Saya memutuskan untuk mulia menulis lagi catatan-catatan kecil
kehidupan saya menjadi mahasiswa di Yogyakarta Hadiningrat ini. Berhubung ini
adalah menjelang masa akhir kuliah saya, saya akan menamakannya catatan akhir
kuliah. Sebenarnya, catatan ini juga
adalah kebutuhan otak saya untuk refreshing dari menulis tesis yang saya
inginkan rampung dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ini. Begitulah.
Salah
satu perkuliahan yang sangat berbekas di ingatan saya dua semester lalu adalah perkuliahan Strategic Planning for Campus yang
diampu oleh professor favorit saya. Profesor yang sudah sepuh ini fisiknya saja
yang kelihatan sepuh tapi jiwanya masih muda. Kalau anda melihat gadgetnya maka
mulai dari handphone, tablet dan laptopnya maka logo kinclong dari apel kecokot
akan langsung nampak. Well, saya tidak sedang melabel bahwa muda itu identik
dengan gadget canggih, tapi pemilihan brand beliau mewakilkan semangat anak
muda; dinamis dan kreatif. Tapi, pada tulisan ini saya tidak sedang ingin
membahas profil beliau. Saya akan bercerita satu tugas sederhana yang beliau
berikan pada satu sessi perkuliahan kepada mahasiswa.
Pagi
itu beliau meminta mahasiswa menuliskan satu ide tentang pengembangan fasilitas
infrastruktur kampus untuk mendukung academic atmosphere. Mahasiswa bebas
menuangkan idenya dengan prinsip singkat; what, why, dan how. Saya sendiri
waktu itu menulis tentang bagaimana mengakomodir kebutuhan mahasiswa dengan
menyediakan student lounge dengan konsep kafe, juice booth, dan convenient store di sudut-sudut
strategis kampus. Semua berangkat dari pengalaman saya sendiri yang sangat
kesulitan untuk mendapatkan makanan yang 'benar' dan kopi yang enak plus tempat
yang nyaman untuk belajar dan bekerja di dalam kampus. Bayangkan kalau saya
mempunyai jadwal kuliah jam 8 pagi sampai jam 4 sore dengan banyak waktu break
diantaranya. Sangat tidak nyaman untuk keluar dari kampus hanya untuk sekedar
mengisi tumbler kopi saya di Lagani
atau harus menyeberang ke Pertamina Tower. Waktu yang saya habiskan untuk mengemasi
tas dan barang bawaan, turun ke parkiran, menstarter motor, melewati checking
di gerbang, terjebak macet, menunggu di coffee
shop, kembali lagi ke kampus, terjebak macet, mencari tempat yang pas,
membongkar barang dan mempersiapkan komputer, dan mulai kembali lagi menstarter
mood untuk kembali belajar atau
mengerjakan paper akan sangat banyak terbuang sia-sia. Dan tentu saja ada
hambatan tak terduga yang muncul dalam perjalan tersebut. Misalnya, anda
bertengkar dengan pengemudi yang menyebalkan di jalanan, ada makhluk bening
yang membuat anda harus berhenti dan menyapa dulu, kemudian disambung dengan
obrolan, atau mungkin kendaraan mogok di jalan.
Padahal bisa jadi ketika saya meninggalkan kampus untuk mendapatkan
secangkir kopi itu, saya sedang dalam puncak mood untuk mengalirkan ide-ide
saya ke dalam halaman-halaman iWork namun terputus karena kebutuhan perut atau
mata saya yang harus didoping dengan kopi.
Kalau
ada coffee booth di setiap sudut,
saya bisa dengan gampang mendapatkan kopi saya tanpa membuang banyak waktu
ataupun menurunkan mood kerja saya. Kalau ada juice booth, saya bisa
mendapatkan fresh juice yang sehat dengan kualitas yang dikontrol oleh kampu. Bayangan
saya, ada food & beverages commitee
di kampus yang mengontrol standar dari makanan yang disajikan. Atau kalau saja
kantin diseting dan dikelola dengan baik sehingga menjadi pilihan prioritas mahasiswa untuk
mendapatkan asupan nutrisi di kampus, mahasiswa akan semakin betah berkegiatan di
kampus. Atau, kalau tidak mau repot, kampus bisa menggandeng chain coffee shop, juice bar, fruit bar atau
milkbar yang tersebar di seantero
Jogjakarta Hadiningrat dan mendapatkan sharing
profit dari situ untuk menghindari keruwetan managemen dan resiko bisnis
yang besar. Atau kalau mau profit maksimal tapi menanggung resiko bisnis besar,
kampus bisa membuat manajemen sendiri untuk mengelola ini.
Kalau
anda mengunjunhi kafe-kafe keren atau coffee
shop hits di jogja, bisa dipastikan sebagian besar pengunjungnya adalalah mahsisiwa.
Maka, ini saja sudah menjadi celah pasar yang besar. Belum lagi mahasiswa
internasional yang diuntungkan oleh kurs mata uang mereka yang tidak keberatan
untuk menghabiskan sekian puluh euro di kafe-kafe dan restoran di Jogja hanya
karena alasan mereka butuh decent food,
makanan yang sehat dan higienitasnya terjamin. Harusnya ini dilihat sebagai
peluang oleh kampus sebagai usaha untuk menjaga kebutuhan nutrisi mahasiswa
sekaligus sebagai peluang untuk mendapatkan profit. Well, membangun generasi
itu kan tidak melulu aspek otak ya, tapi juga tubuh dan jiwa yang sehat juga.
Kalau mahasiswa sehat, kehidupan akademiknya tidak terhambat.