Saturday, February 26, 2011

February

23 February 2011; Landing

Saya tidak tahu ada apa dengan bulan February. Akan tetapi saya yang selalu bilang ' I only have two moods; good and very good mood!' hari ini terhempas kalah oleh hati saya sendiri. Ini puncak dari gejolak hati saya belakangan ini. Padahal rasa-rasanya tidak ada lagu 'February' atau tentang February seperti lagu "my December" nya mas-mas Linkin Park. Rasa ini menyerang di saat saya harus terbang antar pulau seperti ini.


 

Begitu pesawat akan landing di BIM (Bandar Udara Minangkabau) pemandangan hijau tanah Minang yang dibelah oleh sungai-sungai yang berkelok meliuk-liuk tampak sangat indah dari jendela. Kawasan yang didominasi oleh gunung-gunung dan bukit-bukit ini ternyata sangat indah. Pulau-pulau kecil yang berserakan di tengah samudera seperti menunggu untuk dijamah. Hamparan hijau itu langsung bersisian dengan birunya samudera hindia yang biru. Bolak-balik terbang ke Padang, baru kali ini saya benar-benar larut dalam pemandangan yang terhampar di bawah sana. Seat yang saya tempati ini saya pesan khusus ke petugas check in ketika transit di Jakarta tadi, seat 32 F. Sangat lapang sehingga saya leluaa untuk menselonjorkan kaki saya. Mas-mas pramugara yang duduk persis di depan saya pun sepertinya tengah hanyut dengan pemandangan bawah sana. Tangannya bertelekan menopang dagu sambil matanya jauh menerawang ke bawah sana. Saya menduga-duga dalam hati, apakah dia juga sedang merasa mellow sepeti saya sekarang? Atau dia tengah memikirkan nasibnya yang terkurung di dalam badan pesawat terbang bolak-balik setiap hari. Beberapa kali mata kami bertemu pandang. Mungkin dia juga mencuri-curi pandang dan mencoba menebak hati saya yang sedari tadi tidak pernah lepas memandang ke luar.


 

Ketika penumpang lain berebutan berdiri untuk meraih bawaan masing-masig, saya masih duduk di kursi saya. Masih di depan mas pramugara yang juga mematung di kursinya. Rasanya saya ingin kembali lagi ke Jakarta dengan pesawat ini. Ketika hampir semua penumpang sudah meninggalkan kabin peswat, saya perlahan-lahan beranjak dari kursi saya dan berjalan keluar merespon senyum mbak pramugari yang tersenyum template melepas penumpang pesawatnya.


 

Keluar dari pintu pesawat saya langsung disambut dengan hawa panas yang menyengat. Matahari sore yang bersekutu dengan hawa dataran rendah tepi laut membangunkan saya dengan kesadaran penuh bahwa di tanah inilah saya akan melewati hari-hari saya sebulan ini. Kesadaran itu membuat saya tambah mellow. Sekarang saya benar-benar berada di dimensi yang berbeda, warna jingga keemasan bayangan matahari sore yang menimpa rerumputan di hadapan saya membuat saya tambah melankolik.


 

Sekarang dada saya sesak, saya butuh untuk bernapas lebih lega. Segera saya mengeluarkan ponsel dari saku celana menelepon ibu saya yang berjarak berpuluh pulau di seberang sana. Seperinya inilah obat yang paling mujarab saat ini. Segera saya juga menelepon kakak saya. mendengar suara mereka cukup mengembalikan udara sehingga saya bisa bernapas lebih lapang. Tak lupa saya juga mengirimkan pesan pendek kepada si sunshine. Apa yang saya lakukan belum cukup menghapus gejolak hati saya saat ini.


 

Di hari yang sama; di tempat saya tinggal (sementara)

Begitu sampai di rumah, setelah mengalirkan air segar di badan saya, saya tenggelam dalam sujud-sujud panjang yang cukup melegakan setelahnya. Alunan panjang ayat-ayat suci setelahnya cukup untuk menjadi energy saya malam ini untuk segera bertemu dengan tim yang akan bekerja bersama saya di sini.


 

Setelah bertemu tim, semangat saya meluap-luap. Saya optimis setelah bertemu langsung dengan tim baru saya. malam itu saya langsung akrab dengan mereka. Setelah bertemu dengan tim, saya bersegera pulang, berharap masih bisa menyaksikan sepakbola Indonesia vs Turkmenistan yang tadi sempat saya tonton. Ketika sampai di rumah, pertandingan sudah selesai dan Indonesia kalah telak! Saya kecewa. Tapi beruntung juga saya tidak menonton sampai akhir, kalau iya pasti saya akan lebih kecewa lagi.


 

24 February 2011; in the Office.

Pagi. Semangat saya penuh pagi ini. Di sela-sela pekerjaan saya menginterview calon peserta training, saya minggat ke kafe yang sedari pertama kali saya ke sini sudah menarik perhatian saya. Sangat menyenangkan mengetahui bahwa kampus ini mempunyai kafe yang sangat cozy seperti ini. Interior café ini didominasi warna merah. Sofa-sofa merah empuk itu begitu menggoda untuk diduduki. Tampak beberapa karyawan dan mahasiswa sedang menghadapi sarapan mereka. Saya mengambil tempat duduk di sudut, melahap perlahan-lahan potongan pizza dan chocolate-orange cake yang menjadi pilihan saran saya pagi ini. Creamy orange juice yang diantarkan oleh waiter tadi semakin menyegarkan pagi saya.


 

24 February 2011; Sore

Siang. Setelah mengganti outfit kantor dengan kaus tipis dan bermuda kesayangan yang saya beli ketika liburan di Malang kemarin, saya melangkahkan kaki di trotoar menuju ke arah pantai. Siang dengan panas yang menyengat. Cukup dengan berjalan kaki sekitar 15 menit dari tempat saya tinggal, pantai sudah di depan mata. Tapi saya sedang tidak berniat ke pantai. Saya ingin ke café di bawah pohon-pohon tua di dekat pantai tempat saya biasanya kabur kalau lagi penat dengan pekerjaan. Saya ingin segera menyelsaikan pekerjaan saya hari ini di kafe itu. Nah, di sinilah saya siang ini di sudut Wadezig dengan segelas orange juice yang menjadi penawar gerah siang ini. Duduk di depan laptop dengan mellow yang tiba-tiba melanda (lagi).


 

Di Hari yang Sama; Bersama Sunset di Pantai Padang

Ketika hati saya semakin bergejolak, seorang teman datang menemui. Dia adalah salah satu dari beberapa orang yang tahu tentang kedatangan saya di kota ini. Obrolan dengan dia selalu bisa membuat saya tersenyum. Setelah satu cup Cadbury, kami melangkahkan kaki ke pantai. Jalan kaki. Menyaksikan bias jingga di ujung senja selalu mengasyikkan buat saya.


 

Entah mengapa mengantarkan perjalanan sang Kala selalu menarik. Menunggunya menyemburatkan cahaya cerah di ujung timur pada pagi hari selalu bisa menyumbangkan keceriaan dan energi buat saya. Rasanya saya bersemangat, sama seperti semangatnya untuk menerangi dunia kembali. Mengantarkannya ke peraduan seperti sore ini selalu membuat saya merenung. Ada kesyahduan yang tercipta di sana.


 

Akan tetapi parahnya, sunset di tepi pantai sore ini membawa aroma rindu buat saya. Aroma rindu yang mempertebal melankolisme saya. Saya rindu pada dia yang pernah duduk di samping saya di tepi pantai menyaksikan sunset seperti ini. Dia yang tidak pernah lagi mau menyaksikan sunset di pantai itu ketika saya tidak bersamanya. Dia yang selalu bisa membuat saya tersenyum ketika menggoda saya yang lagi muram.


 

Masih di Hari yang Sama; Ketika Hari Beranjak Malam

Saya nggak boleh tenggelam dalam rasa ini. Yang saya butuhkan sekarang adalah suntikan semangat, karena saya butuh itu untuk tantangan pekerjaan saya di sini. Saya mengajak teman saa untuk menyusuri pantai. Dua jam berjalan bersama dia sambil berbagi cerita dan canda cukup untuk menipiskan rindu saya. Penat dan capek yang merajai cukup membuat saya melupakan rindu saya malam itu. Kalau saja dia tahu, saya harus berusaha sekeras ini untuk tidak terus mengingat dia.