Sudah lebih dari 2 minggu saya
tinggal di Jakarta. Saya masih menikmati waktu saya tanpa pekerjaan walaupun
kadang-kadang terbersit pikiran mengapa sih saya susah-susah datang ke Jakarta
dan meninggalkan pekerjaan saya di Yogyakarta yang memberi saya kehidupan yang
lebih dari layak. Pekerjaan dengan institusi bergengsi dan ternama bangsa ini
pula. Lagian kan Jogja itu nyaman banget, saya bisa dengan gampang kabur ke coffee shop favorit saya. Bisa tiap hari pula kalau mau. Namun pikiran itu tertepis begitu saya teringat niat awal saya datang ke
Jakarta. Belum mendapatan pekerjaan baru, bukan berarti saya tidak sibuk loh di ibukota ini. Setiap hari saya
selalu pulang setelah makan malam.
Saya biasanya ke mana-mana selalu
naik Gojek atau Gocar, tergantung keadaan. Jika bertepatan dengan rush hour, saya naik gojek. Namun bila
hari cerah, akhir pecan, atau jalanan tidak macet, saya naik gocar. Gimana
caranya kamu tahu jalanan macet atau tidak Rik? Cek google map dong ah! Zaman
canggih ini kan. Akan tetapi, moda transportasi yang saya sebutkan itu
kebanyakan saya pakai hanya sampai ke tempat saya bisa naik Transjakarta atau
Commuterline. Ayo ah, budayakan pakai transportasi umum.
Malam hari, saya paling sering
jalan kaki dari pemberhentian Transjakarta ke tempat tinggal saya. Jaraknya
sekitar 1,9 km (kata google map). Biasanya saya tempuh dalam waktu 15-25 menit. Selain
mendapatkan manfaat olahraga, saya jadi lebih tahu lingkungan sekitar saya.
Minggu-minggu pertama saja, saya sudah spotting supermarket yang mempunyai stok
jenis melon kesukaan saya dengan harga yang bagus. Stocknya juga selalu segar.
Saya juga sudah me-list beberapa coffee shop yang akan saya jadwalkan
untuk cicipi kopinya. Ada beberapa patisserie,
kafe jamu (iye, di sini minum jamu di café) dan juga warung burjo. Yang
terakhir itu penting sekali. Kalau sedang tidak berselera makan malam, saya
tinggal ke warung burjo dan memesan 2 mangkuk bubur kacang hijau. Nanti kembali
ke rumah tinggal mampir di supermarket favorit dan membeli setengah buah melon,
saya habiskan malam itu juga.
Nah, sebagai pejalan kaki, saya
sedih sekali dengan kondisi Jakarta. Sedih sekaligus malu. Dari pemberhentian
bus terakhir menuju tempat tinggal saya, hanya seuprit jalan yang mempunyai pedestrian
road alias trotoar yang benar-benar dimanfaatkan sebagai trotoar. Sisanya
tidak mempunyai trotoar sama sekali atau kalaupun punya sudah dipakai sebagai
tempat berjualan atau parkiran, atau malah dijadikan taman sama pemilik rumah.
Padahal, walaupun tanah kosong (baca: sisi jalan) itu berada di depan rumah
anda, itu adalah ruang publik loh. Milik umum, dibiayai dengan uang rakyat,
uang hasil saya dan anda-anda bayar pajak. Banyak sih sisi jalan di depan rumah-rumah
mentereng itu dibuat semacam taman kecil. Kelihatan bagus dan hijau. Tapi,
fungsi aslinya sebagai ruang pejalan kaki tidak terpenuhi. Mungkin si pemilik
rumah mengambil inisiatif untuk membuat taman tersebut daripada dijadikan
tempat berjualan. Nah, di sini lah peran tata ruang dalam city planning.
Perencanaan tata ruang itu tidak
hanya masalah perencanaan fisik loh. Ada unsur perilaku manusia sebagai unsur
yang menemoati ruang di sana. Misalnya dalam kasus trotoar tadi. Dengan budaya
entrepreneur bangsa kita yang wah banget ini, pasti trotoar akan berpotensi
untuk dilirik oleh pedagang kaki lima untuk berjualan kan? Atau malah paling
sering dipakai oleh pengendara motor yang pintar mengambil celah untuk menembus
macet (yang akhir-akhirnya malah trotoarnya yang macet). Ini Jakarta banget
saudara-saudara, atau Indonesia banget ya?
Jakarta kan mau punya pemimpin
baru nih ya. Sebagai warga (orang yang menumpang tinggal di Jakarta), saya sih
berharap banget jalan-jalan akan punya trotoar lebar dan bias dipakai berjalan.
Sebenarnya pembenahannya sudah dimulai dan menunjukkan hasil yang lebih baik
dari Jakarta yang saya kenal 7 tahun lalu kok. Sepanjang jalan utama semacam
jalan Sudirman, MH Thamrin dan Rasuna Said misalnya. Trotoarnya lebar dan bisa
dilewati dengan leluasa. Tapi, di daerah seperti Kemang (yang
dibangga-banggakan mirip Seminyak, mirip dari mananya? Jauh sekaliiiii, kakak!),
naudzubillah, semrawutnya!
Oke, sekian dulu curhatan saya
tentang emak kota Indonesia ini. Dannnn, Jakarta sebentar lagi punya MRT loh
(*jejingkrakan*). Ada railway yang
menuju airport juga loh. Akankah bye-bye
macet dan perjalanan-dengan-pesawat-rasa-naik-kereta api-saking lamanya
perjalanan dari airport ke tengah kota? Kita nantikan saudara-saudara!
Jadi inti dari postingan saya ini
sebenarnya saya mau bilang kalua saya sudah pindah ke Jakarta, officially jadi
anak ibu kota. Jadi, buat kalian yang di Jakarta dan sekitarnya, boleh loh mengajak saya ngopi-ngopi chantique. Sekian.
Keluhan yg bagus ��������
ReplyDeleteTerima kasih:-)
Delete