Dengan kantuk yang hamper tidak tertahankan aku terus memacu si Risma menyusuri jalanan kota malang yang entah kenapa sekarang sepi. Padahal malam minggu kemarin aku sempat bête berat karena macet yang mengular naga. Padahal Malang hanya lah kota kecil. Tapi jumlah mahasiswa yang semakin tahun semakin menyesak membuatnya padat oleh kendaraan bermotor. Datang mahasiswa baru, mahasiswa lama nggak lulus-lulus. Ternyata, biaya pendidikan yang semakin melangit tidak mengurangi minat untuk menyandang status mahasiswa.
Udara dingin yang akhir-akhir ini memuatku malas untuk keluar rumah stelah maghrib semakin menusuk. Lapisan kaus, hem, sweater plus jaket yang membalut tebal tubuhku tak mampu menahan lesakan dingin malam ini. Mungkin itu pulalah yang membua jalanan sepi malam ini. Padahal jarum jam belum juga beranjak dari angk a Sembilan. Penduduk kota lebih memilih untuk bercengkerama di dalam rumah yang hangat sambil menikmati secangkir STMJ barangkali.
Tujuanku jelas. I have to be in a coffee shop or café or whatever you name it. A cup of hot cappuccino will warmer me. Melewati pertigaan Dinoyo, tanpa sengaja mataku tertumbuk pada satu sosok yang sedang berjalan menyusuri pinggiran jalan yang tidak bertrotoar. Kota yang aneh, jalan utama tidak memiliki trotoar. Menjadi pejalan kaki di kota ini berarti membiarkan jantung memompa darah lebih cepat karena ketegangan yang tercipta dari kendaraan yang menyesaki jalan yang siap-siap akan "mencolek" pejalan kaki kalau tidak ekstra awas.
Sosok itu sepertinya familiar. Aku pernah melihatnya, tapi dimana?? Yup, bibir yang selalu tersenyum itu.
I got it!!! Iya, aku ingat!!! Ibu itu adalah ibu yang malam-malam membunyikan bel rumah kami ketika aku sedang asyik menulis di kamar. Aku sudah cuci muka dan bersiap-siap untuk menarik selimut sehingga aku tidak segera turun untuk membukakan pintu. Ku buka jendela kamarku yang langsung menghadap jalan dan setengah berteriak.
"siapa?
"Turun dulu Mas, saya mau bicara!
Penasaran aku turun membuka pintu dan mendapati seorang perempuan paru baya berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Tangannya menenteng sebuah tas plastic merah yang isinya masih penuh.
"Ada apa Bu?
"ini Mas, saya mau menawarkan ini, keripik kentang" katanya seraya menyodorkan tiga bungkus keripik kentang ke arahku.
"Mas yang satunya biasanya beli" katanya menambahkan.
"oh, dia lagi ke Surabaya Bu"
"Mas nya nggak mau?
"enggak Bu, makasih" jawabku karena emang aku tidak berniat untuk nyamil. Aku sudah cuci muka dan sikat gigi dan bersiap untuk tidur. Lagipula isi dompet pas-pasan, akhir bulan.
"enak loh Mas, Cuma 10 ribu tiga koq" katanya sambil tetap tersenyum.
"Makasih Bu, enggak" tolakku lagi sambil memasang senyum lima jari andalanku.
Sejujurnya batinku bergolak, aku ingin membelinya karena melihat kegigihan ibu itu menawarkan dagangannya. Apalagi malam-malam begini berjalan kaki menawarkan keripik door to door ala salesman. Apalgi dia seorang ibu. Tentu beban berat yang ditanggungnya sehingga membuatnya rela dari pintu-ke pintu menawarkan dagangan di malam yang dingin. Aku paling tidak tega terhadap perempuan.
"Mas mungkin mau menolong saya, saya sudah muter-muter jauh Mas tapi baru sedikit yang laku kaki saya sudah pegal Mas" katanya keukeuh.
Aku makin tidak tega. Tapi aku juga tidak memutuskan untuk membeli dagangannya. Betul-betul mental enterpreuner.
Aku tidak tahu harus ngomong apa lagi. Karena seharusnya aku memang tidak ada alasan untuk menolak membeli dagangan ibu ini. Tapi aku juga tetap tidak memutuskan untuk membeli barang sebiji. Aku malu dengan kegigihan ibu itu dan keputusanku untuk tidak membeli.
"Nggak Mas ya? Senyum tetap terpancar dari raut mukanya. Tapi kali ini bernada kecewa.
"Nggak Bu,makasih"
"Ya udah Mas, terima kasih ya" katanya sambil berbalik meninggalkan raut senyum kecewa yang terus terbayang ketika aku kembali ke kamar. Lama aku merenung kembali, menyesali diri kenapa aku tidak membeli dagangan ibu tadi. Mungkin kalau aku beli, itu sudah sangat berarti besar bagi dia. Aku tahu ia sudah berjalan jauh. Kemudian pikiranku melayang kepada Bundaku di rumah. Bagaiman kalau fragmen tadi beliau yang melakoninya?
***
Mataku masih menangkap kilas senyum yang tetap menghiasi bibirnya. Iya, benar, ibu itu. Di malam dingin begini dia masih berjalan menenteng dagangannya hanya memakai baju dan celana selutut seperti yang kulihat ketika dia membunyikan bel rumahku.
Dengan cepat aku memutar arah berlawanan dengan café yang kutuju. Mengambil jalan ke arah kampus. Aku masih bisa memanfaatkan fasilitas wifi gratis di kampus. Ibu itu berjalan sedemikian jauh hanya untuk sekian puluh ribu. Sementara aku hamper saja menukar jumlah yang sama dengan secangkir kopi yang bisa ku buat sendiri dan secuil broadband internet yang jumlah lebih besar bisa kudapatkan gratis.
Tidak untuk kali ini!
Teriring doa untuk Ibu penjual keripik yang perkasa; semoga engkau menjadi pengusaha keripik yang besar! Kalau kau datang membuyikan bel rumahku lagi, aku akan langsung beliJ