Salah satu keuntungan tinggal di kota pelajar yang mahasiswanya datang dari sabang sampai Merauke adalah saya jadi bisa mendengar dan sedikit-sedikit tahu bahasa masing-masing daerah. Saya jadi tahu sedikit bahasa Ambon, Papua, Flores, Makassar, Madura, Aceh, Sunda, Tetun (Timor Leste) dan agak banyak bahasa Jawa. Itu baru bahasa yang mayoritas dipakai loh ya. Kabarnya, di NTT sana, beda desa bisa berbeda bahasa. Tetapi biasanya mereka punya bahasa daerah yang menjadi pemersatu. Istilah linguisticnya Parole (benar parole ya?). Dan tentu saja semua bahasa itu mempunyai karakter yang jauh berbeda dan mewakili karakter budaya daerah mereka masing-masing. Dari sekian bahasa yang saya dengar, saya suka mendengarkan orang-orang dari Indonesia Timur bertutur. Logatnya yang khas, struktur kalimat yang sepertinya berbalik dari struktur kalimat yang biasa dipakai oleh penutur di Indonesia tengah dan Barat dan intonasi mereka yang khas membuatnya sangat mudah dikenali. Unik.
Ketika kerja part time zaman kuliah dulu, customer saya kebanyakan berasal dari NTT, Timor Leste dan Papua. Saya sering sengaja menyimak percakapan mereka dan menebak-nebak artinya. Nah, diantara semua operator warnet di tempat saya bekerja, saya lah yang paling bisa mengerti pembicaraan mereka. Teman-teman saya sering kebingungan dan mesti nanya dan menyimak berulang-ulang untuk mengerti apa yang mereka katakan. Padahal mereka berbicara pakai bahasa Indonesia loh ya… tapi, ya itu tadi, struktur kalimatnya membuat teman-teman saya susah menangkap maksudnya.
"Minta tolong ini dikasi print kakak. Logo kasi tambah dari komputer. Ada kah?
"Sa mau kirim sa punya foto tara bisa. Kaka tolong saya" eh, belakangan ketahuan ternyata nggak punya email.
"sapu teman tanya fb saya.Sa buka tara bisa. Error terus" oalah, gimana mau punya FB Mas, wong Masnya nulis www.fb.com. Yah, not going anywhere deh…!
Kalau anda pernah nonton film denias, percakapan mereka sama seperti itu tapi dengan intonasi yang lebih alami, lebih cepat maksudnya. Ditambah lagi, banyak kata-kata yang dihilangkan.
"Sa tra tahu dia su datang apa belum" (saya tidak tahu dia sudah dating atau belum)
"sa pi tinggal dulu ambil flash disk. Sebentar teman saya datang"
Nah, teman kos saya sekarang kebanyakan berasal dari Papua dan Ambon. Tetangga kiri dan kanan dari Ambon, tetangga atas (lantai dua) berasal dari papua dua-duanya.
Suatu hari saya balik dari jogging dan mendapati rumah dalam keadaan sepi. Sebagian Penghuni sudah berangkat ke tempat aktifitasnya masing-masing dan sisanya lagi masih asik dengan selimutnya masing-masing. Melangkahkan kaki memasuki ruang tengah kok saya mendengar gemericik air yang tidak biasanya saya dengar. Saya hafal banget suara air yang jatuh ke penampungan di samping kamarnya Roni, mahasiswa magister asal Papua itu. Tapi suara ini bukan suara air yang jatuh ke bak penampungan alias tandon. Suaranya gemericik kayak air terjun kecil di tengah hutan dekat rumah saya di Bima sana.
Bergegas saya menuju kamar saya di bagian belakang rumah induk yang dihuni keluarga Ibu kos. Dan tadaaa….!
Terhamparlah pemandangan nan indah di depan mata saya. Pemandangan yang membuat saya selalu kangen sama desa saya yang di pinggir hutan itu. Ada air terjun yang jatuh di tangga berundak yang menuju lantai dua. Sebagian airnya jatuh lurus mengikuti alur tangga sebagian lagi membentuk aliran ke samping dan keluar dari tangga dan jatuh di taman di depan kamar saya. Rupanya air terjun inilah yang bergemericik ketika saya memasuki rumah tadi. Segera saya menuju ke depan kamar saya tempat sakelar untuk air berada dan mematikannya.
Pletak!! Aliran air yang mengisi tendon berhenti seketika tetapi air terjunnya masih terus mengalir.
Wah, gawat!!
Setelah erkesima dengan air terjun itu saya tersadar. Kalau airnya sampai turun tangga begini berarti dia juga mengalir kemana-mana dulu dong di lantai atas sana. Segera saya berlari melewati air terjun tadi menuju kamarnya Roni. Pintunya tertutup rapat dan jelas sekali kawan, airnya mengalir sampai jauh memasuki celah di bawah pintu kamar anak Papua yang malang tersebut.
Saya gedor kamarnya sambil teriak-teriak.
"Bang Roni..!!bangun oii!!
"Bangun!! Kamarnya kebanjiran tuh!
Tak seberapa lama pintu kamar terbuka dan kepala Bang Roni yang tampangnya ternyata lebih keren dari Ne-yo dan Chris Brown itu melongkok keluar. Matanya masih merem.
"Ada apa?
Saya hanya bisa menatapnya dengan muka iba seraya menunjuk ke lantai kamarnya.
"Haaa…!!!!!
"Siapa yang kasi hidup itu air"
"Nggak tahu Bang, saya baru nyampe!
"Siapa itu?!! Tidak kasi main dia punya otak!!
Saya langsung ngacir ke kamar saya sambil menahan tawa mendengar kalimat terakhirnya itu.
Jadilah hari itu Bang Roni dan Reu, anak yang punya kamar di depannya yang juga kebanjiran itu seharian mengangkut semua barangnya keluar kamar dan menjemurnya di atap. Mulutnya terus saja merapal kalimat keren itu.
"Tidak kasi main itu punya otak!!
Wajarlah Bang Roni sedongkol itu. Seluruh kamarnya digenangi air semata kaki, buku-bukunya banyak yang basah, dan tentu saja kasur yang digelar di atas karpet di lantai itu ikut terapung juga. Dan ini yang ketiga kalinya dia kebanjiran seperti ini. Untunglah laptop dan TV ada di atas meja tidak terjangkau banjir lokal itu.
Mulai saat itu, "Tidak kasi main itu punya otak" menjadi umpatan favorit kami anak-anak Akono, anak kos Bu Warno.
wah jadi pengen mandi, hihihi... eh boz ada kado buatmu cekidot di rumahku ya, okea :D
ReplyDeleteHahaha... Bikin novel aja bos. Tulisannya keren. Btw, skrg tinggal di mana? Bima?
ReplyDeletehehe.. uda aku comment di fb..
ReplyDelete@karumbu, maunya begitu tp blm kesampaian juga. terima kasih...:)
ReplyDeleteskrg msh d Malang, bulan depan balik k Bima.
@Dee, thanks ya...
hahahaha....
ReplyDeletecerita pengalaman yang lucu abiz
saya juga senang bergaul dengan saudara2 kita dari indoneisa timur, logatnya lucu2
trims kunjungannya ke blog ku
salam