Thursday, August 2, 2012

Kisah Masa Kecil# Pohon Jambu, Bisnis, Karet Gelang dan Gundu


Kata bisnis menjadi salah satu trending word saat ini. Ada sekolah bisnis, bisnis online, kompetisi bisnis, pelatihan bisnis. Orang tua ingin anaknya terbiasa sejak dini. Anak-anak muda berlomba-lomba memulai bisnis sendiri. Bisnis orang-orang muda yang berhasil banyak menghiasi profil majalah majalah bergenre ekonomi. Begitu juga acara-acara TV. Singkatnya bisnis tidak lagi menjadi kata elit yang berhubungan dengan kaum berdasi seperti saat sebelum krisis melanda pada era 98. Menurut ilmu sosiolinguistik sih, kalau salah satu kata menjadi trending topik, itu artinya hal yang berkaitan dengan kata tersebut memegang peranan penting dalam sebuah masyarakat. Pokoknya, bisnis itu penting banget.


Saya sedang tidak menulis tentang panduan how to membangun bisnis ataupun meraup untung seperti yang banyak menjadi trend buku di toko-toko buku. Saya ingin bercerita tentang bagaimana bisnis dalam masa kecil dulu. Saya teringat bagaimana orang tua mendidik saya karena dalam salah satu sesi Workshop, coach bisnis saya menyampaikan kalau salah satu kunci sukses dalam berbisnis adalah 'mental skill'. Dan itu bawaan didikan sejak kecil, pengaruh lingkungan dan benturan keadaan. 


Ibu saya mempunyai rumah dengan halaman yang luas. Sejak kecil, kami anak-anaknya mempunyai bagian masing-masing atas pohon buah-buahan di halaman yang lebih menyerupai hutan saking rimbunnya. Selain anaka jenis rumpun pisang, pohon kelapa, belasan batang nangka, kami mempunyai cukup banyak pohon jambu. Nah, masing-masing saya, kakak dan abang saya mempunyai satu pohon jambu andalan yang kami jaga layaknya harta yang berharga. Kalau salah satu di antara kami memetik jambu tanpa seizin empunya, bisa dipastikan perang besar akan terjadi. 


Pada suatu musim jambu, pohon jambu milik saya dan kakak perempuan saya tidak berbuah lebat selebat pohon jambu milik abang kami yang berpohon kokoh berdampingan dengan pohon nangka di belakang rumah. Buah-buahnya yang montok dan ranum tentu saja mengundang anak-anak nakal untuk mencicipi tanpa izin. 


Abang saya pun memperketat penjagaan terhadap pohon jambunya. Akan tetapi Ia tidak bisa stand bye sepanjang hari menjaga pohon jambunya. Maka, sekuriti untuk membantu penjagaan perlu direkrut. Setelah lowongan domestik terbatas dibuka, maka kakak perempuan saya lolos fit and properti test untuk menjadi sekuriti menjaga aset bisnis abang saya. Dan tahukah Anda berapa gajinya? Gajinya sangat menggiurkan, 3 buah jambu per hari. Hahaha ha! Padahal kalau kami mau, kami Bisa mendapatkan jambu berkepanjangan-keranjang dari kebun kami yang lain atau dari pohon jambu liar yang memenuhi bukit di pinggir desa. Akan tetapi, saya menganggap itu adalah kemampuan abang kecil saya untuk memimpin karyawan. Oh ya, waktu itu abang dan kakak saya masih SD dan saya belum bersekolah.


Ketika ada pohon pisang yang menunjukkan tanda-tanda siap dipanen, kami biasanya membagi rata. Buahnya diolah sesuai kehendak masing-masing. Kakak perempuan saya bersaing dengan abang saya membuat pisang goreng dengan tangan mereka sendiri dan menjualnya dari rumah ke rumah. Sore hari, uang penjualan dihitung dan dimasukkan ke dalam celengan tanah. 


Saya juga, walaupun belum mulai berjualan mempunyai celengan tanah. Akan tetapi umurnya tidak pernah lama karena saya selalu mengoreknya untuk jajan. Kadang saya membuat skenario yang membuat celengan itu jatuh dan pecah dengan alasan yang sangat-sangat tidak profesional; jatuh disenggol kucing! 


Ketika, saya mulai masuk SD, saya tidak sabar untuk memulai berjualan juga. Maka, saya membawa permen dalam toples untuk dijual kepada teman-teman sekolah. Dagangan saya cepat habis! Tapi bukan karena banyak yang beli. Saya sendiri yang keseringan memasukkannya permen-permen itu ke mulut!


Semasa SD, dagangan saya bermacam-macam. Ketika semua murid dilatih untuk menulis tegak bersambung, saya berjualan buku halus (nama buku tulis untuk latihan menulis indah). Hal yang paling saya suka adalah ketika musim bermain karet gelang dan gundu melanda desa. Itu adalah saatnya saya jualan karet gelang dan gundu. Saya pun pergi ke kota untuk beli karet gelang dan gundu. Seringnya sih titip ke ibu. Kemudian, karet gelang itu saya kemas dalam satu rangkaian berisi 10 karet gelang. Namanya anak desa, uang jajan bukan hal yang lumrah. Maka, transaksi pun menggunakan sistem barter berupa biji kemiri atau bawang putih. 10 biji kemiri biasanya ditukar dengan 1 rangkaian karet gelang atau satu buah gundu. Ketika dagangan saya habis, terkumpul lah satu karung kecil kemiri. Kemiri itu saya jual kepada pengepul. Senangnya ketika lembaran-lembaran uang itu saya pegang. Musim bermain ketapel, saya berjualan karet ketapel. 


Memasuki bangku SMP, saya jarang berdagang. Akan tetapi celengan saya terus bertambah dari hasil berjualan ayam. Iya, saya beternak ayam kampung yang dagingnya tidak pernah saya nikmati sendiri karena saya tidak tega melihat mereka disembelih. Kalaupun disembelih, saya akan pergi jauh dari rumah agar tidak melihat ayam-ayam kesayangan saya disembelih dan dipotong-potong. Pada saat SMP saya lebih banyak mengurus ternak sapi saya yang ternyata beranak pinak. Iya, saya adalah anak gembala kecil sejak masih SD. Ternak-ternak inilah yang terus mengisi celengan saya yang sudah bertransformasi menjadi rekening bank. Karena saya mempunyai tabungan sendiri, barang-barang saya selalu lebih keren dari siapapun di satu sekolah waktu itu. Hobi jual-jual itu berlanjut sampai saya sekolah di Boarding School. 



Mengingat kisah masa kecil itu, saya sangat kagum terhadap cara ibu saya mendidik kami bertiga. Beliau sangat mampu sebenarnya memenuhi kebutuhan kami bertiga. Toh, selama itu kami tidak pernah kekurangan. Beliau rupanya ingin mendidik kami menghargai uang, bagaimana merasakan manisnya uang hasil keringat sendiri. Beliu sendiri berbisnis berbagai macam jenis usaha walaupun hanya sampingan. Sampingan dari menjadi buru dan petani desa. 




2 comments:

  1. i remembered all those things. actually, how how creative i was long ago.: -) nice memory!

    ReplyDelete
  2. Dulu saya juga punya celengan tanah berbentuk ayam jago. Pernah memergoki kakak mengorek celengan saya, tapi saya periksa beratnya tak berkurang. Ketika celengan itu dipecah, uang logam yang bernilai besar semuanya sudah diganti dengan yang bernominal kecil! Dendam banget sama kakak saya waktu itu. Hehehe

    ReplyDelete

Whaddaya think?