Pelan-pelan saya mengunyah banana
pancake di mulut saya. Menu ini selalu menjadi pilihan menu utama saya ketika
sedang berada di Bali. Bahkan kali ini saya mencombo banana pancake dengan scramble
eggs, toast, fruit salad plus coffee au lait. Kalau saja abang saya,
Christian saat ini ada di sini pasti dia sudah ngedumel sambil meledek porsi
makanan saya. Dia pasti akan menggenggam pergelangan tangan saya sambil bilang
‘ you eat so much, but it doesn’t influence your body at all. Where do all these
food go?”. Biasanya saya akan tersenyum lebar sambil terus menyantap
makanan saya dengan lahap.
Sesekali saya menyelingi suapan pancake saya dengan coffee au lait yang kata abang saya
menjadi lait au coffee karena saya
mencanpur susu terlalu banyak. Saya sangat
betah berlama-lama di restoran ini. Selain harganya yang sangat terjangkau,
hobi iseng saya terakomodir di sini. Ada banyak hal yang bisa saya komentari
dari ramainya orang yang lalu-lalang di jalan kecil di depan restoran. Kadang saya tersenyum, kadang kening saya berkerut
karena berpikir dan kadang saya miris dengan apa yang saya lihat. Selain orang
yang berlalu lalang, tidak ada perubahan yang berarti di jalan sempit tempat
restoran favorit (karena murah dan enak) saya ini berada. Selama hampir lima
tahun saya duduk di tempat ini paling tidak dua kali setahun. Dan dalam 4 bulan
ini melonjak menjadi sepuluh kali.
Toko-toko dan kios penjual
souvenir di depan dan samping restoran masih sama seperti minggu lalu sebelum
saya balik ke Malang dan kembali lagi ke sini, bulan lalu, dua bulan yang lalu,
7 bulan yang lalu dan 4 tahun yang lalu. Gadis-gadi yang menawarkan jasa pijat
juga masih sama meneriakkan “Hello, massage please!” yang terkadang lesu. Kelesuan
yang tercipta karena low session
karena wisatawan tidak membludak seperti biasanya, yang artinya mereka harus
berjuang lebih keras untuk menggaet pelanggan.
Memperhatikan semua itu membawa
pikiran saya pada satu pertanyaan. Apakah mereka tidak bosan menjalani
rutinitas yang itu-itu saja selama bertahun-tahun? Well, mungkin tidak itu-itu
saja karena saya tidak tahu apa yang mereka lakukan di rumah mereka. Dari pandangan
nanar gadis-gadis pemijat kepada wisatawan yang keluar masuk toko dan restoran,
otak sok tahu saya bia menangkap sebenarnya mereka bosan dan ingin menikmati
suasana berlibur seperti mereka dan juga saya. atau juga memimpikan bisa
bertukar posisi dengan para wisatawan itu. Mereka menjadi wisatawan dan
bule-bule itu menjadi penjaja jasa pijat seperti mereka.
Saya percaya bahwa sebenarnya
semua orang mempunyai mimpi yang tinggi dan ideal untuk dirinya masing-masing. Buktinya,
coba tanyakan kepada anak-anak TK atau keponakan anda yang sedang lucu-lucunya.
Pasti mereka semua mempunyai cita-cita. Dan saya yakin kita semua pernah di
sana, bergembira dengan cita-cita tinggi kita yang sepertinya akan mudah saja
diraih. Itu sebelum terkontaminasi oleh pengaruh pesimisme terhadap realitas
hidup dan prejudice orang-orang dewasa di lingkungan sekitar kita.
Cita-cita kita pelan-pelan
terkubur karen akita diberitahu bahwa tidak semua yang kita inginkan akan
tercapai. Kita diingatkan untuk tidak bercita-cita ‘terlalu tinggi’ karena akan
menyiksa diri kita sendiri. Kita disuruh untuk melihat si Budi anak tetangga
sebelah yang pernah bercita-cita tinggi
tapi sekarang stress karena cita-citanya tidak tercapai. Akan tetapi
kita tidak disuruh untuk menengok si Iwan anak tetangga sebelahnya lagi yang
sukses mampus dan berbahagia karena konsisten mengejar cita-citanya.
Lama-kelamaan cita-cita itu
terkubur semakin dalam karena kita takut dengan konsisten mengejar cita-cita
kita akan menyakiti orang-orang yang kit acintai; keluarga, sahabat, ataupun
kekasih yang hatinya terpaut dengan hati anda. Padahal seharusnya cinta adalah energi.
Kalau saya, saya yakin bahwa orang-orang yang saya cintai akan bahagia melihat
saya bahagia karena saya menggapai mimpi-mimpi saya.
Paulo Coelho dalam novel
fenomenalnya, Alchemist, menggambarkan dengan indah bahwa semua orang mempunyai
keinginan yang disebut “personal calling”. Personal Calling adalah cita-cita
atau keinginan setiap manusia seperti yang saya ceritakan tadi. Orang yang
setia mendengar personal calling-nya akan menggapai personal legend; kejayaan
dan kebahagiaan. They live happily because
they live their life to the fullest”. Since they did all their best to achieve
what they really want, they have nothing to regret.
Ada banyak orang yang mengubur
personal callingnya dan berpikir bahwa penerus keturunannya bisa merealisasikan
mimpi itu. Maka muncul lah orang tua yang memaksa anaknya masuk sekolah
tertentu dan kuliah di jurusan tertentu untuk menggapai mimpi itu. Padahal anak-anak
mereka bukan robot, mereka mempunyai personal callingnya masing-masing. You can put them in the best school in the
town, but they have their own toys and interest.
Tugas orang tua adalah member masukan
dan pertimbangan atas pilihan anak dan mensupport si anak jika apa yang di
aimpikan memang hal yang positif. Jangan
sampai unrealized willing anda dibebankan
kepada orang lain. Realisasikan sekarang selagi anda masih bisa. mumpung anda
masih punya energy dan polusi pesimisme belum mencemari karena bisingnya
suara-suara prejudice di sekeliling anda. Listen your heart, follow your
personal calling!
Senada dengan “the Secret”,
Melalui Achemist, Paulo Coelho juga mengatakan “ when you really want
something, all the universe conspires in helping you to achieve it”.
Kopi di cangkir saya sdah habis. Banana
pancake sudah tandas. Gadis-gadis pemijat masih berteriak “Hello massage”. Saya
semakin yakin untuk mengikuti personal calling saya. Saya tidak ingin ketika
saya tua nanti, saya mengutuk hidup saya karena berhenti berusaha
merealisasikan “personal calling” saya.
PS:
Maaf, saya jadi terkesan menggurui. Mungkin karena efek kebanyakan
makan banana pancakeJ
Bali, 20 November 2011