Ketika menulis postingan ini, saya sedang duduk di kursi gerbong ekonomi kereta Api Malabar, perjalanan balik ke Jogja. Awal perjalanan ini saja hawa-hawanya sudah tidak enak, penuh dengan kekacauan yang disebabkan oleh kecerobohan saya sendiri. Kecerobohan pertama adalah ketika saya akan membeli tiket di stasiun.
Jam setengah sebelas siang Malang masih dingin yang membuat saya malas mandi. Berani mencuci muka saja sudah keren sekali. Di sini paginya awet sekali. Udara berkabut dan hawa dingin seperti ini bisa bertahan sampai sore. Saya ngebut ke stasiun Malang untuk membeli tiket Malioboro Ekspress yang menurut saya keberangkatannya adalah Jam 11.30 siang. Kebiasaan buruk saya adalah selalu membeli tiket kereta api go show.
Di loket stasiun, dengan percaya diri saya minta satu tiket Malioboro Ekspress. Mas-mas penjual tiket memandang saya dengan pandangan heran bercampur kasihan. Rupanya saya salah mengingat jadwal keberangkatan kereta yang saya inginkan. Malioboro Ekspress berangkat dari Malang jam 8 pagi saudara-saudara. Tidak lebih dan tidak kurang. So, saya harus dihadapkan dengan kenyataan saya harus kembali naik kereta Api Malabar tujuan akhir Bandung yang saya benci banget. Apa pasal? Saya nggak rela disuruh membayar tiket tujuan Jogjakarta seharga tiket jurusan Bandung yang mana harga tiket untuk kelas Bisnis dua kali lipat harga tiket Malioboro Ekspress. Karena saya sudah terlalu kangen rumah di Jogja, saya akhirnya merogoh kantong dengan berat hati untuk menebus tiket yang saya benci itu.
Stasiun Malang; Kekacauan Tingkat Dewa (Mabuk)
Saya benar-benar shock ketika melangkahkan kaki memasuki stasiun Malang. Manusia berjubel mengular bengkok-bengkok seperti ular keseleo mengantri tiket dengan dikawal banyak petugas berseragam. Orang-orang bergelesotan duduk di atas lantai dengan buntalan-buntalan besar, koper-koper obesitas atau carrier-carrier segede bagong. Petugas ceking berseragam security berteriak-teriak melalui mikrofon meneriakkan nomor antrian pembelian tiket dan loket tempat pembeliannya. Oalah, mengapa seribet ini ya?
Bayangakan, untuk membeli satu tiket, pertama-tama saya harus mengisi form pembelian tiket dengan kolom-kolom bejibun di meja yang dihuni oleh dua orang mbak-mbak yang sudah kehilangan senyum. Setelah itu saya harus mengantri di loket dan menyerahkan form yang saya isi ke petugas loket dan kemudian menunggu petugas loket tertaih-tatih mengetik menyalin isi form yang saya serahkan. Setelah itu, saya harus menunggu dan kalau rela harus duduk di atas lantai seperti penumpang lain menunggu pintu ruang tunggu dibuka, dan tentu saja mengantri lagi menunggu untuk mendapatkan stempel di atas tiket saya dan mencocokkan tiket dengan kartu identitas. Baru deh saya bisa berjalan melenggang ganteng di ruang tunggu. Padahal kan saya sangat suka ruang tunggu, terutama ruang tunggu stasiun besar dan airport. Menurut saya ini benar-benar penistaan terhadap ilmu manajemen dan prinsip efisiensi.
Untuk melayani 1 orang masuk ke ruang tunggu stasiun kereta api saja membutuhkan 7 tenaga manusia; 2 di bagian pengisian form pembelian, 1 petugas yang berdiri di samping antrian di depan loket, 1 di loket, dan 3 di pintu masuk ruang tunggu. Itu baru di satu stasiun. Bisa anda bayangkan berapa anggaran yang harus dikeluarkan oleh PT. Kereta Api Indonesia untuk menggaji karyawan yang begitu banyak. Sekali lagi, menurut saya yang penuh perhitungan ini, itu benar-benar penistaan terhadap efisiensi. Oportunity costnya terlalu besar untuk selembar tiket. Coba kalau kita putar ulang adegan saya membeli tiket tadi dengan versi ideal yang menurut saya lebih efisien dan menyenangkan.
Versi 1
Saya berjalan lurus segaris memasuki peron dengan langkah-langkah panjang, kemudian mengantri di loket pembelian tiket. Ketika giliran saya, saya tersenyum manis ke petugas loket, menyebutkan tiket yang saya inginkan, menunjukkan kartu identitas kemudian bayar deh. Langkah selanjutnya tentu saja melenggang masuk ke ruang tunggu, duduk di coffee shop dan menyeruput kopi dengan ganteng.
Versi 2
Saya melenggang santai sambil kipas-kipas muka pakai Ipad 4 (ditampar pakai Ipad), berhenti di depan sebuah mesin, tekan sana-tekan sini, masukkan sejumlah uang, dan akhirnya dengan ganteng mengambil tiket yang diprint otomatis oleh mesin. Langkah selanjutnya tentu saja melangkah lurus segaris ke ruang tunggu setelah menscan tiket di X-ray pintu masuk. Kemudian saya bisa duduk-duduk di coffee shop sambil cuci-cuci mata.
Mungkin inefisiensi ini hanya terjadi di beberapa stasiun saja karena di Stasiun Tugu di Yogyakarta saya membeli tiket dan memasuki ruang tunggu dengan sangat gampang. Mungkin penerapan manajemen di stasiun tertentu terhalang oleh cultural barrier, budaya orang yang tidak gampang mengikuti aturan, budaya orang yang susah untuk mengantri. Dan believe me diselak orang diantrian itu membuat anda rajin-rajin mengelus dada (montok hasil latihan keras di gym). Hambatan besar dalam menerapkan manajemen memang adalah merubah mental orang. You can apply gorgeously good system but it doesnt constantly change your people.
Nah kembali ke cerita saya. Mengapa saya bisa berakhir dengan naik kereta api ekonomi? Semua bermula dari kebiasaan saya membeli tiket go show dengan anggapan bahwa rute perjalanan Malang-Bandung bukanlah rute yang padat. Ketika berdiri di depan loket, dengan manisnya si Mbak penjual tiket bilang kalau yang tersisa hanyalah tiket kereta api kelas ekonomi. Sekali lagi, saya tidak rela membayar tiket kelas ekonomi yang lebih mahal daripada tiket Malioboro ekspress yang sayangnya sudah berangkat dan saya ketinggalan gara-gara lecerobohan saya sendiri.
Setelah mengantongi tiket, saya mengendarai motor menuju ke Baker's King. Menunggu keberangkatan tentu akan menyenangkan jika sambil baca-baca di sofa merah menyala pojok favorit saya sambil ditemani secangkir besar Vanilla latte (ini benar-benar besar, sebesar mangkuk sup di rumah saya). Hujan rintik-rintik, pagi yang awet dan sofa yang cozy membuat saya dan teman saya mengobrol dengan asyiknya. Sampai saya tersadar dan melihat jam. Oh my God, jam 12.33. Keretanya berangkat pukul 12.45.
Secepat kilat saya berlari ke luar menuju tempat parkir. Sambil menghitung-hitung jumlah lampu lalu lintas yang akan dilewati dan titik kemacetan yang mungkin akan menghadang saya menarik gas sepeda motor dan ngebut semampunya menuju stasiun. Dan tentu saja saya mengutuk diri saya sendiri mengapa saya sampai sebegini ceroboh. Sampai di stasiun kereta mulai bergerak dan petugas pintu ruang tunggu tidak mengizinkan saya masuk.
Oh tidak. Saya tidak mau ketinggalan kereta. Not again!
Sebersit ide melintas di benak saya. Ojek! Iya, ojek. Dengan harap-harap cemas saya akhirnya duduk di boncengan abang-abang tukang ojek dengan misi mulia mengejar kereta yang meninggalakan saya ke stasiun berikutnya, which is di kota lain, Kepanjen. Segenap doa-doa yang saya hafal terus saya bisikkan. Bukan do'a supaya tidak ketinggalan kereta tapi do'a supaya selamat dari kecelakaan. You know lah bagaimana kalau tukang ojek stasiun ngebut. Semua wangi parfum di badan saya hilang tertiup angin berganti dengan aroma tukang ojek. Rambut jingkrak menantang langit saya sudah tidak berbentuk lagi. Dan buruknya lagi, saya terlihat romantis dengan abang tukang ojek itu karena saya semakin erat memeluk pinggangnya. Saya tidak mau ambil resiko terlempar dari motor yang dikendarai dengan gila ini.
Akan tetapi, si abang ojek memang pahlawan saya hari ini. Dia berhasil membawa saya sampai di depan stasiun dan masih ada waktu 3 menit lagi sebelum kereta berangkat. Tapi lihatlah nasib saya. Saya harus membayar dia dengan mahal kan untuk misi mulia nan gagah berani ini. Total duit yang saya keluarkan untuk membayar ojek ditambah harga tiket sudah menyamai harga tiket untuk kelas eksekutif. Selamat datang di gerbong ekonomi deh.
Oh ya, gerbong kelas ekonomi itu artinya anda harus duduk berhadap-hadapan di kursi panjang yang masing-masing kursi diisi oleh 3 orang. So, di sepetak ruang kecil itu ada 6 orang yang duduk berhadap-hadapan. Kadang-kadang saling lirik kemudian melengos. Dan, gerbong ekonomi sekarang pakai AC loh. Tapi entah kenapa AC nya membuat saya nekat mencopot kemeja sehingga yang tersisa hanya tank top sexy saja. Nggak boleh protes lah. Namanya juga AC kelas ekonomi.
Sampai di rumah nanti, kira-kira beginilah dialog yang akan terjadi;
"How was your trip?
"Owh, it so much fun! I enjoyed it!
Bohong banget kan? Mana berani saya cerita runutan sebenarnya. Bisa habis saya diceramahin tentang keteraturan, planning dan menghargai waktu. Dan itu bisa jadi bahan ceramah di kali lain ketika saya tidak sengaja melakukan kecerobohan lagi. Enggak lah, ini yang terakhir kok.