Sunday, September 27, 2015

Cerita Pelayanan Rumah Sakit Kita



Saya tidak pernah berurusan dengan rumah sakit sampai akhirnya tahun lalu saya harus menginap di rumah sakit swasta di Jogja selama 10 hari. Pengalaman menginap yang banyak menguras banyak hal, mulai emosi sampai kantong tentunya karena waktu itu saya belum mempunyai asuransi. Pengalaman menginap itu juga yang membuat saya melihat bagaimana kepedulian teman-teman sekelas saya mengurus saya. Sampai sekarang, kalau membicarakan bagaiaman kepedulian mereka, saya masih merasa sesak, saya terharu.

Setelah itu, saya banyak berhubungan dengan rumah sakit mulai dari sekedar medical check up, cek darah rutin maupun menemani teman ke rumah sakit ataupun sekedar berkonsultasi dengan dokter tentang banyak hal. Dari situ juga, setelah berganti dokter berkali-kali karena saya tidak menemukan sosok dokter yang pas, saya menemukan dokter yang sangat profesional dan peduli. Saya bisa menghabiskan 2 jam mengobrol dengan dokter tersebut mulai dari masalah kesehatan, politik, sampai masalah tugas akhir kuliah saya atau hanya berbagi cerita. Malah kami pernah mengobrol hanya tentang mendaki gunung saja. Menurut saya, dokter itu tidak hanya harus tahu masalah penyakit saja, tapi dia harus mempunyai wawasan yang luas dan pandai berkomunikasi. Menurut ustadz saya ketika di Malang dulu, 50 pecent faktor penentu pasien itu membaik adalah kemampuan komunikasi dokter tersebut. Logikanya adalah, ketika seseorang sakit sebenarnya yang membuatnya sakit bukan hanya karena penyakit itu sendiri tetapi juga karena faktor pikiran, ketakutan dankekhawatiran akan penyakit tersebut,m sugesti. Ketakutan dan sugesti positif tersebut akan menurunkan sistem kekekebalan tubuh. Nah, ketika kita bertemu dengan dokter yang komunikasinya persuasive dan menenangkan, pikiran kita distimulus untuk tenang dan menghasilkan sugesti positif. Ketika kita senang dan tenang, tubuh akan menghasilkan hormon yang saya lupa namanya, tapi hormon yang baik hormon yang sama yang dihasilkan ketika manusia berhubungan sex atau setelah berolahraga. Makanya, saya selalu dipastikan pergi ke gym ketika saya merasa tidak enak badan, dan itu memang ampuh.

Kembali ke rumah sakit. Di Jogja saya sering berhubungan dengan rumah sakit pemerintah karena dokter saya praktik di rumah sakit itu. Alasan saya ke rumah sakit tersebut hanya karena bu dokter tersebut bekerja di sana. Selain hal tersebut, semua pelayanannya benar-benar menambah sakit karena saya sudah dibuat marah oleh antrian yang bisa mencapai 3 jam untuk bertemu dengan dokter, dan 2 jam lainnya untuk mengantri di apotek. Dan jangan ditanya bagaiaman kualitas pelayanan mereka. Selain lama, jarang ada staff yang ramah dan memberikan senyum. Makanya, saya sering bilang kalau mengunjungi rumah sakit tersebut, sama dengan menambah sakit. Saya terkadang merasa lebih tahu dari dokternya (kalau bukan dokter saya yang menangani saya) tentang apa yang saya butuhkan.

Suatu hari saya pernah berkunjung ke klinik di rumah sakit pemerintah untuk berkonsultasi dengan dokter tentang kesehatan saya. Ketika giliran saya memasuki ruangan dokter tersebut, saya mendapati dokter tersebut tengah tertidur dengan kepala terkulai di atas meja. Menyaksikan pemandangan tersebut, saya memutuskan untuk keluar dari ruangan dan mengetuk pintu dan memastikan dokter tersebut terbangun dari tidurnya. Akan tetapi saya belum sampai di ambang pintu keluar ketika dokter tersebut terbangun dan menampakkan wajah terkejut dan bingung. Dia mempersilahkan saya duduk dan terciptalah suasana canggung dan tidak ada seorangpun yang berkata apa-apa sampai saya memutuskan untuk mencairkan suasana dengan pertanyaan; you looks not feeling well. Are you sick? Si dokter pun bercerita bahwa dia kurang enak badan dan kecapekan karena tadi malam dia masuk jaga shift malam. Saya melanjutkan pertanyaan dengan ; are you a resident? Jawaban sang dokter membawa kepada curhatan bahwa dia sedang menyelesaikan spesialis di kampus tempat saya kuliah. Ha. Saya merasa bahwa saya lah yang memberikan konseling sekarang. Akhirnya dengan sedikit bercanda, saya bilang; so, now you can ask me! Saya bisa menangkap dia malu dengan saya yang malah mengendalikan percakapan.

Dengan pengalaman saya berhadapan dengan dokter di sini, saya terbiasa untuk proaktif bertanya dan menstimulus, mecocokkan dengan informasi yang saya tahu dengan kebenaran empiris yang tentu saja saya yakin dokter tersebut lebih tahu, hanya kadang-kadang mereka tidak punya kemampuan mengkomunikasikn ke pasien, atau tidak mau peduli dan berbuat lebih.

Belakangan ini, hampir setiap ngedate dengan seseorang pengalaman dengan rumah sakit selalu terlibat. Bukan karena saya melakukan KDRT yang membuat pasangan date saya babak belur dan harus dibawa ke rumah sakit melainkan karena mereka sakit karena makanan atau tubuh mereka menyesuakian dengan cuaca Jogja yang berubah extrim. Nah, saya biasanya menemani mereka ke rumah sakit karena seringkali bahasa Inggris para dokter maupun staff rumah sakit terbatas. Seperti pengalaman saya ketika berurusan dengan salah satu rumah sakit Internasional.

Teman saya terpaksa harus ke rumah sakit karena diare yang tidak kunjung berhenti. Saya tidak sempat untuk mengantarkannya karena saya baru membuka pesan bahwa dia akan berangkat ke rumah sakit dua jam setelah itu. Ketika saya menghubungi dia, teman saya ini sudah uda di di rumah sakit. Samapai kemudian dia menelfon saya karena dia tidak paham dengan apa yang dijelaskan oleh laboran di rumah sakit tersebut. Saya berbicara dengan sang laboran dan menjelaskan kembali ke teman saya.

Dua jam kemudian, saya memutuskan untuk menemani dia kembali ke rumah sakit untuk melihat hasil pemeriksaan laboratorium dan berkonsultasi dengan dokter. Ini menjadi pengalaman pertama saya mengunjungi rumah sakit ini karena biasanya saya menggunakan jasa rumah sakit di dekat kampus yang katanya rumah sakit terbaik di Jogja ataupun rumah sakit pemerintah yang punya jembatan yang menghubungkan lantai 3 rumah sakit dengan lantai 3 fakultas kedokteran. Saya menyebutnya jembatan cuci mata karena di situ berlalu lalang mahasiswa-dan mahasiswi kedokteran yang selalu berdandan rapi dan beraroma wangi tapi membosankan. Just good for eyes. Nah, saya merasa surprised ketika memasuki area rumah sakit JIH ini. Tata letak bangunannya saja sudah sangat menyenagkan dengan halaman rumput yang luas, lobby dengan sofa-sofa yang nyaman, reseptionis yang menyapa dengan senyum dan banyak gerai-gerai tempat makan dan coffee shop yang tersebar di rumah sakit. Bahkan ada chained bakery dan coffee shop favorit saya. Sebenarnya hal ini biasa saja di rumah sakit swasta. Tapi yang membuat saya kagum adalah karena fakta bahwa rumah sakit ini adalah salah satu venture dari yayasan yang juga membawahi sebuah universitas swasta di Jogjakarta dan penelitian yang saya lakukan menyentuh hal tersebut, bagaiamana universitas negeri yang tengah berusaha menjadi lebih otonom dan berusaha menjadi lebih corporate dengan menjalanakan venture untuk mendapatkan profit dalam membiayai keberlanjutan institusi perguruan tinggi.

Setelah Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dilegalkan oleh Mahkamah Agung, angin segar reformasi pendidikan tinggi memberikan harapan untuk lembaga pendidikan tinggi menjadi lebih otonom walaupun pelaksanaannya masih banyak menuai debat dan konsepnya kelihatan masih uji coba dan banyak yang mengatakan otonomi setengah hati. Hal ini diakibatkan karena di satu sisi kelihatannya lembaga pendidikan tinggi bisa sebesar-besarnya menentukan kebijakan mereka setelah mendapatkan legal entity di bawah status PTN BH akan tetapi ketika masalah keuangan dan sistem pengelolaan sumber daya manusia masih tergantung kepada pemerintah pusat, otonomi itu menjadi seperti setengah hati karena dua aspek tersebut sangat menentukan. Dari perbincangan saya dengan key informant penelitian saya, yang bekerja di level middle management merasa berat dan pesismis dalam mengimplementasikan konsep ini. Mereka pesimis UGM bisa mandiri dengan sumber daya manusia yang bekerja di institusi ini mencapai 7000 orang. Saya sangat mengerti ini berat. Ibaratnya seperti seorang anak yang sedang menuju usia dewasa, ketika tinggal berpisah dari orang tua dan harus mandiri secara finansial mereka akan merasa berat. Tapi toh mereka akhirnya akan menjadi mandiri juga. Berkaitan dengan pengalaman saya dengan rumah sakit, hal yang ,menjadi kemudahan bagi universitas dengan status PTN BH adalah mereka bisa menjalanakan ventures yang diharapkan profitnya bisa membiayai keberlangsungan lembaga pendidikan tinggi. Venture yang dimiliki oleh perguruan tinggi ini seharusnya jauh lebih maju dibandingkan dengan venture lain karena mereka mempunyai akses kepada modal manusia yang terdidik dinperguruan tinggi, baik itu lulusan maupun tenaga ahli yang berprofesi sebagai dosen dan peneliti.

Pengalaman saya mengunjungi JIH hari ini memberikan penyadaran kepada saya bahwa dalam banyak hal universitas swasta telah jauh melangkah dalam mengelola venture maupun joint-venture mereka di saat di banyak universitas negeri venture ini masih menjadi wacana dan kalaupun terlaksana masih banyak yang berbentuk toko koperasi.

Saya tidak bisa menulis panjang lebar tentang hal ini karena keasyikan saya menulis yang diselang-selingi obrolan manis dengan si date terputus oleh perawat yang terengah-engah menghampiri meja kami. Rupanya si dokter sudah menunggu lebih dari 30 menit dan kami keasyikan menikmati suasana coffee shop di rumah sakit ini.

Jogja, 1 September 2014

Saturday, September 26, 2015

Halal Sih, Tapi Ribet Je!

Aih, menulis yang beginian di tengah keinginan untuk segera menyelesaikan thesis itu sungguh menyebalkan. Akan tetapi kalau tidak ditulis akan mengganggu pikiran dan bikin sebal terus menerus.

Jadi, kan kartu ATM BRI Syariah saya hilang beserta dompet dan seabrek kartu lain termasuk 3 biji ATM lainnya. Proses menyebalkan sudah dimulai dari kantor polisi yang menolak membuatkan surat keterangan kehilangan untuk saya karena menurut mereka saya berpakaian yang tidak pantas. Entah standar dari mana yang dipakai untuk menilai pakaian yang pantas dan tidak untuk memasuki kantor polisi itu. Dan helloww, saya sedang dalam perjalanke gym untuk berolahraga gitu loh, you expect me to wear long sleeve and tie?. Akan tetapi berdebat dengan orang bebal kadang-kadang lebih baik mengalah.

Nah, urusan ATM dari Bank yang lain diurus kelar dalam waktu tidak lebih dari satu jam dengan obrolan santai dan tertawa-tawa dengan mbak teller yang memang sudah disetel untuk tampil ramah dengan senyum selalu merekah itu. Saya sudah mendapatkan ATM BNI, BCA dan UGM BNI Student card saya semuanya hanya dalam satu hari.

Nah, berhubung karena Bank BRI Syariah letaknya agak jauh dari kedua bank dan kampus saya tempat mengurus semua kartu ATM tadi saya mengurus penggantian BRI Syariah saya sehari setelahnya. Dalam perjalanan ke gym, saya mampir ke kantor BRI syariah. Believe me, kali ini saya berpakaian dengan sangat rapi, kemeja putih bergaris-garis biru dimasukkan. Jadi, please jangan ada lagi alasan tolol untuk menolak melayani saya karena pakaian saya tidak memenuhi harapan mereka. Kecuali tiba-tiba ada larangan memakai chinos warna merah sih.

Setelah menunggu beberapa saat, seorangt teller yang sepertinya setingan senyum teller bank mana saja pasti sama. Sapaannya juga standar membosankan gitu kan. Sudahlah, saya sudah membalasnya dengan senyum yang tidak kalah lebar kok. Dengan singkat saya menjelaskan bahwa saya ingin mengganti kartu ATM saya yang hilang.

“Oh okay bapak Erik, boleh saya pinjam buku tabungan dan kartu identitasnya?
“Sure, sure”. Saya mengeluarkan buku tabungan saya beserta passport, satu-satunya kartu identitas yang selamat dari kehilangan tersebut.
“Pak Erik buka rekeningnya di Malang ya?
“Iyap benar mbak”
“Maaf Bapak Erik, karena rekeningnya dibuka di Malang, maka penggantian kartu ATM nya juga harus di cabang tempat buka, di Malang
“Wow! Saya kaget dengan suara wow yang cukup keras membuat hampir semua pengunjung menoleh kea rah saya.
“Kok bisa gitu Mbak, bukannya sistemnya sudah online ya di mana-mana?
“Iya pak, tapi untuk penggantian ATM, ATM tertelan, dan lupa nomor pin harus kembali ke cabang tempat membuka rekening”
“Mbak, are you sure? Soalnya di dua Bank lain yang juga saya urus penggantian kartunya, bisa diurus di kantor cabang mana saja tuh, dan selesai dalam waktu hitungan jam”
“Iya pak Erik, tapi di bank kami tidak bisa?
“Coba anda Tanya ke manajer anda deh, atau saya mau bicara dengan manajer anda sekalian”
Dengan tetap tersenyum yang sepertinya sangat dipaksakan, teller itu pun berlalu dan kembali dengan seorang laki-laki yang dia akui sebagai manajernya.
Penjelasan dari manajer itu hampir sama persis dengan penjelasan si Mbak-mbak teller.
“Jadi, Bapak Erik harus kembali ke Malang untuk mengurus penggantian kartu ATM bapak Erik”
“Gila, lo pikir ke Malang itu sama dengan ke Prawirotaman, butuh paling tidak dua hari pulang pergi tahu” saya membatin dengan kesal.
Saya kemudian bilang dengan keras;
“Wow, bank ini amazing banget ya! Coba bayangkan kalau saat ini saya sedang berada di sebuah kota di Sumatera dan saya harus terbang ke Malang hanya untuk mengurus kartu ATM saya! Kok, bisa sih Bank di zaman modern kayak gini segini ribetnya?
Si mbak customer service dan manajer hanya tersenyum dipaksakan dan meminta maaf.
“Kalau buka rekening baru mbak?”
“Bisa pak, bapakbutuh kartu identitas dan surat keterangan domisili di Jogjakarta”
“kalau passport saja, bisa?
“Tidak bisa pak, harus dengan surat keterangan domisili”
“Forget it! Ribet banget. Terima kasih anyway”

Saya meninggalkan meja customer service dengan sebal. Come on, I mean dengan sistem komunikasi yang super canggih dimana bisnis dan urusan antar manusia tidak lagi terbatas oleh jarak masih ada ya sinstitusi keuangan yang masih ribet begini. Menurut ngana, itu sistem informasi dibuat dan dikembangkan terus menerus untuk apa? Padahal saya pernah membaca di sebuah majalah keuangan kalau bank ini pernah meraih award apa gitu. Ah, jangan-jangan award sebagai bank paling ribet.

Well, saya belum yakin bahwa saya harus kembali ke malang hanya untuk mengganti ATM. Setahu saya, di Bank-bank lain, kita hanya perlu ke kantor cabang tempat membuka rekening ketika hanya kita utuh untuk menutup rekening. Tapi saya sudah tidak tahan berdebat dengan petugas bak siang-siang panas seperti ini. Saya hanya butuh berenang saat ini.

Sangat disayangkan sebenarnya karena alasan saya memilih untuk mempertahankan rekening bank yang satu ini adalah karena sistemnya yang syariah, halal. Tapi sepertinya bank ini harus tahu kalau kata HALAL itu berdampingan dengan THOYYIBAN. Kalau seperti ini tidak thoyyiban deh. Lagipula kebanyakan pegawainya masih muda-muda dan cakep-cakep, secara bank baru kan. Satpamnya aja cakep-cakep banget waktu saya buka rekening di Malang dulu. Okay, itu tidak berhubungan sama sekali. Eits, secara marketing sangat penting kali. Well, saya mau buka website bank ini dulu untuk melihat policy mereka.

Bagi teman-teman nasabah BRI Syariah, sharing dong.

Jogja, 1 April 2014

Wednesday, April 8, 2015

Pendidikan Tinggi Indonesia di Pasar Internasional?


Abad Asia 2050 dan ASEAN Single Community 2015 akan membawa pola hubungan negara di wilayah ASEAN ke dalam hubungan yang sama sekali baru. Bukan hanya negara-negara di wilayah ASEAN sebenarnya, tetapi juga wilayah di sekitar regional ini seperti Australia dan Selandia Baru. Pada tahun 2013,  Australia bahkan sudah menerbitkan white paper yaitu sebuah naskah yang berisi strategi Australia dalam menyambut tantangan abad Asia 2050. Dalam dokukmen tersebut, Australia benar-benar menempatkan  ASEAN sebagai partner kerjasama regional yang penting. Hal ini bisa dimaklumi. Walaupun secara geografis Australia berada di dalam kelompok negara-negara Melanesia, tetapi dalam percaturan ekonomi, Australia lebih dekat dengan negara-negara ASEAN.

White paper  tersebut diturunkan ke dalam dokumen lain yang tidak  kalah menarik buat saya; Indonesia; Country Strategy. Dokumen ini berisi tentang strategi  dalam hubungan kerjasama dengan Indonesia.

“Each strategy outlines a vision of where Australia’s relationship with the country should be in 2025 and how we, the Australian Community, intend to get there (Indonesia Country Strategy: 2013)

Dalam bidang pendidikan, salah satu strategi  Australia dalam menghadapi tantangan tersebut adalah dengan menjadikan Bahasa Indonesia diajarkan sejak sekolah menengah. Dan tentu saja bukan rahasia apabila banyak universitas-universitas yang menawarkan program Studi Indonesia dan mendirikan research centre yang fokus mengkaji wilayah ASEAN dan juga Indonesia secara khusus. Kita mungkin juga familiar dengan program ACISIS yang mengirimkan mahasiswa-mahasiwa Australia untuk belajar tentang Indonesia langsung di  perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia secara langsung, lengkap dengan program-program lapangan dan research project yang langsung bersentuhan dengan masyarakat Indonesia. Bukan hanya Australia, sebenarnya mata negara-negara di dunia tengah tertuju kepada negara-negara Asia. Semua mata tertuju padamu. All eyes are on you.

Kota tempat saya berada saat ini pun, Yogyakarta, diramaikan oleh mahasiswa asing yang hanya khusus datang untuk belajar bahasa Indonesia, maupun belajar tentang politik dan pemerintahan di Indonesia. Bahkan, di Fakultas Bisnis kampus tempat saya kuliah, setiap semester selalu ada sekitar 50 orang mahasiswa yang datang untuk belajar  di sekolah bisnis untuk satu  semester maupun lebih. Tujuan mereka bermacam-macam. Mahasiswa dari Cina dan Korea yang biasanya banyak datang melalui program beasiswa Darmasiswa mungkin pemerintah mereka antusias mengirimkan mereka untuk belajar di Indonesia karena Indonesia adalah pasar yang besar untuk produk-produk mereka. Belajar langsung di negara yang menjadi pasar produk mereka tentu saja akan membuat mereka lebih mengenali dinamika pasar dari dekat. Sebuah aset masa depan.

Seorang teman dari Taiwan yang kuliah di Sekolah Bisnis di Beijing mengatakan dia dimotivasi oleh Bapaknya untuk datang belajar bahasa Indonesia di Yogtakarta untuk mempersiapkan kemungkinan ekspnasi bisnis IT keluarga mereka di Indonesia. Setelah dua semester di Yogyakarta,  teman Hongkong saya tersebut sudah memulai usahanya sendiri di Bidang Tour & Travel yang memfasilitasi para turis China datang ke Indonesia. Seorang teman yang lain lagi, mahasiswa master di Paul H. Nietze School of Advanced Internatioanal Studies, The John Hopkins University yang fokus belajar tentang keuangan internasional dan juga keuangan di Asia datang dua kali ke Indonesia. Yang pertama, dia datang khusus untuk belajar Bahasa Indonesia di Yogyakarta, yang kedua datang ke Jakarta untuk magang di perusahaan Malaysia yang beroperasi di Indonesia. Seorang teman yang lain lagi, berkewarganegaraan Portugal dan Brazil juga datang untuk belajar di sekolah bisnis di kampus saya selama satu semester, untuk mengenali atmosfir bisnis di Asia katanya. Bahkan dia berkongsi menulis paper tentang currency dalam ASEAN Single Community dengan seorang dosen muda di Fakultasnya. Itu akan menjadi nilai plus buat dia ketika terjun ke dunia kerja di Portugal sana, dia berwawasan “asia” dan siap membuat strategi bisnis perusahaan untuk pasar Asia, misalnya.

Percakapan dengan seorang teman Jerman lebih menarik lagi. Kami sedang berbincang tentang dinamika ASEAN Single Community sambil menikmati makan siang di kantin.Kami bercakap dalam bahasa Indonesia yang sangat formal, sesuai dengan KBBI, karena itulah standar bahasa yang diajarkan di sekolah bahasa tempat dia belajar di kota ini. Dia juga mengikuti perkuliahan di FISIP kampus saya.  Ketika pembicaraan menyentuh tentang Filipina, dia tidak punya banyak wawasan tentang negara tersebut. menurut dia, pemerintah mereka mungkin tidak menganggap negara tersebut “penting” dalam kerjasama internasional Jerman. Sebaliknya, Indonesia menurut dia adalah sebuah negara partner yang sangat penting.

Fenomena mobilisasi mahasiswa internasional ke negara kita tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa demand untuk pendidikan tinggi di Indonesia sangat besar. Hal tersebut kemudian membawa saya kepada pertanyaan, sudah sejauh mana langkah yang dilakukan oleh Indonesia sebagai negara dalam merespon demand tersebut? Dalam hal visa misalnya, informasi yang menyelurus tentang pendidikan tinggi di Indonesia misalnya, dan hal-hal lainnya yang memudahkan mahasiswa tersebut untuk hidup di Indonesia, ataupun menarik mahasiswa lain di luar sana untuk datang dan belajar di Indonesia. Namun, dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, belum ditemukan sebuah sistem terpadu yang memudahkan mobilisasi mahasiswa internasional ke Indonesia seperti website yang langsung mengarahkan mahasiswa internasional untuk mengetahui pendidikan tinggi yang ditawarkan oleh Indonesia.

Berdasarkan pengamatan saya terhadap teman-teman mahasiswa Internasional di sini, mereka sangat antusias untuk belajar di Indonesia walaupun dengan segala keribetannya. Mahasiswa dari belahan bumi lain tentu saja senang berada di negara tropis dengan nilai tukar mata uang yang lebih redah dengan mata uang mereka. Siapa sih yang nggak senang bisa kabur ke Bunaken untuk menyelam di akhir pekan. Siapa sih yang tidak senang menjelajah NTT yang eksotis itu di waktu kosong perkuliahan. Malahan, ada seorang teman mahasiswa asing lagi yang practically dia tinggal di Gili  Terawangan dan pantai-pantai di Lombok sana dan hanya terbang ke Jogja untuk mengikuti perkuliahan yang hanya dua hari. Ada low cost carrier ini! Belum lagi gunung-gunung yang menantang untuk didaki ada di mana-mana di negara kita ini. Dengan semua potensi keindahan alam tersebut, seharusnya bisa menjadi bahan marketing yang aduhai untuk menarik pemuda-pemuda benua sebelah tersebut berbondong-bondong belajar ke Indonesia. Belajar sambil menikmati alam tropis dan budaya yang eksotik!

Berbeda dengan Malaysia yang benar-benar melihat kesempatan “semua-mata-tertuju-padamu” itu dengan membuat portal informasi yang menawarkan mahasiswa internasional untuk belajar di Malaysia melalui www.studymalaysia.com, educationmalaysia.gov.my atau pemerintah Belanda yang mempunyai www.nuffic.nl. www.studyinholland.nl , bahkan sebuah institusi lengkap dengan website yang khusus untuk segmen pasar calon mahasiswa dari Indonesia di www. nesoindonesia.or.id. Sementara itu, negara tetangga di Pasifik juga gencar mentargetkan Indonesia sebagai pasar pagi pendidikan tinggi mereka (Autralian White Book: 2013).

Bagaimana dengan di level institusi Perguruan Tinggi? Seharusnya dengan semua sumber daya yang dimiliki, hal tersebut bisa dilakukan. Apalagi untuk perguruan tinggi yang berstatus otonom (PTNBH) yang mempunyai kewenangan memutuskan segala hal tanpa melibatkan pemerintah. Kewenangan yang dimiliki melalui otonomi perguruan tinggi seharusnya cukup untuk melakukan hal tersebut. Salah satu tujuan otonomi tersebut untuk membuat pengambilan keputusan menjadi cepat dan mudah bukan?

Dalam pola system thinking kasus ini bisa diklasifikasikan sebagai growth and under investment. Kondisi ini terjadi dimana sebenarnya sebuah institusi bisa mencapai target tertentu, sementara pengambil kebijakan (biasanya pemimpin) menunda mengambil keputusan besar yang drastis dan nyaman dengan keadaan biasa saja. Penundaan (delay) pengambilan keputusan tersebut tidak kelihatan dampaknya sekarang , tetapi dalam jangka panjang biasanya akan muncul sebuah akumulasi efek yang tidak menguntungkan institusi.

Kasus ini juga sama dengan kondisi Indonesia yang tengah menikmati bonus demografi dimana komposisi usia produktif populasi penduduk Indonesia lebih tinggi daripada populasi usia non-produktif. Kondisi ini hanya berlangsung sementara, yaitu sampai tahun 2020. Investasi kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah atau siapa pun yang mempunyai kepentingan dengan fakta ini tentunya harus diambil saat ini. Dalam kasus investasi pendidikan yang hasilnya baru akan terlihat dalam jangka panjang, apabila kebijakan pendidikan di level negara, ataupun strategi organisasi di tingkat perguruan tinggi tidak diambil saat ini (seharusnya sudah dari beberapa tahun sebelumnya), menunggu lebih lama lagi tentu akan terlambat.


*Di sela-sela mengetik thesis, Bulaksumur, 8 April 2015

Sunday, March 22, 2015

Cerita Jogja; Little Blond by the Pool


Senang kembali lagi ke Jogjakarta dan blusukan di akhir pekan. Setelah kemarin berbelanja hadiah untuk keluarga di negeri jauh sana, hari ini saya memutuskan untuk mengunjungi Candi Gebang. Candi yang ternyata masih di area seputaran ring road utara ini adalah salah satu dari candi-candi kecil yang bertebaran di wilayah Jogjakarta. Seperti candi-candi kecil lainnya, keadaan candi terpelihara baik dengan taman cantik berhiaskan bunga-bunga kuning bermekaran yang berselang-seling dengan rumpun lydil yang membentuk lorong-lorong kecil. Di luar pagar candi dikelilingi oleh hamparan sawah dan kebun tebu yang menghijau. Rambutan sedang di puncak musim sehingga di sekitar candi pohon-pohon dipenuhi warna merah rambutan yangsedang ranum. Saya memutuskan untuk membagi separuh rambutan yang saya beli di pinggir jalan dari ibu tua tadi dengan dua orang penjaga candi berseragam itu. Mereka ramah.

Hal yang membuat saya tidak merasa tinggal di kota adalah keramahan penduduk sekitar yang rajin menyapa dan bertukar senyum. Kehangatan penduduk, sawah yang terhampar asri, suasana tenang yang jauh dari bising kota menghasilkan kesan bahwa saya sedang berada di desa. Hal seperti ini yang kelak akan dirindukan dari kota ini.

Setelah puas menikmati ketenangan, saya mengendarai motor menuju ke arah dalam ring road menuju Amplaz. Saya ke sini ingin mendapatkan beberapa butir ubi jalar untuk karbohidrat makan malam nanti. Saya berencana memasak untuk malam ini. Sudah lebih dari dua bulan saya tidak menyambangi mall paling ngehits se-Jogja ini. Kesibukan menulis thesis membuat saya hanya familiar dengan perpustakaan kampus, Madam Tan, Lagani dan Jogjakarta Plaza Hotel tempat gym saya, dan tentu saja rumah yang seringkali hanya dihuni setelah hari gelap ketika saya kembali ke rumah dari tempat-tempat tadi. Apalagi, satu minggu kemarin saya menghabiskan waktu di Jakarta. 

Setelah makan siang, saatnya mendinginkan tubuh dengan berenang. Salah satu yang membuat saya bersikeras memperpanjang keanggotaan saya di gym adalah karena saya bisa bebas menggunakan fasilitas kolam renang di hotel, lengkap dengan diskon 20% dari pembelian makanan atau minuman dari restoran yang terletak di lobby yang menghadap ke kolam renang. Maka, jadilah gym dan kolam renang beserta Langen Suko Park dengan jogging track di antara rumput taman yang hijau dengan semerbak wangi bunga kamboja pink yang tumbuh tersebar di seluruh taman menjadi tempat melepas penat. Ini seperti a liitle sanctuary untuk bersantai dari rutinitas menjadi mahasiswa pascasarjana dengan beban thesis yang cukup menguras otak dan tenaga.

Duduk di pool chair di tepi kolam renang, saya asyik menonton tingkah 3 orang anak bule yang asyik bermain air di kolam untuk anak-anak. Kedua orang tuanya juga nimbrung bermain dengan mereka sesekali ketika mereka berhenti dari aktifitas berenang. Saya tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah anak yang paling kecil. Umurnya kira-kira 2 tahun. Dengan Rambut blonde dan mata biru membuat anak tersebut sangat menggemaskan. Apalagi tingkahnya yang aktif berlarian ke sana kemari, berlari tepat di sepanjang tepi kolam untuk orang dewasa tanpa takut terjatuh. Kemuadian ia berpindah ke seberang kolam dekat tempat saya duduk. Di sini, Ia mengangkat tanda peringatan dan membawanya turun ke tangga taman. Melihat hal tersebut, sang ayah segera mengejar dan mengangkatnya kembali ke tepian kolam. 

Sekarang ia tengah mencoba untuk memakai sandal Crocs yang menyerupai kodok yang entah milik ibunya atau bapaknya. Sandal kebesaran tersebut membuatnya melangkah terseret-seret mengitari kolam renang. Mungkin bosan dengan sandal, ia melempar semua sandal tersebut ke dalam kolam renang dan berlari menuju kursi tempat ayanya berbaring sambil membaca. Ia menarik-narik ujung celana ayahnya untuk menunjukkan sandal-sandal yang mengapung di tengah kolam. Ia seakan-akan ingin menunjukkan betapa ia telah melakukan sesuatu yang luar biasa.

Sekarang Ia berlari ke arah kakaknya yang tengah berenang mencipratkan air ke arah kakaknya dengankaki mungilnya. Sang kakak meladeni dengan mecipratkan air dari arah kolam membuat si kecil berteriak-teriak girang. Ketika si kakak berbalik untuk berenang, si kecil mengambil batu kali yang menjadi hiasan di sepanjang kolam dan melemparkan ke arah sang kakak dan tepat mengenai kepalanya. Si kakak berteriak keras dan menangis mengundang perhatian Ibu mereka yang segera menenangkan si kakak. Sementara si kecil dengan rambul blonde  yangmenggemaskan tersebut berjalan menjauh seakanmelarikan diri dari perbuatannya. Oops, I did something wrong! Mungkin itu yang tengah ia pikirkan. Si, ibu segera mendatangi si kecil yang tiba-tiba sudah memanjat patung gajah yang terbuat dari batu dinpinggir kolam. Sambil menggendongnya ia memberi peringatan serius kepada si kecil sambil menunjuk ke arah si kakak yang masih menangis memegang kepalanya. 

Saya yang menonton sedari tadi tidak bisa menahan senyum melihat tibgkah mereka. Sangat berbeda bagaimana orang tua kebanyakan di negara kita memperlakukan anak-anak mereka saat kecil. Kebanyakan anak-anak kita familiar dengan kata-kata "jangan", "awas" "kamu nakal" dan sebagainya.

"Jangan lari-lari, nanti kamu jatuh! 
" jangan sentuh itu, nanti tangan kamu kotor! 
" ke sini kamu. Igh, susah sekali sih dibilangin. Nakal kamu! 

Kata-kata itu yang membuat anak-anak tidak bebas mengesplorasi sekitar mereka, mengikuti rasa ingin tahu mereka akan lingkungan sekitarnya, belajar dari apa yang ereka lihat dan mereka alami. Anak-anak tumbuh dan belajar secara natural dari apa yang mereka lihat, rasakan dan alami di sekitar mereka. Ketika mereka di iarkan untuk mengeksplorasi dan menuntaskan rasa ingin tahu mereka, mereka akan tumbub mejadi pembelajar yang tidak takut untuk mencoba hal baru, membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru, tumbuh menjadi jiwa petualang. 

Hiburan tontonan tingkah anak kecil dari pinggiran kolam sore ini cukup menyegarkan otak. Berenang lima belas putaran cukup mengembalikan semangat untuk kembali menghadapi thesis. Selalu ada hal-hal kecil yang menyenangkan di Jogja. 

PS
Saya bingung mau memberi judul apa untuk catatan ini😃





Sunday, January 4, 2015

Bali Holiday; A Day in Geger Beach

It's a very bright sunny day today after the raining been pouring on and off since the new year's eve. This is my last day in Bali as I'll fly back to Jogja tomorrow in the dawn.  So, I decided to spend the day in one of my favourite beach, Geger beach. Located in the south coastline between Nusa Dua and Pandawa beach, this is the only few public beach that remained after these big chain resort claimed to have "private" beach in front of their hotel and resort. I remembered back in 2009 the first  time I visited this beach, there was only few local restaurant settled with the whole beach are empty. Everyday you would find a seaweed farmers harvest or nurture their green and red algae to send good food to the world's table. Once you jump to the water, you can see the coral and seaweed plants as the water is very clear and calm. In the top of the reef edge situated a beautiful Pura with white sands beach down there where Balinese held the major prayers or ceremonies.

 It changes a lot now. More than half of the previous empty land is pilled up by a big big chain hotel with green grass yard and big swimming pool and jogging track facing the beach. What I like from this new built Hotel is they let public to use their jogging track and people can freely use the beach in front of their hotel, unlike the Nusa Dua's beach that are strictly prohibited people even to pass the beach area in front of their hotel. This big chain Hotel in Geger beach seems want their guest to blend with people, or they don't pay the government to privatize the beach. I don't know which one is the reason, but this is good for me since I like this beach just to swim, lay down on the sands, wandering with my camera for some good photo snaps.  

I decided to rent canoe and row to the "middle of the sea" to enjoy the scenery of this beach from the sea. It's a different angle of enjoying the beach since now I can see the blue turquoise water, white sands beaches, umbrellas , and building with palm trees everywhere. The lady who sail with  the stand peddle let his peddle flowing on the sea while she is practicing yoga on her peddle. Yoga on a peddle in the sea requires a highly practiced skills I guess. 

Besides of English spoken with Australian accent,  chatters are Russian, french, and Italiano and Japanese. Once in a while a big group of Korean and Mandarin or Cantonese speakers come by. As usual, this big group coming to the beach not to swim or go into the water. With the wide hat and long dress they are busy doing selfie with various of mimics that make me thinking; what so pretty about mimicking your face in that particular way? I don't know. Perhaps it's a new definition of cute, or just a definition in certain part of Asia. You know what kind of mimics I mean, don't you?

I can say the sea foods served in the small restaurants along Geger beach are one of the best in Bali. It's served by 3 restaurants  situated in the public beach. My favorite all the time is Seafood kebab from Yo Spa's restaurant where also they serve my favourite drink fruit punch made of fresh mango, orange, pineapple, grenadine syrup in the bottom which gives the nice aroma and soda water on top which gives the fresh punch. All the menus are very cheap with fresh juices only range from 10 K-15 K.  The nextdoor restaurant, Fleet Bar and Cafe is my second favorite simply because it is the only restaurant or bar in this beach serves coffee from espresso. So, I spend the morning writing my theses in Fleet Bar and Cfae accompanied by cups of fresh brewed coffee and the lunch and after lunch time in Yo Spa's Bar and Cafe for good seafood kebab and fruit punch or geger sunrise. 


When the sun goes down, I decided to take a walk along the beach to the direction of Nusa Dua. I found out that among this luxury resorts and private villas, there are some tiny pieces left for public that not many people know about since they are wrapped among all these" private" beach. 

Geger, January 4th 2015