melaju perlahan membelah sungai. Setiap sore tepian sungai ini sangat ramai pengunjung. Dan pengunjung akan memadat pada akhir pekan dan hari libur.


 

Jembatan Ampera

Di depan Masjid Agung yang berarsitek khas Palembang, hasil perkawinan budaya Melayu, China dan Jawa terbentang jembatan Ampera yang menghubungkan Kota Palembang bagian seberang dengan daerah-daerah di seberangnya seperti Kertapati dan Plaju. Kota-kota lain seperti Prabumulih, Muara Enim, Kayuagung dan Indralaya juga bergantung kepada jembatan ini untuk bisa terhubung dengan kota Palembang. Jembatan yang dibangun pada tahun 1940-anini menjadi landmark kebangaan kota Palembang.


 

Jembatan Ampera menjadi daya tarik tersendiri ketika malam turun di tepi sungai Musi. Besi-besi kokoh dan kendaraan yang melaju di atasnya berubah menjadi jembatan lampu yang kelap-kelip dengan lampu-lampu kendaraan yang bergerak di atasnya. Duduk di pinggir sungai sambil memandang jembatan Ampera pada malam hari membuat saya sedikit sentimentil. Malam akan semakin sempurna kalau anda menikmati makan malam anda di salah satu restoran di tepi sungai dengan pemandangan kea rah Jembatan Ampera. Ehmm…apalagi bersama orang-orang tersayang.


 

Trans Musi

"Palembang Menuju Kota Internasional". Spanduk-spanduk bernada serupa terpampang di berbagai tempat umum di tengah kota. Pemerintah kota memang sedang mencanangkan kota ini menjadi kota yang bertaraf Internasional. Walaupun begitu, saya bingung, kota yang bertaraf Internasional itu seperti apa. Tapi kalau buat saya, saya punya kriteria sendiri untuk sebuah kota yang bertaraf Internasional. Kota itu harus nyaman, aman, akses mudah dan harus hijau!


 

Belakangan saya punya hobi baru. Saya sangat suka naik kendaraan umum terutama bus. Makanya, ketika tahu di Palembang ada RTB dengan armada bus Trans Musi (seperti Transjakarta), saya langsung penasaran ingin mencobanya. Bedanya dengan Transjakarta, Trans Musi masih pakai system manual. Jadi tiket tidak dibeli di loket tapi dibeli di atas bus yang dilayani oleh dua orang pramugara. Tapi, kalau nyamannya sih, lebih nyaman Trans Musi lah. Secara tidak terlalu padat penumpang seperti Transjakarta. Hanya saja Trans Musi belum menjangkau sampai ke seberang sungai walaupun platform dan haltenya sudah dibangun. Tapi pada 2011 ini, Trans Musi direncanakan sudah bisa menjangkau semua pelosok kota sampai ke Airport pun.


 

Asyiknya kalau naik Transmusi, dengan tiket bus itu, anda bisa langsung menyambung perjalanan anda dengan bus air menyusuri sungai musi tanpa perlu membayar lagi.


 

Selain Trans Musi, di sini tersedia angkot dan bus kota. Seperti bus kota di kota-kota besar di Indonesia, angkot dan busnya tentu saja tua dan reot. Tarifnya juga hanya 500 perak lebih murah daripada Trans Musi. Hanya saja bus kota dan angkot menjangkau semua tempat di Palembang dan sekitarnya. Tapi siap-siap saja untuk menyesuaikan kuping dan menyiapkan jantung anda. Soalnya bus-bus ini selalu memutar music keras-keras dengan music house remix tung tang tung tang itu. Dekor Interiornya dangdut banget.pinggir langit-langit bus dipenuhi oleh rumbai-rumbai dengan bunga-bunga imitasi berwarna-warni yang disangkutkan di setiap lubang yang ada di bus.


 

Sea Games

Sumatera Selatan sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri menyambut Sea Games 2011. Sumsel akan menjadi tuan rumah untuk ajang pertandingan olahraga se-Asia Tenggara ini. Makanya, pembangunan infrastruktur sedang dikebut untuk memenuhi akomodasi peserta Sea Games. Hotel berbintang lima, convention centre, stadion dan fasilitas lainnya tiba-tiba bermunculan di sudut-sudut kota. Sepertinya Trans Musi ini pun bagian dari fasilitas yang disiapkan untuk menyambut hajatan besar ini.


 

Dari Hasil ngobrol-ngobrol saya dengan penduduk lokal, kota Palembang berambisi untuk menggantikan Jakarta menjadi ibu kota Indonesia. Apalagi di tengah isu pemindahan ibu kota yang sempat menghangat karena Kota Jakarta yang semakin tidak layak untuk dijadikan ibu kota. So, Jakarta, you better watch out!


 

Ada untungnya juga sih, Sea Games diadakan di sini. Pemerintah jadi terdorong untuk membenahi kotanya. Lihat saja ketika China mengambil keputusan untuk menjadi tuan rumah Olympiade yang lalu. Konon investasi yang masuk karena Olimpiade itu mengalir deras ke Negara tirai bamboo itu. Kerennya lagi, pembukaan dan penutupan olimpiade itu dianggap sebagai salah satu show paling spektakuler di dunia. Tapi, jangan sampai lah kota secantik Palembang ini mengalami nasib seperti kota-kota besar di Jawa. Tata ruang yang buruk dan tidak ramah lingkungan. Kota yang bagus menurut saya adalah kota yang humanis. Kota yang mengakomodir kepentingan penduduknya bukan kepentingan industry semata. Kota yang memberikan ruang bagi penduduknya untuk lebih mudah berekspresi dan menikmati hidup.


 

Note:

Ref. Sejarah diambil dari Diorama Palembang Tempo Dulu di Museum Istana Sultan Badruddin II Palembang.

Padang-Palembang Trip-Accross the Sumatran Jungle

Melintasi rimba Sumatera dahulu hanyalah imaginasi hasil bacaan buku-buku yang saya baca ketika masih kanak-kanak. Tapi sekarang saya benar-benar sedang di atas bus yang menyususri jalan lintas sumatera bagian barat. Melewati hutan, daerah pertambangan, lahan-lahan pertanian para transmigran membuat saya tidak tidur sepanjang siang sampai petang sejak berangkat dari Padang. Pemandangan di luar jendela terlalu sayang untuk dilewatkan. Sambil melayangkan pandangan menembus kaca jendela bus sesekali saya mengobrol dengan ibu-ibu Padang yang duduk di barisan kursi di samping saya. Sementara Adri, salah seorang tim yang saya bawa dari Padang, terlelap di kursinya sejak tadi.


 

Ada satu daerah berhutan sebelum Dharmasraya yang membuat saya berdecak kagum. Jalanan yang dilewati oleh bus diapit oleh dua bukit tinggi yang menyisakan lembah sempit yang cukup untuk jalan raya di bawahnya. Saya merasa sangat kecil seperti terhimpit dua bukit dengan hutan lebat itu. Sungai-sungai berair jernih mengalir searah dengan jalan yang dilewati bus.


 

Selain karena pemandangan hutan dan alam di luar jendela bus, ada satu hal yang membuat saya suka memandang ke luar. Saya selalu penasaran untuk tahu nama daerah atau desa yang saya lewati. Inilah beberapa nama daerah yang saya lintasi yang mampu saya rekam sebelum malam menjelang dan saya terlelap bersama deru mesin bus; Solok-Sawahlunto-Sijunjung-Muara Langsat-Kambang Baru-Kiliran Jao-Sungai Kambut-Pulau Punjung-Sungai Dareh-Jambi-Banyuasin-Palembang.


 

Penumpang bus yang saya tumpangi ini sebagian besar adalah para perantau dari Padang ke Jakarta. Apa yang digambarkan oleh film 'Merantau" itu ternyata tepat sekali. Masyarakat Minang punya tradisi untuk merantau.ibu di samping saya misalnya, beliau akan ke Jakarta untuk mengantarkan anaknya yang diterima bekerja di sana sekaligus mencari peluang untuk melebarkan usaha rumah makannya di Jakarta. Wuih…otak bisnis benar.


 

Setelah sekitar 19 jam melintasi bagian barat pulau Sumatera, jam 7 pagi saya sampai di kota Palembang. Di jemput Mr. Agung, manajer kami untuk cabang Palembang saya diantar ke penginapan. Wuih…., 19 jam di atas bus mengingatkan perjalanan mudik saya semasa mahasiswa dulu. Bedanya, kalau saya mudik bus yang tersedia banyak dan semuanya eksekutif. Jadi nyaman. Sedangkan bus yang saya naiki sekarang memang judulnya eksekutif. Di tiketnya juga tertulis begitu. Apalagi di Jawa bus ini memang bercitra ekslusif. Citra ekslusif itu langsung luntur ketika mendengar alunan music yang mengalun dari audio bus. Campursari men..!!


 

Aduh nggak di Jawa, nggak di Sumatera kok music ini melulu sih. Kok bukan Musik Minang atau Musik Melayu? Bukannya apa-apa, melintasi rimba Sumatera dengan iringan music campursari rasanya nggak nyambung banget. Feelnya nggak dapat! Kalau sedang melintasi jalur Pantura sih emang pas banget. Bolak-balik kuping saya mati rasa mendengarkan cengkokan genit penyanyi campursari yang diputar dalam volume maksimal itu. Kalau lagunya "Stasiun Balapan" atau "Terminal Tirtonadi" sih hati saya masih bisa ikut berdendang. Bahkan mungkin saya akan ikut bersenandung walaupun suara saya ini ngepas banget. Pas banget hancurnya maksud saya. Tapi kan kalau ditutupi suara Mas Ndidi Ngempot (iku ejaan Njowone acene koyok ngene kan yo rek yo?) itu suara saya pasti akan kedengaran bagus juga kan?


 

Kalau tadi Citra ekslusifnya luntur, sekarang pupus sama sekali. Apa pasal? Gimana nggak pupus kalau kenyataannya saya duduk dalam bus tapi kok di samping saya ada air terjun mini yang terus menetes sampai airnya mengalir. Benar sih saya suka alam dan sekarang sedang melintasi hutan Sumatera, tapi ya mbok air terjunnya jangan ikut dibawa-bawa masuk bus. Saya memang suka belajar dengan gaya visual, tapi kalau untuk ini kayaknya pengecualian deh. Rupanya, ada masalah dengan AC bus EKSEKUTIF ini. Atau mungkin AC itu singkatan dari 'Air crut…crut..!' ya?


 

Overall, perjalanan saya dengan bus EKSEKUTIF ini sangat menyenangkan. Seru malah. Tapi ada satu lagi yang mengganjal. Ketika malam hamper turun, bus berhenti di Sungai dareh untuk memberikan kesempatan buat penumpangnya mengisi perut. Karena mudik naik bus sudah menjadi tradisi saya, maka saya menganggap fasilitas bus eksekutif di mana saja sama. Makanya ketika sydah duduk di kursi rumah makan Padang itu, saya makan dengan tenangnya sambil menggenggam tiket di tangan. Anggapan saya adalah makanan kita ini adalah bagian dari pelayanan bus eksekutif itu. Saya baru tercengang ketika penumpang-penumpang yang lain satu-persatu menuju kasir setelah menyantap hidangan mereka. Oalah…, BDD toh? Bayar Dewe-Dewe! Padahal dari malang ke Bali yang harga tiketnya Cuma 80 rebu aja kita dapat jatah makan malam loh. Untunglah saya membawa uang cash yang cukup.


 

Tips:

  • Perjalan darat melalui jalan lintas Sumatera patut dicoba. Apalagi buat anda yang punya jiwa jalan-jalan terutama jiwa backpacker. Selain lebih murah daripada harus naik pesawat yang semuanya transit di Jakarta terlebih dahulu, anda punya kesempatan buat melihat kehidupan Suku Kubu (dari dalam bus tentunya, kecuali anda mau singgah dan menjadi santapan mereka. Nggak ding….! Mana ada orang yang nyantap orang di era digital kayak gini selain Sumanto?).


 

  • Bus yang khusus melayani rute Padang_palembang tidak ada. Yang ada hanyalah bus dengan Rute Padang-Jakarta-Bogor, Solok-Jakarta-Solo-Ponorogo-Banyuwangi-Padang Bai (ujung timur P. Bali) dan sebagainya. Tapi jangan khawatir, anda bisa menumpang bis-bis tadi dan minta turun di Palembang karena memang dia akan berhenti di sana untuk menaikkan penumpang. Bus berangkat dari Padang pukul 10 pagi setiap harinya. Bus EKSEKUTIF yang saya naiki itu harga tiketnya Rp. 245.000,-.


 

  • Berhubung ini perjalanan panjang melintasi hutan, pastikan tubuh anda dalam kondisi fit. Siapkan perbekalan minuman dan makanan ringan secukupnya. Jangan lupa membawa buku bacaan. Kalau tidak anda akan mati garing, terutama buat anda yang menganggap hutan, sungai dan gunung itu bukan pemandangan indah. Siapkan juga mental anda, karena begitu meninggalkan kota Padang, bus anda akan terseok-seok melewati jalanan berkelok mendaki yang sempit. Kadang-kadang bus akan berhenti di tanjakan dengan susah payah untuk memberi bus yang lainnya untuk lewat. Jadi, bersiap-siaplah untuk senam jantungJ


 

  • Sebenarnya ada pilihan lain. Anda bisa naik travel dengan armada Avanza atau Innova. Cukup membayar Rp. 300.000,- anda bisa sampai lebih cepat dibandingkan naik bus. Selisih waktunya sekitar 6 jam. Dari Padang jadwal berangkatnya jam 3 sore dan tiba di Palembang pukul 5 atau 6 pagi.


     

  • Pastikan membawa bacaan karena 'bingkai' keindahan versi anda belum tentu sama dengan yang saya miliki. Mungkin saja anda akan bosan melihat pemandangan hutan melulu.


 


 

Nah, bagi anda yang ingin mencoba, have nice trip deh!


 


 


 

Saya, Pesawat dan Nenek-Nenek

Selama melakukan traveling, saya punya macam-macam kisah dengan alat transportasinya. Terutama dengan pesawat. Karena kantong saya ini rada-rada tipis, belum pernah lah saya ini naik burung raksasa aneh yang selalu noleh ke kiri itu. Otak saya selalu mensetting tindakan saya untuk membeli tiket kelas ekonomi dari pesawat-pesawat ekonomi pula atau istilah kerennya budget airlines. Kalau ada yg lebih ekonomi lagi, pasti saya akan mencari tiket itu. Makanya, ketika mendengar uji coba Ryan Air untuk tiket berdiri, saya senang sekali dan berharap segera dilaunching saja.


 

Naik budget Airlines nggak boleh ngeluh, apalagi complain. Kursinya aja sudah dipadat-padatin kayak gitu hingga lutut saya ini rasanya pegel walaupun Cuma terbang dari Dempasar ke Surabaya. Makanya, bagi anda yang termasuk big sized, tidak disarankan untuk naik budget airlines. Wong saya aja yang slim sexy ini rada tersiksa kok.


 

Saya Hampir Selalu Duduk di Samping Orang Tuwir

Walaupun ketika check in saya cerewet minta seat yg dekat ini dekat itu, yang duduk di samping saya hamper selalu para senior. Senior banget malah. Kecuali pas penerbangan dari Jakarta ke Padang kemarin, saya duduk di samping uni-uni yang lumayan bisa diajak ngobrol. Tapi itupun hanya sebentar karena uni itu minta pindah karena nggak mau duduk di samping pintu darurat. Akhirnya datanglah laki-laki paruh baya yang kerjaannya tidur melulu menghempaskan pantatnya di seat samping saya.


 

Dari Jakarta ke Balikpapan, saya duduk di samping ibu-ibu dengan 3 orang Balita. Wuih…! Produktif sekali ibu ini. Jadilah saya sepanjang perjalanan menjadi om yang baik buat anak-anak yang baru saya kenal di pesawat itu. Nggak masalah sih sebenarnya karena saya suka anak-anak. Tapi kan nggak enak juga saya dikira bapak-bapak gara-gara berjalan ke ruangan arrival dengan menggendong anak kecil. Takutnya ntar yang menjemput saya shock karena melihat saya gendong bayi sedangkan saya nggak pernah ngundang-ngundang dia ke pesta pernikahan saya yang memang nggak ada. Apalagi runaway airport adalah tempat saya biasa jalan dengan langkah lurus segaris dan ekspresi minta ditampar. Kalau bawa bayi gini kan nggak ngefek.


 

Tapi ada enaknya juga duduk di dekat para generasi tua begini. Ketika dari Pontianak ke Jakarta kemarin, saya duduk di tengah-tengah diapit oleh dua senior. Sebelah kiri saya duduk seorang professor yang tidur melulu dan di sebelah kanan saya duduk nenek yang berusia lanjut banget (ya, sekarang regu B. haha…ingat cerdas-cermat di TVRI dulu). Waktu itu saya ke airport dengan mata 5 watt karena masih ngantuk banget gara-gara semalaman begadang packing dan harus mengejar first flight. Saya pun nggak sempat sarapan atau sekedar minum segelas susu. Check in yang kayak orang ngantri naikin muatan ke atas truk membuat saya juga tidak sempat untuk sekedar membeli sepotong pengganjal perut di bandara. Iya check inny rebutan, nggak pake ngantri-ngantri.


 

Ketika duduk sambil merenungi nasib perut saya di pesawat, saya dikejutkan oleh seorang nenek yang mau duduk di seat dekat jendela. Walaupun saya ingin banget duduk di dekat jendela karena ingin melihat pemandangan sungai Kapuas dan sungai-sungai kecil yang mengular membelah-belah kota Pontianak, saya mempersilahkan nenek itu duduk di seat yang saya duduki. Awalnya hati saya agak dongkol. Tapi melihat keriput di wajah nenek itu kedongkolan saya langsung berganti dengan kasihan. Tapi dalam hati saya tiba-tiba muncul kesimpulan begini; di kereta api kalau ada ibu-ibu tua biasanya mereka bawa bekal makanan banyak. Pasti nenek di samping saya ini pun bawa makanan banyak! Taruhan pisang ambon setandan! (eits… nggak boleh taruhan. Dosa tauk!). Otak saya terus mendendangkan kesimpulan yang lebih merupakan suara perut saya yang udah lapar banget itu.


 

Ketika saya menoleh nenek di samping saya tengah minum satu kaleng cincau kemasan produk Malaysia itu (di postingan sebelumnya saya sudah sedikit bercerita tentang produk-produk ini). Tak disangka-sangka dia menawarkan satu kaleng buat saya. Alhamdulillah…serasa dapat rezeki nomplok saya. Sekaleng cincau itu bagi saya seperti dapat sekotak banana pancake ketika sedang sakaw BP (banana pancake). Tidak cukup sampai di situ, nenek itu kemudian merogoh lagi tasnya dan mengeluarkan satu kantong aneka cemilan. Sisa cemilan lebaran katanya. Kalau saya mau lagi, katanya di kardus-kardus di kabin itu masih ada banyak kue lapis. Hoho… mendadak tangan saya bergerak aktif berpindah dari kantong itu ke mulut saya. Saya tidak peduli lagi sama jaim atapun malu sama pramugari yang lewat. Sesaat saya merasa seperti berada di atas kereta Matarmaja. Tiba-tiba nenek itu berubah menjadi teman ngobrol yang menyenangkan. Sisa perjalan saya pun diisi dengan having a good conversation with the grandma walapun saya ngomong apa dia ngomong apa. Namanya juga beda generasi. Sampai di Cengkareng, perut saya sudah kenyang. Nenek bahagia karena ada yang endengarkan dia bercerita, saya bahagia karena cacing-cacing di perut saya berhenti memberontak.


 

Di film-film sering saya mendapati kisah-kisah romantis dengan scene bertatapan mata ketika papasan di ruang tunggu atau book corner airport, terus mengambil majalah yang sama dan dilepas lagi dengan senyum malu dan ketika di pesawat ternyata seatnya sebelah-sebelahan, tukaran nomor handphone atau email dan diakhiri di Pelaminan. Tampaknya, kisah-kisah seperti itu nggak mungkin banget deh. Buktinya saya hamper selalu duduk dekat para 'senior'.


 

A Million Mile Journey Starts form Two Hours Delay!


 

Delay, Bukan hal langka lagi kalau kita naik budget airlines. And again, don't bother yourself to complain because you'll find 'maaf bapak…bla..bla..! It's better to keep silent and read your book or enjoy yourself in your favorite music chart from your I-pod. In my case, saya senang kalau ada delay. Itu artinya saya punya banyak waktu buat jalan bolak-balik dengan langkah lurus segaris dengan ekspresi minta ditampar. Itu artinya lagi saya punya waktu buat menghabiskan bacaan saya, tambahan waktu buat memperhatikan orang yang lalu-lalang dan additional time to have a good conversation dengan kenalan yang didapat di situ. Terakhir saya ngobrol asyik adalah di Soekarno-Hatta dengan seorang antropolog swedia pas ketinggalan pesawat ke Surabaya. Saya dan antropolog tua yang sudah melanglang buana itu mengobrol tentang berbagai topic. Kebetulan waktu itu sedang hangat-hangatnya buku 'Atlantis' karya Arysio Nunes dos Santos. Bisa dibilang, ini adalah obrolan paling 'bergizi' saya selama menunggu di airport.


 

Hmmm….sebenarnya masih banyak yang mau saya ceritakan tentang pengalaman saya dengan pesawat. Termasuk kelanjutan kisah tentang nenek tadi yang ternyata ujung-ujungnya saya harus 'membayar' makanan yang saya makan. Tapi ini sudah jam 2 pagi dan saya ingin istirahat dulu.

Mabok Masakan Padang di Pad

Mabok Masakan Padang di Padang; Helepp….! Ada Makanan lain G sih?!

Apa makanan favorit anda? Kalau jawabannya adalah masakan Padang, saya sangat sedih. Berarti tidak ada yang merasakan penderitaan saya soal makanan di sini. Alah…! Lebay lo Rik!


 

Oke, jadi begini ceritanya. Sejak meninggalkan kota malang untuk tugas kerja ke Pontianak , pilihan makanan saya sangat terbatas (kecuali waktu lebaran kemarin ding!). Waktu tinggal di pontianak, ketika saya ingin makan yang mengenyangkan dan affordable buat kantong saya yang kembang kempis ini, pilihan bijak yang paling tepat adalah makan di warung Padang. Porsinya gue banget pokoknya! Selain itu bumbunya pas banget tidak seperti makanan di warung bahkan restoran lain yang cenderung hambar. Selama di Pontianak, makan masakan Padang bagi saya aman-aman saja walaupun tidak terlalu aman buat kantong.


 

Masalah dengan masakan Padang baru saya rasakan ketika meninggalkan Pontianak. Mentang-mentang akan ke Padang, saya sudah disambut langsung oleh masakan padang ketika masih berada di Jakarta. Waktu itu saya lagi jalan dengan investor SBS Cabang padang di daerah pasar Minggu. Beliau mentraktir saya makan siang masakan padang ful menu di sebuah warung padang di sana. Saya sih oke-oke saja karena memang perut saya minta diisi.


 

Begitu tiba di Padang pun saya juga langsung dibawa ke warung Padang. Nah, disni mulai terasa aneh. Kenapa masakannya asin dan berasa kunyit banget? Ah, mungkin kokinya masih muda dan ngebet kawin sehingga masakannya keasinan. Keesokan harinya ketika mau sarapan (lebih tepatnya makan pagi), saya berjalan kaki keluar komplek untuk memenuhi tuntutan perut saya.


 

Aha…! Di depan sana saya melihat gerobak bertuliskan tiga kata yang mencolok; Lontong, Gulai, Pical. Mata saya langsung berbinar membaca kata gulai. Saya agak-agak fetish dengan kata gulai. Liur saya langsung terbit. Setengah berlari (lebay banget!) saya menghampiri mak pemilik gerobak yang tengah dikerumini oleh pembeli yang mayoritas adalah gadis-gadis (well, I don't really know whether they are 'gadis' or not. However, since I'm a good boy, let's set positive thinking and consider them as 'gadis') muda yang kelihatannya sih mahasiswa kos-kosan.


 

Ketika giliran saya, dengan pede saya langsung menyerukan pesanan saya. Maklum saya ini rada-rada kepo. Jadi nggak perlu pake nanya-nanya dulu.


 

"Lontong Gulai Pical Mak (you have to call mak for every old woman here!)!"


 

"Apa dek?


 

"Lontong Gulai Pical Mak! Ulang saya lebih keras lagi.


 

Si Emak mengerutkan dahi. Tapi ia tetap mengambil piring dan menyiapkan makanan buat saya. Panggilan si Emak yang menyodorkan piring berisi makanan membuyarkan lamunan saya yang sedang membayangkan enaknya makan lontong sama gulai pical. Namun bayangan saya itu dibuyarkan oleh sepiring lontong yang bercampur pecel yang disodorkan si emak ke meja saya. Otak jenius saya langsung menganalisis. Hmm…pical. Saya mengurungkan niat saya untuk protes dan minta gulai karena saya sudah menyimpulkan kalau pical itu sebutan orang minang untuk pecel. Sekali lagi saya rada kepo. Jadi tidak perlu lah saya bertanya kepada si Emak. Rupanya tiga huruf tadi adalah pilihan. Lontong dengan pecel atau Lontong dengan Gulai.


 

Akhirnya saya yang baik ini (berbakat congkak. Astaghfirullahal adhim) dengan penuh syukur ke Tuhan Yang Maha Pemberi Rizki menerima kenyataan bahwa di depan saya adalah sepiring lontong dengan pecel dan membuang jauh-jauh nama gulai pical yang ternyata tidak eksis itu. Tapi saya masih penasaran dengan ingin merasakan makan lontong gulai. Pasti enak banget lah rasa si gulai ini. Rasa penasaran saya itu saya wujudkan ketika makan siang. Saya langsung memasuki lepau (sebutan untuk warung nasi) dan memesan lontong gulai (again karena saya kepo, nggak perlu lah bertanya dulu). Dan anda tahu apa yang tersedia di hadapan saya? Sepiring lontong dengan sayur berkuah dengan bumbu kental! Mata saya mulai mencari-cari kalau saja ada potongan daging diantara potongan nangka muda yang seperti mengejek saya itu. Nihil! Saya tidak menemukan sepotong daging pun. Akhirnya karena saya masih tetap anak yang baik seperti yang ibu saya bilang, saya menyantapnya dengan penuh rasa syukur (backsound; Opick: Syukur).


 

Sambil menyantap 'gulai' itu dengan penuh rasa syukur (suara Opick kembali mengalun), Saya teringat ke sebuah novel favorit saya waktu kanak-kanak dulu. Judulnya 'Hutan Keramunting di Bukit Kecil'. Salah satu adegan di novel itu yang saya ingat adalah ibu si Ipul menyediakan gulai daun Singkong yang lezat (waktu membaca buku itu, saya ikut terbawa dan membayangkan gulai daun singkong itu pasti enak sekali). Berdasarkan ingatan saya akan buku masa kanak-kanak saya itu, saya menyimpulkan kalau orang di sini pasti menyebut gulai untuk lauk berkuah yang berbumbu. Sekali lagi, karena saya rada kepo, saya nggak perlulah tanya ke orang sini. Slap me because I'm kepo!


 


 

Sejauh Mato Memandang, Kulihat Masakan Padang Udo!


 

Rasa-rasanya saya mulai diserang sindrom MMPKRIYLMTHR (Mabok Masakan Padang karena Itu Yang Lo Makan Tiap Hari). Bukannya saya tidak bersyukur atas apa yang ada, tapi kalau makan makanan Padang setiap hari kan bikin mabok juga. Ya, cari pilihan lain dong Erik cakep! Saya sih sudah mencoba berkeliling mencari makanan selain nasi Padang. Tapi mentok-mentoknya saya pasti akan ketemu nasi goreng dan lontong gulai juga. Sampai ketika saya mengunjungi Sijunjung (kota kecil denganjarak 2 jam dari Padang kalau ngebut, pilihan saya hanyalah lontong gulai itu.


 

Saya juga sudah tanya ke teman-teman saya di sini. Ada nggak sih makanan yang mengenyangkan selain nasi Padang, nasi goreng dan varian Lontong tadi? Jawaban mereka sih nggak ada. Padahal sebenarnya ada kok. Ada KFC, ada restoran steak yang nun jauh di mato, ada sea food di pantai Padang sana dan ada pecel lele (setelah saya lihat bentuknya sih bukan pecel lele tapi lalapan lele) di dekat Kedokteran Unand. Tapi itu kan nun jauh di mato udo! Masak iya setiap waktu makan saya harus ganti angkot beberapa kali plus jalan kaki? Lagipula, I'm not a type of men who like to have kinda junk food even they say it's fancy. Fancy dari Hongkong!


 

Apa kabarnya si warung nikmat di Malang sana? Kedai Assalamu 'alaikum sedang ngapain ya? Hello, waroeng steak n shake, how are you? (efek dari MMPKRIYLMTHR membuat saya mnceracau begini).


 

Tapi salut deh sama masakan Padang. Masakan in bisa ditemui di hamper semua belahan dunia , bukan hanya Nusantara. Di Belanda kabarnya banyak restoran Padang. di negerinya Om Obama juga banyak. Di tempat onta berkeliaran juga eksis katanya. Di negerinya Abang Rhys Meyer juga da kok nasi Padang. Artinya, masakan padang adalah masakan yang bias diterima oleh semua lidah penduduk bumi. Artinya lagi, suku Minang itu suku perantau alias eksodus dan bias meberikan pengaruh kepada orang lain. Ayo, tepuk tangan buat udo-udo, uni-uni, inyiak-inyiak dan datuk-datuk di sini!


 

Aduh, just forget my whining deh! Sebenarnya saya sudah mulai cinta masakan padang kok. Ayo kita sama-sama bernyanyi bareng Mas Opick. Satu, dua, tiga!


 

Bersyukur kepada Allah….


 

Bersujud sepanjang waktu…


 

"Eits…jeng Dee, Jeng Osya, pake suara satu dong! Suara mas Opick cukup saya yang mewakili"!


 

"Nah, jeung Ridho dan Jeung Sunu, cukup jadi backsound aja!!


 

"Oke, kalau Mas Radhen, bolehlah ikut suara saya. Suara sampeyan cukup mengimbangi suara saya kok! Mas Iqbal juga boleh gabung!"


 

Nah, gitu dong. Ayo kita mulai lagi…!


 

Bersyukur…bersyukur…bersykur…


 

Eng…., maafkan saya. Saya lupa teksnya.


 



Pontianak 8# On the Trip Training

Tidak puas dengan itikaf 'padat karya' yang kami lakukan untuk mempersiapkan Grand Master Indonesia Jenius, strategi lain dijajal. Kali ini Bang Yun sudah merencanakan perjalanan ke arah utara dengan destinasi yang belum ditentukan. Sebuah outing yang tiba-tiba. Yang pasti perjalanan ini akan memakan waktu 3 hari. Setelah dua kali masuk bengkel dan satu kali mogok karena radiatornya berasap, kami sampai di persinggahan pertama.


 

Persinggahan pertama kami adalah kota Mempawah. Di kota kecil yang menjadi ibu kota kabupaten pontianak ini, kami menginap di sebuah penginapan di pinggir sungai Mempawah yang konon menurut penduduk setempat, sungai itu masih menjadi kerajaan bagi ratusan ekor buaya. Sebuah sungai yang mengingatkan saya akan film-film petualangan di sungai Amazon karena sungai itu merendam hutan dengan pepohonan rapat di sepanjang pinggirnya. Bedanya kalau kita berbalik badan membelakangi sungai, pemandangan kota akan terhampar di depan anda menyadarkan anda masih berada di peradaban manusia. Menurut saya kota ini menawakan dua sisi yang sangat unik. Sungai dan hutan yang masih berada dalam kota menawarkan sisi rimba Amazon, sedangkan kota kecilnya mengingatkan kita akan film-film koboy dengan latar belakang Texas atau kota-kota di Mexico pada zaman dulu. Sebuah kota kecil yang sangat sepi dengan kendaraan lalu-lalang yang bisa dihitung dengan jari.


 

Begitulah, semalaman kami habiskan untuk rapat dan memecahkan 63 studi kasus yang dirancang untuk persiapan kami membuka Kampoenk Jenius di kota lain. Setelah sarapan keesokan harinya, pemecahan studi kasus dilanjutkan kembali sampai siang. Ini benar-benar kuliah bisnis sehari. Saya membayangkan kalau kelak kami punya sekolah bisnis yang kami kelola sendiri. Metode belajarnya tidaj usah formal-formal amat. Siswanya harus langsung dihadapakan dengan kasus dan praktek bisnis langsung. Mereka boleh lulus kalau sudah mengelola bisnis sendiri dengan jumlah omset tertentu. Dan tentu saja harus kurang dari empat tahun.


 

Sholat jum'at kami hari itu dilaksanakan di Masjid Amantu Billah, sebuah masjid kayu yang terletk persis di tepian sungai. Masjid ini adalah masjid istana Kesultanan Mempawah yang dibangun ratusan tahun yang lalu. Setelah shalat jum'at itulah timbul ide untuk meneruskan perjalanan ke Singkawang dan meneruskan training di sana.


 

Singkawang adalah sebuah kota kecil yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kota-kota lain di Kalimantan Barat. Penghuni kota ini 70% nya adalah Chinese dan kebanyakan mereka berasal dari suku Khek. Nama Singkawang sendiri diambil dari bahasa tersebut. Para Chinese ini turun temurun tinggal disana sejak zaman kesultanan Sambas masih berjaya. Awalnya, kota ini hanyalah sebuah desa yang diperuntukkan oleh Sultan Sambas buat para pekerja Tambang Mas yang didatangkan dari daratan China. Untuk sampai ke Singkawang kami harus berdesak-desakan selam dua jam dalam Katana Bang Aji yang menjadi tunggangan kami dalam trip ini. Berbeda dengan Pontinak dan Mempawah, topografi wilayah Singkawang diselingi oleh bukit-bukit kecil dengan hutan lebat. Hal yang tidak bisa disaksikan di wilayah Pontianak dan mempawah yang sejauh mata memandang hanya hamparan dataran yang dibelah oleh sungai-sungai. Singkawang juga terkenal dengan wisata pantai. Letaknya yang lansung menghadap Laut Natuna dan Laut China Selatan membuatnya memiliki pantai-pantai yang eksotik.


 

Awalnya, kami hanya merencanakan akan berkeliling kota dan menikmati suasana 'Litle Hongkong' dan malamnya menginap di Pantai Kura-kura. Akan tetapi dalam perjalan timbul ide; bagaimana kalau sekalian mengunjungi alumni 6 Minggu Bisa! Malang yang sedang mudik ke kota ini. Setelah mengontak Nektaria, sang alumni, dan dia mempersilahkan kami untuk berkunjung, kami mulai main tebak-tebak manggis mencari alamat rumah Nekta. Setelah nyasar berulang kali, sampailah kami di rumah Nekta. Kami disambut ramah oleh Nekta dan kedua orang tuanya.


 

Sesuai dengan rencana kami akan menginap di Kura-kura Beach dan melanjutkan training malam itu juga. Jadilah, dengan penerangan seadanya kami meneruskan memecahkan studi kasus ditengah kantuk yang membuat sebagian pertanyaan terjawab antara sadar dan tidak sadar. Saya baru bisa menikmati keindahan pantai ini setelah hari terang keesokan harinya. Hamparan pantainya cukup panjang dan landai. Hanya saja warna pasirnya tidak terlalu putih seperti pantai Laut Selatan. Disepanjang bibir pantai tumbuh banyak pohon cemara dan pohon-pohon kelapa menjulang di antara pepohonan di hutan kecil dibelakang pantai. Keelokan pantai ini dilengkapi dengan backgroud bukit berhutan lebat di belakangnya.


 

Di antara semilir angin dan deburan ombak yang tidak terlalu besar, kami meneruskan sessi trainig dengan simulasi presentasi bisnis. Sessi ini menjadi seru karena audiencenya adalah teman-teman kami sendiri yang berlaku seolah-olah adalah klien dan selalu mencoba mengacaukan prsentasi. Kadang-kadang ketika presentasi berlangsung, audience sibuk ngegossip sendiri karena mereka sedang berperan jadi ibu-ibu yang tertarik untuk mengikutsertakan anaknya dalam program Klub Jenius. Tanpa dikomando, audience 'bermain peran' sesuai dengan lakon yang harus dimainkan oleh presenter seperti yang tertulis di secarik kertas kecil yang dibagikan acak.


 

On the Trip training kami ditutup dengan pesta besar di Singkawang. Kebetulan teman dari salah seorang dari kami ada yang melangsungkan pernikahannya di kota ini. Karena pesta ini tidak masuk dalam agenda perjalan kami, jadilah kami masuk keresepsi pernikahan dengan kostum seadanya. Ada yang hanya berkaus oblong dan celana jeans, ada yang memakai jaket army dan ada yang baju celananya matching tapi sepatunya sepatu badminton. Saya sendiri tampil dengan hem hitam garis-garis dengan jeans belel yang sudah saya pakai selama seminggu dan running shoes which used to be white. Dengan kostum itu kami dengan pedenya memasuki pesta. Rumus yang kami pakai adalah jangan melihat ke bawah. Kami tidak ingin mengundang orang menyaksikan sandal jepit dan sepatu butut yang lancang menodai pesta. Ingatan saya langsung tertuju pada adegan film 'Three Idiots' ketika Rancho, Farhan dan Raju kelaparan dan menyusup ke pesta penikahan yang ternyata adalah pernikahan anak rektor mereka. Saya merasa tengah memainkan adegan itu. Bedanya, di film itu ada three idiots, disini ada 7 genius. Setelah ileran menahan selera pengen makan nasi selama di pantai dari tadi malam, perjalanan kami ditutup dengan perut kenyang dan hati bahagia.

Pontianak 7# Mempawah; We Have an Amazon Forest in the Middle of City

Katana yang dikemudikan oleh Bang Aji, atasan saya di kantor dengan kecepatan sedang membelah jalan meninggalakan kota Pontianak menuju ke arah utara. Jembatan yang melintasi sungai Kapuas yang biasanya menjadi titik kemacetan sore ini tidak terlalu ramai. Begitu juga dengan jembatan yang melintasi sungai landak. Meriam-meriam sebesar tampak sudah siap terpasang dengan posisi siap tembak di sepanjang tanggul sungai yang juga dipenuhi oleh rumah penduduk yang berdiri di atas sungai. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Pontianak untuk membunyikan meriam ketika Ramadhan berakhir. Bahkan ketika baru memasuki minggu terakhir bunyi dentuman meriam sahut menyahut memecah kesunyian malam ketika sebagian orang tengah khusyuk beritikaf. Meriam-meriam ini terbuat dari batang kelapa yang dilubangi dan diisi dengan ramuan karbit sehingga menghasilkan dentuman yang menggetarkan.


 

Tujuan kami sore ini adalah mengunjungi kota Mempawa. Sebuah kota kecil yang terletak di sebelah utara kota Pontianak dengan jarak tempuh sekitar 1 jam dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Hujan lebat yang hampir setiap hari mengguyur kota membuat suasana begitu syahdu. Saya sangat suka naik mobil atau bus ketika hujan turun seperti ini. Rasanya sangat syahdu dan melankolik.


 

Perjalanan sore ini adalah "safari berbuka bersama" yang ke-15 sekaligus terakhir yang dijadwalkan oleh kantor saya. Ini juga adalah yang terjauh karena buka bersama akan diadakan di rumah orang tua isteri Mr. Bos. Agenda buka bersama yang digilir di setiap rumah karyawan ini benar-benar membuat karyawan semakin dekat atu sama yang lain. Kantor saya rasanya seperti sebuah keluarga desa bukan perusahaan. Baru tiga minggu bertemu dengan para teman-teman crew SBS, saya merasa sudah mengenal mereka bertahun-tahun. Sebuah hubungan kerja yang sangat hangat. Mr. Bos seperti bukan atasan tapi lebih menyerupai tetua yang kami hormati dan sayangi.


 

Kembali ke perjalanan menuju kota Mempawah. Sepanjang perjalanan saya tidak terlalu terlibat percakapan dan gurauan kawan-kawan yang lain. Duduk di samping Bang Aji yang adalah general manager di kantor kami, saya lebih banyak melepaskan pandangan ke sisi kiri-kanan jalan silih berganti. Sungguh bagi pemandangan yang luar biasa bagi saya yang tebiasa melihat gunung-gunung dan bukit di kota saya. Pemandangan yang saya dapati adalah hamparan luasa lahan gambut dan kebun kelapa yang diselang-selingi oleh rumah-rumah kayu milik transmigran. Lahan-lahan yang dibelah oleh sungai kecil berair cokelat ini adalah potensi pertanian yang luar biasa. Yang paling saya sukai adalah kanal-kanal yang memisahkan jalan raya dengan rumah penduduk di sepanjang jalan. Perahu-perahu kecil dan speed boat tampak tertambat di dermaga-dermaga kecil di depan rumah. Sayangnya, sepertinya kanal-kanal itu tidak terlalu banyak lagi dipakai sebagai jalur transportasi. Itu dibuktikan dengan jembatan kecil yang dibangun di depan rumah tidak dibangun cukup tinggi agar perahu-perahu itu bisa lewat dengan leluasa dibawahnya.


 

Memasuki daerah yang bernama Sungai Pinyu,kiri-kanan jalan dipenuhi oleh penjual keppa' (kerang). Kerang-kerang air itu digantung dalam jaring-jaring kecil di lapak-lapak sepanjang jalan. Ukurannya cukup besar. Air liur saya segera terbit membayangkan semangkuk sup kerang di hadapan saya.


 

Memasuki kota Mempawa saya diserang de Javu. Kota ini mengingatkan saya akan kota-kota pertanian di Amerika yang menjadi latar film-film koboy. Sebuah kota kecil yang sangat sepi karena pemekaran wilayah. Mempawah adalah ibu kota kabupaten Pontianak. Ketika Kabupaten Pontianak dipecah menjadi dua kabupaten, Kubu Raya dan Kabupaten Pontianak, sebagian SDMnya berpindah ke Kubu Raya dan meninggalakan Mempawah menjadi kota yang sepi.


 

Akan tetapi menurut saya, kota ini adalah tempat yang amat nyaman buat bermalas-malasan di akhir pekan. Suasana kotanya pun menyenangkan. So, laid back! Kota ini di belah oleh sungai Mempawah yang pinggirannya masih ditutup hutan rapat. Pohon-pohon yang separuh batangnya terendam air sungai membuat saya merasa berada di hutan Amazon. Bedanya, kalau di Amazon kita hanya bisa menemukan rimba sedangkan disini, di satu sisi kita akan menemukan hutan sedangkan di sisi yang lain kita akan berhadapan dengan kota. Dan ternyata di belakang hutan yang seperti rimba tadi, masih ada bagian kota yang lain. Bahkan Istana kesultanan Mempawah terletak di seberang sungai, satu garis dengan hutan tadi. Seperti Istana Qadariyah di pontianak, istana ini juga berdiri anggun di Pinggir sungai. Keberadaan istana di pinggir sngai menandakan bahwa sungai ini menjadi jalur transportasi penting pada masa kesultanan masih berjaya. Istana itu dilengkapi dengan sebuah masjid kayu yang masih kokoh berdiri hanya beberapa meter dari tanggul sungai. Bahkan salah satu anjungan (cottage) nya berdiri di atas air. Saya beruntung sempat merasakan shalat jum'at di mesjid ini.


 

Menurut saya kota Mempawah sangat tepat untuk dijadikan tempat leisure asalkan fasilitas untuk itu dibangun. Letaknya yang diapit oleh Pontianak dan Singkawang membuatnya cocok dibuat sebagai tempat berlibur dan bersenang-senang bagi kedua warga kota itu.