Ada polisi tampan yang bertugas mengatur lalu lintas di perempatan Ubud. Belakangan ini, si Polisi ganteng menjadi bahan pembicaraan hangat di tempat kerja teman saya yang tidak jauh dari tempat pak polisi ini biasa bekerja. Ternyata, fans pak Polisi ini lumayan banyak. Singkat cerita, teman saya yang ngefans banget sama Pak polisi ini berhasil dekat dan keluar untuk makan malam. Ada suasana-suasana romantis gitu lah. Soalnya, si Pak Polisi bawa bunga. Tadi malam, saya, teman saya, dan polisi tampan sedunia ini sepakat untuk hang out di Ubud seusai bekerja.
Tempat hang out malam ini bisa dibilang adalah tempat hang out paling hips se-Ubud. Beriringan kami berjalan menyusuri Monkey Forest ke arah lapangan Ubud setelah menyepakati untuk merahasiakan identitas Pak Polisi ketika kontak dengan orang-orang yang kami temui di Bar. Apalagi teman perempuan saya ini mengandung semacam selebriti di Ubud. Maksud saya, kalau dia ke Bar, yang menyambutnya banyak. Maklum, pekerjaannya sebaga Marketing manajer sebuah restoran besar di Ubud membuat pergaulannya luas. Ditambah lagi pembawaannya yang menyenangkan. Sebagai sahabat, saya juga kecipratan kenal si ini dan si itu dong ya.
Setiap hang out, ada satu obsesi yang selalu saya simpan dan belum pernah terwujud. Saya ingin turun ke lantai dansa dan ngedance. Yang saya maksud dengan ngedance adalah ballroom dance dan semacamnya. Kalau ngedance di diskotik seputaran Kuta dan Seminyak sih saya sering. Tapi itu kan di tengah-tengah crowded yang padat sehingga hampir tidak ada orang yang peduli dengan sekitar, cuek aja. Bergerak bebas aja. Dance aja dengan liar. Akan tetapi Menari di bar di tengah-tengah lounge atau out door bar yang dikelilingi oleh orang-orang yang duduk santai dan diiringi live music buat saya adalah sebuah tantangan besar. Ini masalah tantangan kepercayaan diri.
Tahun lalu saja, saya menolak mati-matian untuk menyambut tangan orang yang menarik saya untuk menari di Salsa night restoran tempat teman saya bekerja. Sejak itu, saya bertekad untuk bisa menari, sama seperti kuatnya keinginan saya untuk Bisa main gitar. Buat saya, saya hanya butuh untuk luwes dalam bergerak. Ah, mungkin lebih tepatnya saya hanya butuh pede dan tidak grogi, karena sebenarnya saya suka menari sendiri di kamar. Hahahaha.
Teman dari Belanda yang melihat saya bergerak mengikuti irama ketika ngobrol begitu sampai di bar pun percaya saya sangat pintar menari demi melihat gerakan saya.
Beberapa jam pertama kami asyik mengobrol dan meledeki Pak Polisi ganteng teman kami dan juga ngobrol dengan si Paul yang dengan percaya diri menari denga luwes di outdoor area bar yang dikelilingi oleh meja pengunjung yang tengah menikmati minuman masing-masing. Wuih, salut sama pede nya. Seorang nenek-nenek bule juga dengan semangatnya berjoget sendiri mengikuti irama musik rock yang keras begitu Paul selesai menari. Wuihhh! rocker banget itu nenek!
Tentu saja saya menolak mati-matian ketika Paul menarik tangan saya untuk menari. Aduh ayam sayur banget deh saya.
Ketika malam semakin larut, kami pindah ke ke lounge yang disekat terpisah yang lengkap dengan bar sendiri, stage, Billiard pool dan sofa-sofa yang empuk. Sekarang giliran Judith yang denga santainya bergerak mengikuti musik akustik yang dimainkan oleh band. Gerakannya sederhana. Akan tetapi kelihatan sangat menghayati dan santai. Gerakannya diikuti oleh seorang kakek-kakek yang meraih tangannya dan menari bersama.
Saya masih dengan muka mumpeng menggoyangkan badan sambil duduk di sofa. Saya tidak berani berdiri. Saya merasa saya akan kesulitan menyesuaikan gerakan kaki dengan irama musik. Saya takut gerakan saya akan terlihat aneh. Padahal sih ya, dua pasang bule di depan stage itu gerakannya super aneh, nggak sesuai irama sama sekali. Mereka bergerak berjingkrak dengan sangat aneh. Tapi tentu saja mereka tetap pede dan terus menari. Saya yang duduk di sofa merasa saya Bisa menari jauhhh lebih indah dan luwes. Tapi toh, saya tetap bergoyang sambil duduk di sofa. Mental saya kacang banget dah.
Akhirnya, saya menyimpulkan salah satu tanda tingginya kepercayaan diri itu adalah menari di depan orang-orang di Lounge. Ternyata ke-pedean saya untuk berbicara di depan ratusan audien belum seberapa. Ternyata keberanian saya untuk dandan 'aneh' dan berbeda belum menjamin saya untuk pede menari di depan orang-orang. Saya juga menyimpulkan, kalau mau anak-anak anda pede, ajarkan dia menyanyi dan menari deh.
Dari pengamatan iseng-iseng itu, saya juga bisa melihat bagaimana berbedanya orang timur dan orang barat. Gerombolan orang Indonesia dan beberapa pengunjung bertampang mongoloid tampak hanya duduk diam memeluk bantal di sofa sepanjang keriaan orang-orang bernyanyi, menari, maupun bercanda dengan yang lain. Mereka bahkan tidak memberikan aplaus ketika orang-orang ramai menyemangati teman-temannya yang menari atau hanya memberikan apresiasi kepada band yang tampil. Melempem banget deh pokoknya. Kalau menurut saya, mereka tidak pede sehingga mereka membangun tembok tinggi untuk memproteksi dirinya agar tidak dilihat orang lain. Jadi, mau melakukan apa pun takut. Takut diperhatikan orang, takut kelihatan salah, takut kelihatan aneh.
Selain itu, orang-orang Asia cenderung sangat komunal. Sepertinya sih ini sudah menjadi kebenaran umum deh. Lihat saja tampang-tampang Asia di beberapa sofa di pojok sana. Rata-rata mereka datang dengan jumlah di atas tiga orang. Tengok juga turis-turis Korea dan Taiwan yang memenuhi pojok-pojok Bali. Mereka kemana-mana berombongan dengan bus pariwisata besar. Diantar,kemudian ditunggui, dan diantar balik lagi. Selain menjadi budaya, mereka juga bergerombol karena kendala bahasa. Nah, hubungannya dengan kepercayaan diri adalah, mereka tidak pede berjalan sendiri karena kendala bahasa tadi. Padahal saya kenal beberapa teman Rusia yang bahasa Inggrisnya terbatas tapi pede aja tuh jalan kemana-mana di Bali sendiri walaupun berkomunikasi kadang-kadang bercampur dengan bahasa Tarzan.
Suasana klub semakin riang. Saya masih bergoyang pinggul di atas sofa. Dewi yang berulang kali mengajak saya menari sudah bergoyang ke mana-mana. Saya sempat menari sebentar tapi kembali duduk karena grogi. Pak Polisi ganteng tiba-tiba berdiri dan mulai menari dengan Paul. Tiba-tiba dia datang dan menarik tangan saya untuk ikut bergabung menari bersama mereka. Tarikan yang ini sepertinya susah dilawan. Tangan polisi gitu loh. Mana kuat tangan langsing saya ini menepis. Dan tiba-tiba saya sudah melangkahkan kaki di atas lantai, mulai menggerakkan pinggul dengan sangat gampangnya, melangkahkan kaki seirama dengan beat musik akustik yang dimainkan oleh band, dan tiba-tiba saja saya merasa sangat ceria dan bersemangat. Hilanglah sudah semua ketakutan, khawatir dan grogi saya. Wuihhh, ternyata menari seperti ini sangat nikmat.
Sekarang saya sudah merasakan bedanya menari dengan musim berirama keras seperti di disko dan musik berirama akustik dan santai seperti ini. Musik berirama keras membuat saya bersemangat menghentak denga euforia berapi-api sehingga kadang liar, sedangkan musik seperti ini membuat ceria dan melayang. Hahahaha, akhirnya saya menari juga. Sepertinya saya akan mengambil kelas salsa dan capoeira di Jogja nanti. Saya tidak sabar untuk menari lagi di Ubud.
Nah, hubungannya dengan pekerjaan saya, sepertinya para trainer di kantor saya harus belajar menari deh biar kepercayaan dirinya meningkat. Terutama untuk trainer-trainer yang beranjak menapaki tangga Grand Instructor dan Master Coach.
PS:
Apa sih beda menari, berjoget, dan bergoyang? Saya agak kaku menggunakannya dalam tulisan saya. Share ya....!