Abad Asia 2050 dan ASEAN Single Community 2015 akan membawa pola hubungan negara di wilayah ASEAN ke dalam hubungan yang sama sekali baru. Bukan hanya negara-negara di wilayah ASEAN sebenarnya, tetapi juga wilayah di sekitar regional ini seperti Australia dan Selandia Baru. Pada tahun 2013, Australia bahkan sudah menerbitkan white paper yaitu sebuah naskah yang berisi strategi Australia dalam menyambut tantangan abad Asia 2050. Dalam dokukmen tersebut, Australia benar-benar menempatkan ASEAN sebagai partner kerjasama regional yang penting. Hal ini bisa dimaklumi. Walaupun secara geografis Australia berada di dalam kelompok negara-negara Melanesia, tetapi dalam percaturan ekonomi, Australia lebih dekat dengan negara-negara ASEAN.
White
paper tersebut diturunkan ke dalam
dokumen lain yang tidak kalah menarik
buat saya; Indonesia; Country Strategy. Dokumen
ini berisi tentang strategi dalam
hubungan kerjasama dengan Indonesia.
“Each strategy outlines a vision of where
Australia’s relationship with the country should be in 2025 and how we, the
Australian Community, intend to get there (Indonesia Country Strategy: 2013)
Dalam
bidang pendidikan, salah satu strategi Australia
dalam menghadapi tantangan tersebut adalah dengan menjadikan Bahasa Indonesia diajarkan
sejak sekolah menengah. Dan tentu saja bukan rahasia apabila banyak
universitas-universitas yang menawarkan program Studi Indonesia dan mendirikan research centre yang fokus mengkaji
wilayah ASEAN dan juga Indonesia secara khusus. Kita mungkin juga familiar
dengan program ACISIS yang mengirimkan mahasiswa-mahasiwa Australia untuk
belajar tentang Indonesia langsung di
perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia secara langsung, lengkap
dengan program-program lapangan dan research
project yang langsung bersentuhan dengan masyarakat Indonesia. Bukan hanya
Australia, sebenarnya mata negara-negara di dunia tengah tertuju kepada negara-negara
Asia. Semua mata tertuju padamu. All eyes
are on you.
Kota
tempat saya berada saat ini pun, Yogyakarta, diramaikan oleh mahasiswa asing
yang hanya khusus datang untuk belajar bahasa Indonesia, maupun belajar tentang
politik dan pemerintahan di Indonesia. Bahkan, di Fakultas Bisnis kampus tempat
saya kuliah, setiap semester selalu ada sekitar 50 orang mahasiswa yang datang
untuk belajar di sekolah bisnis untuk
satu semester maupun lebih. Tujuan mereka
bermacam-macam. Mahasiswa dari Cina dan Korea yang biasanya banyak datang
melalui program beasiswa Darmasiswa mungkin pemerintah mereka antusias
mengirimkan mereka untuk belajar di Indonesia karena Indonesia adalah pasar
yang besar untuk produk-produk mereka. Belajar langsung di negara yang menjadi
pasar produk mereka tentu saja akan membuat mereka lebih mengenali dinamika
pasar dari dekat. Sebuah aset masa depan.
Seorang
teman dari Taiwan yang kuliah di Sekolah Bisnis di Beijing mengatakan dia
dimotivasi oleh Bapaknya untuk datang belajar bahasa Indonesia di Yogtakarta
untuk mempersiapkan kemungkinan ekspnasi bisnis IT keluarga mereka di
Indonesia. Setelah dua semester di Yogyakarta,
teman Hongkong saya tersebut sudah memulai usahanya sendiri di Bidang
Tour & Travel yang memfasilitasi para turis China datang ke Indonesia. Seorang
teman yang lain lagi, mahasiswa master di Paul
H. Nietze School of Advanced
Internatioanal Studies, The John Hopkins University yang fokus belajar
tentang keuangan internasional dan juga keuangan di Asia datang dua kali ke
Indonesia. Yang pertama, dia datang khusus untuk belajar Bahasa Indonesia di
Yogyakarta, yang kedua datang ke Jakarta untuk magang di perusahaan Malaysia
yang beroperasi di Indonesia. Seorang teman yang lain lagi, berkewarganegaraan
Portugal dan Brazil juga datang untuk belajar di sekolah bisnis di kampus saya
selama satu semester, untuk mengenali atmosfir bisnis di Asia katanya. Bahkan dia
berkongsi menulis paper tentang currency dalam
ASEAN Single Community dengan seorang dosen muda di Fakultasnya. Itu akan
menjadi nilai plus buat dia ketika terjun ke dunia kerja di Portugal sana, dia
berwawasan “asia” dan siap membuat strategi bisnis perusahaan untuk pasar Asia,
misalnya.
Percakapan
dengan seorang teman Jerman lebih menarik lagi. Kami sedang berbincang tentang
dinamika ASEAN Single Community sambil menikmati makan siang di kantin.Kami
bercakap dalam bahasa Indonesia yang sangat formal, sesuai dengan KBBI, karena
itulah standar bahasa yang diajarkan di sekolah bahasa tempat dia belajar di
kota ini. Dia juga mengikuti perkuliahan di FISIP kampus saya. Ketika pembicaraan menyentuh tentang Filipina,
dia tidak punya banyak wawasan tentang negara tersebut. menurut dia, pemerintah
mereka mungkin tidak menganggap negara tersebut “penting” dalam kerjasama
internasional Jerman. Sebaliknya, Indonesia menurut dia adalah sebuah negara
partner yang sangat penting.
Fenomena mobilisasi mahasiswa internasional ke
negara kita tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa demand untuk pendidikan tinggi di Indonesia sangat besar. Hal tersebut
kemudian membawa saya kepada pertanyaan, sudah sejauh mana langkah yang
dilakukan oleh Indonesia sebagai negara dalam merespon demand tersebut? Dalam hal visa misalnya, informasi yang menyelurus
tentang pendidikan tinggi di Indonesia misalnya, dan hal-hal lainnya yang memudahkan
mahasiswa tersebut untuk hidup di Indonesia, ataupun menarik mahasiswa lain di
luar sana untuk datang dan belajar di Indonesia. Namun, dari hasil observasi
dan wawancara yang dilakukan, belum ditemukan sebuah sistem terpadu yang
memudahkan mobilisasi mahasiswa internasional ke Indonesia seperti website yang
langsung mengarahkan mahasiswa internasional untuk mengetahui pendidikan tinggi
yang ditawarkan oleh Indonesia.
Berdasarkan pengamatan saya terhadap
teman-teman mahasiswa Internasional di sini, mereka sangat antusias untuk
belajar di Indonesia walaupun dengan segala keribetannya. Mahasiswa dari
belahan bumi lain tentu saja senang berada di negara tropis dengan nilai tukar
mata uang yang lebih redah dengan mata uang mereka. Siapa sih yang nggak senang
bisa kabur ke Bunaken untuk menyelam di akhir pekan. Siapa sih yang tidak
senang menjelajah NTT yang eksotis itu di waktu kosong perkuliahan. Malahan,
ada seorang teman mahasiswa asing lagi yang practically
dia tinggal di Gili Terawangan dan
pantai-pantai di Lombok sana dan hanya terbang ke Jogja untuk mengikuti
perkuliahan yang hanya dua hari. Ada low
cost carrier ini! Belum lagi gunung-gunung yang menantang untuk didaki ada
di mana-mana di negara kita ini. Dengan semua potensi keindahan alam tersebut,
seharusnya bisa menjadi bahan marketing yang aduhai untuk menarik pemuda-pemuda
benua sebelah tersebut berbondong-bondong belajar ke Indonesia. Belajar sambil menikmati alam tropis dan
budaya yang eksotik!
Berbeda dengan Malaysia yang benar-benar
melihat kesempatan “semua-mata-tertuju-padamu” itu dengan membuat portal
informasi yang menawarkan mahasiswa internasional untuk belajar di Malaysia
melalui www.studymalaysia.com,
educationmalaysia.gov.my atau pemerintah Belanda yang mempunyai www.nuffic.nl. www.studyinholland.nl , bahkan sebuah
institusi lengkap dengan website yang khusus untuk segmen pasar calon mahasiswa
dari Indonesia di www. nesoindonesia.or.id. Sementara itu, negara tetangga di
Pasifik juga gencar mentargetkan Indonesia sebagai pasar pagi pendidikan tinggi
mereka (Autralian White Book: 2013).
Bagaimana dengan di level institusi Perguruan
Tinggi? Seharusnya dengan semua sumber daya yang dimiliki, hal tersebut bisa
dilakukan. Apalagi untuk perguruan tinggi yang berstatus otonom (PTNBH) yang
mempunyai kewenangan memutuskan segala hal tanpa melibatkan pemerintah. Kewenangan
yang dimiliki melalui otonomi perguruan tinggi seharusnya cukup untuk melakukan
hal tersebut. Salah satu tujuan otonomi tersebut untuk membuat pengambilan
keputusan menjadi cepat dan mudah bukan?
Dalam
pola system thinking kasus ini bisa
diklasifikasikan sebagai growth and under
investment. Kondisi ini terjadi dimana sebenarnya sebuah institusi bisa
mencapai target tertentu, sementara pengambil kebijakan (biasanya pemimpin)
menunda mengambil keputusan besar yang drastis dan nyaman dengan keadaan biasa
saja. Penundaan (delay) pengambilan
keputusan tersebut tidak kelihatan dampaknya sekarang , tetapi dalam jangka
panjang biasanya akan muncul sebuah akumulasi efek yang tidak menguntungkan institusi.
Kasus
ini juga sama dengan kondisi Indonesia yang tengah menikmati bonus demografi
dimana komposisi usia produktif populasi penduduk Indonesia lebih tinggi
daripada populasi usia non-produktif. Kondisi ini hanya berlangsung sementara,
yaitu sampai tahun 2020. Investasi kebijakan yang harus dilakukan oleh
pemerintah atau siapa pun yang mempunyai kepentingan dengan fakta ini tentunya
harus diambil saat ini. Dalam kasus investasi pendidikan yang hasilnya baru
akan terlihat dalam jangka panjang, apabila kebijakan pendidikan di level
negara, ataupun strategi organisasi di tingkat perguruan tinggi tidak diambil
saat ini (seharusnya sudah dari beberapa tahun sebelumnya), menunggu lebih lama
lagi tentu akan terlambat.
*Di sela-sela mengetik thesis, Bulaksumur, 8
April 2015.