Hari ketiga tinggal di kota ini, kebutuhan yang harus saya penuhi semakin bermunculan. Oleh karena itu, sore sehabis dari kantor saya memutuskan untuk membeli beberapa kebutuhan sehari-hari. Dari informasi yang saya dapatkan dari teman-teman saya, di kota ini ada sebuah pusat perbelanjaan bernama Mega Mall. Nah, ke sanalah tujuan saya sore ini.
Bayangan saya tentang sebuah kota adalah sebuah daerah urban dengan fasilitas umum yang lengkap. Oleh karen itu saya memutuskan untuk naik bus kota untuk menuju ke Mega Mall. Setelah berjalan beberapa saat berjalan kaki dari kantor, saya menunggu bus di dekat sebuah tugu di pertigaan yang menuju kantor saya. 15 menit berlalu. Tidak ada tanda-tanda bus kota ataupun angkot (di sini disebut oplet) yang lewat. Satu jam menunggu, saya mulai gelisah. Saya kemudian memutuskan untuk bertanya kepada abang penjual kelapa muda yang sedang melayani pembeli yang tampaknya akan mempersiapakn makanan buat berbuka. Dan jawaban yang saya dapatkan adalah; ada sih Bang, tapi jarang.
Aduh...! ini sih bukan jarang lagi. Ini langka. Satu jam lebih saya menunggu, saya tidak melihat satu bus atau oplet pun yang lewat. Untunglah, seorang dear friend lewat pakai motor dan mengantarkan saya ke Mega Mall.
Gara-gara keterbatasan mass-transportation juga yang membuat saya harus berjalan kaki setiap hari dari tempat saya tinggal ke kantor. Lumayan, dengan gaya jalan saya yang sering dkeluhkan teman-teman saya karena karena seperti dikejar-kejar, saya hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ke kantor. Yang nggak tahan, kalau saya ke kantor agak telat. Matahari tanah khatulistiwa yang begitu membakar sukses membuat saya bermandikan keringat ketika sampai di kantor. Makanya, saya selalu ke kantor memakai topi fedora, celana pendek, t-shirt dan sepatu sport. Berjalan sendiri di tengah orang-orang yang berkendaraan yang gaya berkendaranya menakutkan pejalan kaki, cukup aneh. Sepertinya, hanya saya sendiri yang nekat jalan kaki di kota ini. Selama ini saya belum menemukan pejalan kaki yang lain. Kata teman saya sih, kalau tinggal di Pontianak harus punya kendaraan sendiri karena keterbatasan angkutan umum. Efeknya buat saya, saya jadi nggak bisa kelayapan lagi seperti ketika di Malang.
Menurut saya, sistem transportasi di kota ini melawan local wisdom. Sebagai kota yang dilintasi oleh ratusan parit dan dua sungai besar, transportasi air seharusnya tidak ditinggalkan. Nama-nama tempat saja disini menggunakan nama-nama sungai dan parit (kanal). Saya pikir transportasi air juga bisa mengendalikan kepemilikan kendaraan bermotor yang membuat macet kota dan tentu saja hemat energi. Membagun jalan raya sangat high cost disini. Dengan kondisi tanah gambut yang berlumpur, jalan yang dibangun mudah amblas dan bergelombang. Makanya, hampir setiap hari selalu ada perbaikan jalan.
Untunglah buat kemana-mana saya punya banyak tebengan. Bisa motor teman-teman atau mobil Mr. Boss. Makanya, thanks banget buat Mr. Boss Bang Aji dan teman-teman SBS Pontianak.
No comments:
Post a Comment
Whaddaya think?