Wednesday, April 19, 2017

Cerita Jalan Kaki Manjaah diJakarta



Sudah lebih dari 2 minggu saya tinggal di Jakarta. Saya masih menikmati waktu saya tanpa pekerjaan walaupun kadang-kadang terbersit pikiran mengapa sih saya susah-susah datang ke Jakarta dan meninggalkan pekerjaan saya di Yogyakarta yang memberi saya kehidupan yang lebih dari layak. Pekerjaan dengan institusi bergengsi dan ternama bangsa ini pula. Lagian kan Jogja itu nyaman banget, saya bisa dengan gampang kabur ke coffee shop favorit saya. Bisa tiap hari pula kalau mau. Namun pikiran itu tertepis begitu saya teringat niat awal saya datang ke Jakarta. Belum mendapatan pekerjaan baru, bukan berarti saya tidak sibuk loh di ibukota ini. Setiap hari saya selalu pulang setelah makan malam.

Saya biasanya ke mana-mana selalu naik Gojek atau Gocar, tergantung keadaan. Jika bertepatan dengan rush hour, saya naik gojek. Namun bila hari cerah, akhir pecan, atau jalanan tidak macet, saya naik gocar. Gimana caranya kamu tahu jalanan macet atau tidak Rik? Cek google map dong ah! Zaman canggih ini kan. Akan tetapi, moda transportasi yang saya sebutkan itu kebanyakan saya pakai hanya sampai ke tempat saya bisa naik Transjakarta atau Commuterline. Ayo ah, budayakan pakai transportasi umum.

Malam hari, saya paling sering jalan kaki dari pemberhentian Transjakarta ke tempat tinggal saya. Jaraknya sekitar 1,9 km (kata google map). Biasanya saya tempuh dalam waktu 15-25 menit. Selain mendapatkan manfaat olahraga, saya jadi lebih tahu lingkungan sekitar saya. Minggu-minggu pertama saja, saya sudah spotting supermarket yang mempunyai stok jenis melon kesukaan saya dengan harga yang bagus. Stocknya juga selalu segar. Saya juga sudah me-list beberapa coffee shop yang akan saya jadwalkan untuk cicipi kopinya. Ada beberapa patisserie, kafe jamu (iye, di sini minum jamu di café) dan juga warung burjo. Yang terakhir itu penting sekali. Kalau sedang tidak berselera makan malam, saya tinggal ke warung burjo dan memesan 2 mangkuk bubur kacang hijau. Nanti kembali ke rumah tinggal mampir di supermarket favorit dan membeli setengah buah melon, saya habiskan malam itu juga.

Nah, sebagai pejalan kaki, saya sedih sekali dengan kondisi Jakarta. Sedih sekaligus malu. Dari pemberhentian bus terakhir menuju tempat tinggal saya, hanya seuprit jalan yang mempunyai pedestrian road alias trotoar yang benar-benar dimanfaatkan sebagai trotoar. Sisanya tidak mempunyai trotoar sama sekali atau kalaupun punya sudah dipakai sebagai tempat berjualan atau parkiran, atau malah dijadikan taman sama pemilik rumah. Padahal, walaupun tanah kosong (baca: sisi jalan) itu berada di depan rumah anda, itu adalah ruang publik loh. Milik umum, dibiayai dengan uang rakyat, uang hasil saya dan anda-anda bayar pajak.  Banyak sih sisi jalan di depan rumah-rumah mentereng itu dibuat semacam taman kecil. Kelihatan bagus dan hijau. Tapi, fungsi aslinya sebagai ruang pejalan kaki tidak terpenuhi. Mungkin si pemilik rumah mengambil inisiatif untuk membuat taman tersebut daripada dijadikan tempat berjualan. Nah, di sini lah peran tata ruang dalam city planning.

Perencanaan tata ruang itu tidak hanya masalah perencanaan fisik loh. Ada unsur perilaku manusia sebagai unsur yang menemoati ruang di sana. Misalnya dalam kasus trotoar tadi. Dengan budaya entrepreneur bangsa kita yang wah banget ini, pasti trotoar akan berpotensi untuk dilirik oleh pedagang kaki lima untuk berjualan kan? Atau malah paling sering dipakai oleh pengendara motor yang pintar mengambil celah untuk menembus macet (yang akhir-akhirnya malah trotoarnya yang macet). Ini Jakarta banget saudara-saudara, atau Indonesia banget ya?

Jakarta kan mau punya pemimpin baru nih ya. Sebagai warga (orang yang menumpang tinggal di Jakarta), saya sih berharap banget jalan-jalan akan punya trotoar lebar dan bias dipakai berjalan. Sebenarnya pembenahannya sudah dimulai dan menunjukkan hasil yang lebih baik dari Jakarta yang saya kenal 7 tahun lalu kok. Sepanjang jalan utama semacam jalan Sudirman, MH Thamrin dan Rasuna Said misalnya. Trotoarnya lebar dan bisa dilewati dengan leluasa. Tapi, di daerah seperti Kemang (yang dibangga-banggakan mirip Seminyak, mirip dari mananya? Jauh sekaliiiii, kakak!), naudzubillah, semrawutnya!

Oke, sekian dulu curhatan saya tentang emak kota Indonesia ini. Dannnn, Jakarta sebentar lagi punya MRT loh (*jejingkrakan*). Ada railway yang menuju airport juga loh. Akankah bye-bye macet dan perjalanan-dengan-pesawat-rasa-naik-kereta api-saking lamanya perjalanan dari airport ke tengah kota? Kita nantikan saudara-saudara!
Jadi inti dari postingan saya ini sebenarnya saya mau bilang kalua saya sudah pindah ke Jakarta, officially jadi anak ibu kota. Jadi, buat kalian yang di Jakarta dan sekitarnya, boleh loh mengajak saya ngopi-ngopi chantique.  Sekian.

2 comments:

Whaddaya think?