Jarum jam baru menunjukkan angka
9, tetapi hari sudah panas menyengat di
Jogja. Persawahan dan kebun tebu di belakang rumah saya hanya menyajikan warna
cokelat tanah retak dan rumput kering. Kemarau berkepanjangan membuat
tanah-tanah kering mencipta debu yang diterbangkan angin. Salah satu alasan
untuk malas beraktifitas di luar. Meja tulis saya yang menghadap dinding yang seluruh bagian atas dindingnya adalah
deretan empat jendela yang member saya akses pemandangan ke arah taman kecil
yang tanamannnya tetap bertahan hanya karena saya sering menyeprotnya langsung
dengan shower dari kamar mandi setiap
saya mandi pagi atau sore sangat nyaman untuk tempat mengerjakan tesis
sebenarnya. Saya tinggal membuka pintu di samping meja dan pemandangan ke teras
belakang yang penuh tanaman tersaji. Akan tetapi saya sedang tidak ingin berada
di rumah dan mengerjakan thesis di rumah
hari ini. Godaan untuk turun ke dapur memasak ini itu terlalu beresiko. Saya akan
pergi ke Lagani, kedai kopi favorit saya di Jogja.
Tetangga yang tinggal di
Apartemen di lantai bawah sana bertambah satu orang, pemuda Rumania berpostur
jangkung dan langsing, dan sangat tampan tetapi pacarnya, gadis Indonesia
ala-ala itu berbetis buesar, kebalikan dari cowok Rumania yang berpostur
langsing dan cool itu.. Sejak saya kembali dari Jakarta, mereka belum pernah
berpesta yang selalu membuat gaduh sampai pagi lagi. Tapi Keponakan saya yang
menginap di rumah ketika saya pergi ke Jakarta bercerita bahwa mereka pernah
membuat pesta yang sangat gaduh sehingga membuat keponakan saya tidak bisa
tidur sampai pagi. Dan tentu saja keponakan saya itu tidak berani menggedor
pintu mereka dan meminta mereka untuk tidak gaduh seperti yang biasa saya
lakukan.
Oke, saya tidak akan bercerita
tentang tetangga saya itu pada postingan ini. Saya akan bercerita tentang sebuah
sudut di Jogja yang menjadi tempat favorit saya untuk sekedar menyendiri dengan
bacaan, mengerjakan paper, bertemu
teman-teman, meeting point buat
bertemu teman baru dan sekarang tempat saya menulis tesis kalau saya ingin
suasana baru. Kalau saya tidak sempat ngopi
di rumah, saya juga datang ke sini untuk mengisi tumbler kopi saya dan
membawanya ke kampus. Saya juga berusaha untuk membawa teman yang datang dari
luar Jogja untuk menikmati secangkir kopi di sini. Kadang-kadang saya hanya datang sendiri tanpa
alasan-alasan tadi dan duduk sendiri di
kursi di balkon hanya untuk melihat orang yang lalu lalang di depan coffee shop,
profiling satu-satu pengunjung coffee shop yang kebanyakan adalah mahasiswa
asing baik yang sedang belajar di kampus-kampus di Jogja ataupun yang sedang belajar
bahasa Indonesia di sekolah bahasa yang bertebaran di area ini.
Lagani, nama coffee shop ini
begitu tenar di kalangan anak-anak muda Jogja terutama di kalangan komunitas
kreatif muda dan para pencinta kopi. Berjarak satu blok dari Lagani tempat saya
menulis ini, masih di jalan yang sama ke
arah barat anda akan mendapati Lagani yang lain, sebuah coffee shop masih dalam
payung manajemen yang sama. Bangunan kedua-duanya sama-sama menyatu dengan
distro dengan brand yang ekslusif, handicraft & fashion accessories shop
dan tentu saja semuanya produk Indonesia.
Dalam postingan ini saya akan bercerita tentang satu lagani dulu, lagani yang tidak hanya menyajikan kopi tapi juga makanan berat seperti pasta, pizza dan berbagai menu ayam, makanya namanya lebih dikenal dengan Pasta Lagani . Dan menu favorit saya adalah menu sarapan tentu saja. Saya selalu menyukai sarapan, it’s my favourite meal time. Dengan harga yang sangat murah, saya sudah bisa mendapatkan satu menu sarapan dengan pilihan salah satu racikan kopi; cappuccino, Americano atau Coffee au lait. Menurut pengamatan saya pengunjung biasanya datang untuk kopi dulu dan duduk berlama-lama sibuk di depan laptop atau membaca, atau seru mengobrol dengan teman-teman. Baru kemudian ketika mereka lapar, mereka memesan makanan berat. Sepertinya alasan utama datang ke sini adalah kopi dan ambience. Perpaduan berbagai macam ras, buku-buku tebal, aroma kopi, percakapan dengan berbagai bahasa yang sahut menyahut membuat saya betah berlama-lama di sini. Kalau anda adalah orang yang merasa bahwa a man with book is sexy, anda akan orgasm di sini.
Dalam postingan ini saya akan bercerita tentang satu lagani dulu, lagani yang tidak hanya menyajikan kopi tapi juga makanan berat seperti pasta, pizza dan berbagai menu ayam, makanya namanya lebih dikenal dengan Pasta Lagani . Dan menu favorit saya adalah menu sarapan tentu saja. Saya selalu menyukai sarapan, it’s my favourite meal time. Dengan harga yang sangat murah, saya sudah bisa mendapatkan satu menu sarapan dengan pilihan salah satu racikan kopi; cappuccino, Americano atau Coffee au lait. Menurut pengamatan saya pengunjung biasanya datang untuk kopi dulu dan duduk berlama-lama sibuk di depan laptop atau membaca, atau seru mengobrol dengan teman-teman. Baru kemudian ketika mereka lapar, mereka memesan makanan berat. Sepertinya alasan utama datang ke sini adalah kopi dan ambience. Perpaduan berbagai macam ras, buku-buku tebal, aroma kopi, percakapan dengan berbagai bahasa yang sahut menyahut membuat saya betah berlama-lama di sini. Kalau anda adalah orang yang merasa bahwa a man with book is sexy, anda akan orgasm di sini.
Pertama kali menemukan bangunan coffee
shop ini saya langsung suka. Kursi-kursi berwarna hijau mengelilingi meja putih bundar di teras depan yang terbuat
dari kayu yang tidak dicat menggoda saya untuk mampir. Vas bunga yang terbuat dari botol bening di atas tiap
meja memberikan efek manis. Untuk sampai ke coffee
shop, anda harus melewati tangga kayu yang akan membawa anda ke teras
lantai dua. Begitu saya membuka pintu
kaca geser, saya langsung mendapati sebuah meja bar dari kayu bercat biru yang
terkesan rustic di samping pintu . Salah
satu dining dicat putih seperti hanya dikapur dengan bata yang tidak diplester
dengan gambar tangan biji-biji kopi, rempah yang diselang-selingi dengn
kata-kata positif. Sebelah didnding yang
lain dibuat dari jendela-jendela bekas dengan cat biru, putih dan tanpa kayu
memberikan kesan retro sekaligus rusty. Ada beberapa mural yang mencolok di
tembok rungan yang lain yang dipisahkan
oleh ruangan dengan sekat kayu dan kaca dengan pintu kaca. Rungan ini hanya
diisi oleh satu meja panjang dengan delapan kursi dengan karpet yang mengalasi
lantai. Mirip dengan sebuah dining room
di rumah sendiri.
Sementara di ruangan besar
berbentuk huruf L tempat bar berada terdapat sebuah tembok dengan lemari kayu berkaca yang menempel di
sepanjang sisi tembok. Lemari tersebut
diisi oleh barang-barang dari masa lampau seperti kamera LSR manual antik,
mesin ketik tua, permainan-permain kartu lama, radio tua dan barang-barang
lawas lainnya. Ada sebuah pemutar piringanhitam di atas meja. Desain meja-meja di dalam ruangan in itidak
seragam. Kursi-kursi yang mengelilingi meja di setiap ujung ruangan berbentuk
peti kayu yang tidak dicat dengan sofa di sebelah yang lain. Meja lainnya
adalah meja kayu seperti meja tua di rumah kakek di desa. Lantainya pun terbuat
dari tegel kayu berwarna cokelat dan krem.
Memasuki pintu kaca itu setiap
berkunjung ke sini, saya selalu mendapatkan sapaan hangat barista yang berada
di meja bar di belakang mesin kopi.
“Sendirian aja Mas?
“Habis dari mana Mas?
“Cappucinno panas ya?
“Rapi banget Mas? Ngedate ya?
“Temannya yang kemarin mana Mas?.
Katanya sambil tersenyum.
Nah, kalau dua pertanyaan
terakhir ini sudah menjurus kea rah kepo deh. Mungkin mereka kepo karena saya
selalu membawa teman baru dengan perwakilan etnis dari berbagai belahan dunia
ke sini dan mengobrol berjam-jam dengan
pesanan kopi berulang-ulang. Bisa jadi mereka mengira-ngira, apa hubungan saya
dengan orang-orang tersebut. Bisa jadi.
Dengan kopi yang digiling
langsung dari biji kopi di situ, sajian kopi yang anda dapatkan benar-benar
fresh from the bean. Masalah rasa, mereka sudah terbukti dengan beberapa kali
memenangkan kompetisi barista tingkat nasional yang memilih peracik kopi
terenak dari seluruh pelosok nusantara. Kopi yang enak, barista yang ramah
berpadu dengan suasana yang homey
membuat pelanggan selalu kembali. Mereka benar-benar memberikan personal touch
dalam menyajikan kopi.
Jogja adalah syurga bagi para
pencinta kopi. memang kota ini tidak mempunyai perkebunan kopi, tapi berbagai
jenis kopi nusantara maupun belahan dunia lain bermuara dalam cangkir-cangkir
kopi hasil racikan para barista andal dapat anda nikmati di ratusan coffee shop yang bertebaran di kota ini.
Buat saya, kalau anda menginginkan kopi enak, lupakanlah kedai kopi jaringan
internasional maupun nasional itu. Cobalah untuk memasuki kedai kopi di yang
bertebaran di antara pemukiman, di dekat kampus atau di area food street seperti Prawirotaman atau
Tirtodipuran. Berkaitan dengan kopi dan kafe, satu hal yang membuat Jogjakarta
sangat berbeda dengan kota lain adalah
anda akan menemukan coffee shop ketika berjalan-jalan di mana saja, coffee shop
tidak melulu berdiri di business area
atau eating street. You’ll find your favourite coffee shop in a
simple neighbourhood. Dan kebanyakan dari coffee shop ini bukan tempat nongkrong massal. Sepertinya, pencinta
kopi mempunyai kedai kopi favorit masing-masing, dan kedai kopi favorit saya
adalah Lagani ini. Ini bukan sekedar kopi yang enak, tapi juga ambience dan
sedikit flirting. Lihatlah senyum di
meja seberang sana. Itu saja sudah cukup menjadi oase buat panasnya Jogja hari
ini.