Saya tidak pernah berurusan
dengan rumah sakit sampai akhirnya tahun lalu saya harus menginap di rumah
sakit swasta di Jogja selama 10 hari. Pengalaman menginap yang banyak menguras
banyak hal, mulai emosi sampai kantong tentunya karena waktu itu saya belum
mempunyai asuransi. Pengalaman menginap itu juga yang membuat saya melihat
bagaimana kepedulian teman-teman sekelas saya
mengurus saya. Sampai sekarang, kalau membicarakan bagaiaman kepedulian mereka,
saya masih merasa sesak, saya terharu.
Setelah itu, saya banyak berhubungan dengan rumah sakit mulai dari sekedar medical check up, cek darah rutin maupun menemani teman ke rumah sakit ataupun sekedar berkonsultasi dengan dokter tentang banyak hal. Dari situ juga, setelah berganti dokter berkali-kali karena saya tidak menemukan sosok dokter yang pas, saya menemukan dokter yang sangat profesional dan peduli. Saya bisa menghabiskan 2 jam mengobrol dengan dokter tersebut mulai dari masalah kesehatan, politik, sampai masalah tugas akhir kuliah saya atau hanya berbagi cerita. Malah kami pernah mengobrol hanya tentang mendaki gunung saja. Menurut saya, dokter itu tidak hanya harus tahu masalah penyakit saja, tapi dia harus mempunyai wawasan yang luas dan pandai berkomunikasi. Menurut ustadz saya ketika di Malang dulu, 50 pecent faktor penentu pasien itu membaik adalah kemampuan komunikasi dokter tersebut. Logikanya adalah, ketika seseorang sakit sebenarnya yang membuatnya sakit bukan hanya karena penyakit itu sendiri tetapi juga karena faktor pikiran, ketakutan dankekhawatiran akan penyakit tersebut,m sugesti. Ketakutan dan sugesti positif tersebut akan menurunkan sistem kekekebalan tubuh. Nah, ketika kita bertemu dengan dokter yang komunikasinya persuasive dan menenangkan, pikiran kita distimulus untuk tenang dan menghasilkan sugesti positif. Ketika kita senang dan tenang, tubuh akan menghasilkan hormon yang saya lupa namanya, tapi hormon yang baik hormon yang sama yang dihasilkan ketika manusia berhubungan sex atau setelah berolahraga. Makanya, saya selalu dipastikan pergi ke gym ketika saya merasa tidak enak badan, dan itu memang ampuh.
Kembali ke rumah sakit. Di Jogja saya sering berhubungan dengan rumah sakit pemerintah karena dokter saya praktik di rumah sakit itu. Alasan saya ke rumah sakit tersebut hanya karena bu dokter tersebut bekerja di sana. Selain hal tersebut, semua pelayanannya benar-benar menambah sakit karena saya sudah dibuat marah oleh antrian yang bisa mencapai 3 jam untuk bertemu dengan dokter, dan 2 jam lainnya untuk mengantri di apotek. Dan jangan ditanya bagaiaman kualitas pelayanan mereka. Selain lama, jarang ada staff yang ramah dan memberikan senyum. Makanya, saya sering bilang kalau mengunjungi rumah sakit tersebut, sama dengan menambah sakit. Saya terkadang merasa lebih tahu dari dokternya (kalau bukan dokter saya yang menangani saya) tentang apa yang saya butuhkan.
Suatu hari saya pernah berkunjung ke klinik di rumah sakit pemerintah untuk berkonsultasi dengan dokter tentang kesehatan saya. Ketika giliran saya memasuki ruangan dokter tersebut, saya mendapati dokter tersebut tengah tertidur dengan kepala terkulai di atas meja. Menyaksikan pemandangan tersebut, saya memutuskan untuk keluar dari ruangan dan mengetuk pintu dan memastikan dokter tersebut terbangun dari tidurnya. Akan tetapi saya belum sampai di ambang pintu keluar ketika dokter tersebut terbangun dan menampakkan wajah terkejut dan bingung. Dia mempersilahkan saya duduk dan terciptalah suasana canggung dan tidak ada seorangpun yang berkata apa-apa sampai saya memutuskan untuk mencairkan suasana dengan pertanyaan; you looks not feeling well. Are you sick? Si dokter pun bercerita bahwa dia kurang enak badan dan kecapekan karena tadi malam dia masuk jaga shift malam. Saya melanjutkan pertanyaan dengan ; are you a resident? Jawaban sang dokter membawa kepada curhatan bahwa dia sedang menyelesaikan spesialis di kampus tempat saya kuliah. Ha. Saya merasa bahwa saya lah yang memberikan konseling sekarang. Akhirnya dengan sedikit bercanda, saya bilang; so, now you can ask me! Saya bisa menangkap dia malu dengan saya yang malah mengendalikan percakapan.
Dengan pengalaman saya berhadapan dengan dokter di sini, saya terbiasa untuk proaktif bertanya dan menstimulus, mecocokkan dengan informasi yang saya tahu dengan kebenaran empiris yang tentu saja saya yakin dokter tersebut lebih tahu, hanya kadang-kadang mereka tidak punya kemampuan mengkomunikasikn ke pasien, atau tidak mau peduli dan berbuat lebih.
Belakangan ini, hampir setiap ngedate dengan seseorang pengalaman dengan rumah sakit selalu terlibat. Bukan karena saya melakukan KDRT yang membuat pasangan date saya babak belur dan harus dibawa ke rumah sakit melainkan karena mereka sakit karena makanan atau tubuh mereka menyesuakian dengan cuaca Jogja yang berubah extrim. Nah, saya biasanya menemani mereka ke rumah sakit karena seringkali bahasa Inggris para dokter maupun staff rumah sakit terbatas. Seperti pengalaman saya ketika berurusan dengan salah satu rumah sakit Internasional.
Teman saya terpaksa harus ke rumah sakit karena diare yang tidak kunjung berhenti. Saya tidak sempat untuk mengantarkannya karena saya baru membuka pesan bahwa dia akan berangkat ke rumah sakit dua jam setelah itu. Ketika saya menghubungi dia, teman saya ini sudah uda di di rumah sakit. Samapai kemudian dia menelfon saya karena dia tidak paham dengan apa yang dijelaskan oleh laboran di rumah sakit tersebut. Saya berbicara dengan sang laboran dan menjelaskan kembali ke teman saya.
Dua jam kemudian, saya memutuskan untuk menemani dia kembali ke rumah sakit untuk melihat hasil pemeriksaan laboratorium dan berkonsultasi dengan dokter. Ini menjadi pengalaman pertama saya mengunjungi rumah sakit ini karena biasanya saya menggunakan jasa rumah sakit di dekat kampus yang katanya rumah sakit terbaik di Jogja ataupun rumah sakit pemerintah yang punya jembatan yang menghubungkan lantai 3 rumah sakit dengan lantai 3 fakultas kedokteran. Saya menyebutnya jembatan cuci mata karena di situ berlalu lalang mahasiswa-dan mahasiswi kedokteran yang selalu berdandan rapi dan beraroma wangi tapi membosankan. Just good for eyes. Nah, saya merasa surprised ketika memasuki area rumah sakit JIH ini. Tata letak bangunannya saja sudah sangat menyenagkan dengan halaman rumput yang luas, lobby dengan sofa-sofa yang nyaman, reseptionis yang menyapa dengan senyum dan banyak gerai-gerai tempat makan dan coffee shop yang tersebar di rumah sakit. Bahkan ada chained bakery dan coffee shop favorit saya. Sebenarnya hal ini biasa saja di rumah sakit swasta. Tapi yang membuat saya kagum adalah karena fakta bahwa rumah sakit ini adalah salah satu venture dari yayasan yang juga membawahi sebuah universitas swasta di Jogjakarta dan penelitian yang saya lakukan menyentuh hal tersebut, bagaiamana universitas negeri yang tengah berusaha menjadi lebih otonom dan berusaha menjadi lebih corporate dengan menjalanakan venture untuk mendapatkan profit dalam membiayai keberlanjutan institusi perguruan tinggi.
Setelah Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dilegalkan oleh Mahkamah Agung, angin segar reformasi pendidikan tinggi memberikan harapan untuk lembaga pendidikan tinggi menjadi lebih otonom walaupun pelaksanaannya masih banyak menuai debat dan konsepnya kelihatan masih uji coba dan banyak yang mengatakan otonomi setengah hati. Hal ini diakibatkan karena di satu sisi kelihatannya lembaga pendidikan tinggi bisa sebesar-besarnya menentukan kebijakan mereka setelah mendapatkan legal entity di bawah status PTN BH akan tetapi ketika masalah keuangan dan sistem pengelolaan sumber daya manusia masih tergantung kepada pemerintah pusat, otonomi itu menjadi seperti setengah hati karena dua aspek tersebut sangat menentukan. Dari perbincangan saya dengan key informant penelitian saya, yang bekerja di level middle management merasa berat dan pesismis dalam mengimplementasikan konsep ini. Mereka pesimis UGM bisa mandiri dengan sumber daya manusia yang bekerja di institusi ini mencapai 7000 orang. Saya sangat mengerti ini berat. Ibaratnya seperti seorang anak yang sedang menuju usia dewasa, ketika tinggal berpisah dari orang tua dan harus mandiri secara finansial mereka akan merasa berat. Tapi toh mereka akhirnya akan menjadi mandiri juga. Berkaitan dengan pengalaman saya dengan rumah sakit, hal yang ,menjadi kemudahan bagi universitas dengan status PTN BH adalah mereka bisa menjalanakan ventures yang diharapkan profitnya bisa membiayai keberlangsungan lembaga pendidikan tinggi. Venture yang dimiliki oleh perguruan tinggi ini seharusnya jauh lebih maju dibandingkan dengan venture lain karena mereka mempunyai akses kepada modal manusia yang terdidik dinperguruan tinggi, baik itu lulusan maupun tenaga ahli yang berprofesi sebagai dosen dan peneliti.
Pengalaman saya mengunjungi JIH hari ini memberikan penyadaran kepada saya bahwa dalam banyak hal universitas swasta telah jauh melangkah dalam mengelola venture maupun joint-venture mereka di saat di banyak universitas negeri venture ini masih menjadi wacana dan kalaupun terlaksana masih banyak yang berbentuk toko koperasi.
Saya tidak bisa menulis panjang lebar tentang hal ini karena keasyikan saya menulis yang diselang-selingi obrolan manis dengan si date terputus oleh perawat yang terengah-engah menghampiri meja kami. Rupanya si dokter sudah menunggu lebih dari 30 menit dan kami keasyikan menikmati suasana coffee shop di rumah sakit ini.
Setelah itu, saya banyak berhubungan dengan rumah sakit mulai dari sekedar medical check up, cek darah rutin maupun menemani teman ke rumah sakit ataupun sekedar berkonsultasi dengan dokter tentang banyak hal. Dari situ juga, setelah berganti dokter berkali-kali karena saya tidak menemukan sosok dokter yang pas, saya menemukan dokter yang sangat profesional dan peduli. Saya bisa menghabiskan 2 jam mengobrol dengan dokter tersebut mulai dari masalah kesehatan, politik, sampai masalah tugas akhir kuliah saya atau hanya berbagi cerita. Malah kami pernah mengobrol hanya tentang mendaki gunung saja. Menurut saya, dokter itu tidak hanya harus tahu masalah penyakit saja, tapi dia harus mempunyai wawasan yang luas dan pandai berkomunikasi. Menurut ustadz saya ketika di Malang dulu, 50 pecent faktor penentu pasien itu membaik adalah kemampuan komunikasi dokter tersebut. Logikanya adalah, ketika seseorang sakit sebenarnya yang membuatnya sakit bukan hanya karena penyakit itu sendiri tetapi juga karena faktor pikiran, ketakutan dankekhawatiran akan penyakit tersebut,m sugesti. Ketakutan dan sugesti positif tersebut akan menurunkan sistem kekekebalan tubuh. Nah, ketika kita bertemu dengan dokter yang komunikasinya persuasive dan menenangkan, pikiran kita distimulus untuk tenang dan menghasilkan sugesti positif. Ketika kita senang dan tenang, tubuh akan menghasilkan hormon yang saya lupa namanya, tapi hormon yang baik hormon yang sama yang dihasilkan ketika manusia berhubungan sex atau setelah berolahraga. Makanya, saya selalu dipastikan pergi ke gym ketika saya merasa tidak enak badan, dan itu memang ampuh.
Kembali ke rumah sakit. Di Jogja saya sering berhubungan dengan rumah sakit pemerintah karena dokter saya praktik di rumah sakit itu. Alasan saya ke rumah sakit tersebut hanya karena bu dokter tersebut bekerja di sana. Selain hal tersebut, semua pelayanannya benar-benar menambah sakit karena saya sudah dibuat marah oleh antrian yang bisa mencapai 3 jam untuk bertemu dengan dokter, dan 2 jam lainnya untuk mengantri di apotek. Dan jangan ditanya bagaiaman kualitas pelayanan mereka. Selain lama, jarang ada staff yang ramah dan memberikan senyum. Makanya, saya sering bilang kalau mengunjungi rumah sakit tersebut, sama dengan menambah sakit. Saya terkadang merasa lebih tahu dari dokternya (kalau bukan dokter saya yang menangani saya) tentang apa yang saya butuhkan.
Suatu hari saya pernah berkunjung ke klinik di rumah sakit pemerintah untuk berkonsultasi dengan dokter tentang kesehatan saya. Ketika giliran saya memasuki ruangan dokter tersebut, saya mendapati dokter tersebut tengah tertidur dengan kepala terkulai di atas meja. Menyaksikan pemandangan tersebut, saya memutuskan untuk keluar dari ruangan dan mengetuk pintu dan memastikan dokter tersebut terbangun dari tidurnya. Akan tetapi saya belum sampai di ambang pintu keluar ketika dokter tersebut terbangun dan menampakkan wajah terkejut dan bingung. Dia mempersilahkan saya duduk dan terciptalah suasana canggung dan tidak ada seorangpun yang berkata apa-apa sampai saya memutuskan untuk mencairkan suasana dengan pertanyaan; you looks not feeling well. Are you sick? Si dokter pun bercerita bahwa dia kurang enak badan dan kecapekan karena tadi malam dia masuk jaga shift malam. Saya melanjutkan pertanyaan dengan ; are you a resident? Jawaban sang dokter membawa kepada curhatan bahwa dia sedang menyelesaikan spesialis di kampus tempat saya kuliah. Ha. Saya merasa bahwa saya lah yang memberikan konseling sekarang. Akhirnya dengan sedikit bercanda, saya bilang; so, now you can ask me! Saya bisa menangkap dia malu dengan saya yang malah mengendalikan percakapan.
Dengan pengalaman saya berhadapan dengan dokter di sini, saya terbiasa untuk proaktif bertanya dan menstimulus, mecocokkan dengan informasi yang saya tahu dengan kebenaran empiris yang tentu saja saya yakin dokter tersebut lebih tahu, hanya kadang-kadang mereka tidak punya kemampuan mengkomunikasikn ke pasien, atau tidak mau peduli dan berbuat lebih.
Belakangan ini, hampir setiap ngedate dengan seseorang pengalaman dengan rumah sakit selalu terlibat. Bukan karena saya melakukan KDRT yang membuat pasangan date saya babak belur dan harus dibawa ke rumah sakit melainkan karena mereka sakit karena makanan atau tubuh mereka menyesuakian dengan cuaca Jogja yang berubah extrim. Nah, saya biasanya menemani mereka ke rumah sakit karena seringkali bahasa Inggris para dokter maupun staff rumah sakit terbatas. Seperti pengalaman saya ketika berurusan dengan salah satu rumah sakit Internasional.
Teman saya terpaksa harus ke rumah sakit karena diare yang tidak kunjung berhenti. Saya tidak sempat untuk mengantarkannya karena saya baru membuka pesan bahwa dia akan berangkat ke rumah sakit dua jam setelah itu. Ketika saya menghubungi dia, teman saya ini sudah uda di di rumah sakit. Samapai kemudian dia menelfon saya karena dia tidak paham dengan apa yang dijelaskan oleh laboran di rumah sakit tersebut. Saya berbicara dengan sang laboran dan menjelaskan kembali ke teman saya.
Dua jam kemudian, saya memutuskan untuk menemani dia kembali ke rumah sakit untuk melihat hasil pemeriksaan laboratorium dan berkonsultasi dengan dokter. Ini menjadi pengalaman pertama saya mengunjungi rumah sakit ini karena biasanya saya menggunakan jasa rumah sakit di dekat kampus yang katanya rumah sakit terbaik di Jogja ataupun rumah sakit pemerintah yang punya jembatan yang menghubungkan lantai 3 rumah sakit dengan lantai 3 fakultas kedokteran. Saya menyebutnya jembatan cuci mata karena di situ berlalu lalang mahasiswa-dan mahasiswi kedokteran yang selalu berdandan rapi dan beraroma wangi tapi membosankan. Just good for eyes. Nah, saya merasa surprised ketika memasuki area rumah sakit JIH ini. Tata letak bangunannya saja sudah sangat menyenagkan dengan halaman rumput yang luas, lobby dengan sofa-sofa yang nyaman, reseptionis yang menyapa dengan senyum dan banyak gerai-gerai tempat makan dan coffee shop yang tersebar di rumah sakit. Bahkan ada chained bakery dan coffee shop favorit saya. Sebenarnya hal ini biasa saja di rumah sakit swasta. Tapi yang membuat saya kagum adalah karena fakta bahwa rumah sakit ini adalah salah satu venture dari yayasan yang juga membawahi sebuah universitas swasta di Jogjakarta dan penelitian yang saya lakukan menyentuh hal tersebut, bagaiamana universitas negeri yang tengah berusaha menjadi lebih otonom dan berusaha menjadi lebih corporate dengan menjalanakan venture untuk mendapatkan profit dalam membiayai keberlanjutan institusi perguruan tinggi.
Setelah Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dilegalkan oleh Mahkamah Agung, angin segar reformasi pendidikan tinggi memberikan harapan untuk lembaga pendidikan tinggi menjadi lebih otonom walaupun pelaksanaannya masih banyak menuai debat dan konsepnya kelihatan masih uji coba dan banyak yang mengatakan otonomi setengah hati. Hal ini diakibatkan karena di satu sisi kelihatannya lembaga pendidikan tinggi bisa sebesar-besarnya menentukan kebijakan mereka setelah mendapatkan legal entity di bawah status PTN BH akan tetapi ketika masalah keuangan dan sistem pengelolaan sumber daya manusia masih tergantung kepada pemerintah pusat, otonomi itu menjadi seperti setengah hati karena dua aspek tersebut sangat menentukan. Dari perbincangan saya dengan key informant penelitian saya, yang bekerja di level middle management merasa berat dan pesismis dalam mengimplementasikan konsep ini. Mereka pesimis UGM bisa mandiri dengan sumber daya manusia yang bekerja di institusi ini mencapai 7000 orang. Saya sangat mengerti ini berat. Ibaratnya seperti seorang anak yang sedang menuju usia dewasa, ketika tinggal berpisah dari orang tua dan harus mandiri secara finansial mereka akan merasa berat. Tapi toh mereka akhirnya akan menjadi mandiri juga. Berkaitan dengan pengalaman saya dengan rumah sakit, hal yang ,menjadi kemudahan bagi universitas dengan status PTN BH adalah mereka bisa menjalanakan ventures yang diharapkan profitnya bisa membiayai keberlangsungan lembaga pendidikan tinggi. Venture yang dimiliki oleh perguruan tinggi ini seharusnya jauh lebih maju dibandingkan dengan venture lain karena mereka mempunyai akses kepada modal manusia yang terdidik dinperguruan tinggi, baik itu lulusan maupun tenaga ahli yang berprofesi sebagai dosen dan peneliti.
Pengalaman saya mengunjungi JIH hari ini memberikan penyadaran kepada saya bahwa dalam banyak hal universitas swasta telah jauh melangkah dalam mengelola venture maupun joint-venture mereka di saat di banyak universitas negeri venture ini masih menjadi wacana dan kalaupun terlaksana masih banyak yang berbentuk toko koperasi.
Saya tidak bisa menulis panjang lebar tentang hal ini karena keasyikan saya menulis yang diselang-selingi obrolan manis dengan si date terputus oleh perawat yang terengah-engah menghampiri meja kami. Rupanya si dokter sudah menunggu lebih dari 30 menit dan kami keasyikan menikmati suasana coffee shop di rumah sakit ini.
Jogja, 1 September 2014