Bar semangat dan bahagia saya sedang penuh. Ada banyak hal yang ternyata luput dari perhatian saya yang seharusnya membuat saya bahagia dan bersemangat. Saya bersyukur karena sekrang sudah menyadari dan menjadi booster semangat saya. Selain hal-hal kecil yang terabaikan tadi, satu anugerah yang membuat saya bahagia adalah karena memdapatkan seorang teman. Thanks berat seberat barbell 30 kilo deh buat Kak Dian Prima yang sudah mengenalkan saya dengan Nyonya Jumi the expat's wife itu. Baiklah, untuk membuat the expat's wife merasa muda kita ganti saja panggilan nyonyo dengan mbak ya. Sungguh, saya senang sekali bisa ngobrol-ngobrol sama beliau. Tapi pertanyaannya, beliau senang nggak ya? Hehe…anggap saja senang.
Setelah pertemuan pertama yang diisi dengan nonton "Serdadu Kumbang"nya Ari Sihasale, kami sepakat bertiga untuk jalan ke Tanjung Pinang. Membayangkan akan melakukan perjalanan melintas perairan, saya senang sekali. Prinsip saya, kalau jalan-jalan naik perahu, pasti bakal menyenangkan.
Ketika Kak Dian dan Mbak Nita the expatsSaya sudah siap dengan sling bag besar berisi kamera, buku, majalah dan perlatan 'kegantengan' serta tidak ketinggalan 1 botol air minum ukuran 1 liter berwarna hijau ngejreng dari Tupperware yang belakangan ini menjadi barang bawaan wajib saya kemana-mana. Sementara Mbak Nita sudah menyiapkan satu kotak kacang telor yang sumpah enak sekali di kotak tupperwarenya. Kotak Tupperware warna ungu beliau terus-terusan nangkring di pangkuan saya dan menjadi saksi kekatifan tangan dan mulut saya yang mencomot kacang tanpa jeda. Ternyata enak ya, jalan sama mak-mak:)
Memasuki kabin boat, hawa dingin langsung menyerang. Hfffhhhh….seharusnya saya membawa jaket atau minimal ham deh. Masalahnya saya tidak tahu kalau bakal berada dalam boat tertutup dengan AC yang menggigit begini. Seat terisi penuh dengan penumpang segala macam rupa. Ada ibi-ibu dengan anak-anak kecil yang tangannya aktif seperti saya; suka bantuin nyomot kacang dari Tupperware. Ada bapak-bapak yang tampaknya gold eddicted dengan dandanan eksekutif. Atau pejabat? Ah, mungkin dua-duanya.
Dengan nista saya diam-diam memandangi bapak berperut buncit yang menggenggam dua smart phone sekalgus itu. Jam tangannya berwarna emas menyala. Ada dua cincin emas berkilau-kilau di masing-masing jari manis kedua tangannya. Sya masih bertanya-tanya, mengapa sih namanya jari manis? Kenapa bukan jari cincin saja? Atau karena si jari itu dipakaikan cincin terus jadi manis? Wah, sepertinya penyebutan itu itu tidak cocok dialamatkan kepada jari laki-laki deh. Buktinya si Bapak itu walaupun sudah memakai dua cincin sekaligus, besar-besar pula, tapi jari-jarinya tidak tampak manis sama sekali. Kembali saya menelusuri aksesoris yang melekat di Bapak emas itu. Saku bajunya juga dihiasi dengan pulpen berwarna emas. Di lehernya juga mengintip malu-malu kalung emas segede rantai kaleng bisuit lebaran zaman saya kecil dulu. Tidak cukup sampai di situ, ketika saya menuju geladak untuk beraksi dengan kamera, saya melihat si bapak juga sedang berdiri di geladak sambil menghembus asap rokoknya dengan nikmat. Dan rokok itu pun berbungkus dengan kertas timah emas di setiap batangnya. Sepertinya bapak itu anggota sekte pemuja emas.
Beridiri di geladak menyaksikan laut yang terbelah karena dilewati oleh badan boat yang melaju kencang sangat menyenangkan. Laut biru,langit biru! Kita memang harus bersyukur ditakdirkan tinggal di Indonesia. Pengen merasakan perjalanan laut dengan pemandangan spektakuler begini saja tidak perlu menunggu liburan panjang dan terbang melintasi benua. Cukup berkunjung ke pulau tetangga dengan jarak tempuh tidak lebih dari satu jam.
Melangkahkan kaki keluar dari gerbang pelabuhan Tanjungpinang, saya merasa mendadak jadi seleb. Ada banyak orang yang melambai-lambaikan tangan dan memanggil-manggil. Ada juga yang langsung datang mengerubuti. Woiiii…wake up man! Itu tukang taxi yang berebut menawarkan jasa. Sesuai dengan pesan keramat yang kita jaga, bayar Taxi tidak boleh lebih dari Rp. 20.000. Tapi saya tidak membayangkan kalau kalau Mbak Nita the expats wife bakal sesadis itu menawar taxi; 20 rebu, take it or leave it! Love his way! Hoho….si Bapak Taxi tanpa banyak cingcong langsung membawa kami meluncur menyusuri jalanan sepanjang pantai menuju gubernuran tempat teman saya akan menyelsaikan urusannya sebelum kita city tour.
Kantor gubenrnur Kepri terletak di atas sebuah bukit kecil yang membuat kita leluasa memandang ke penjuru kota. Menunggu ibu-ibu itu menyelesaikan urusannya, saya memilih nongkrong di kantin gubernuran. Dari hanya tertarik mencoba ngopi di bawah payung-payung di bawah kerindangan pohon keinginan saya bergeser ke mencoba soto yang sepertinya menggoda seperti yang dilahap oleh bapak-bapak di sebelah saya. Wow! Rasanya boleh juga. Berbeda dengan rasa soto-soto di Jawa. Kuahnya juga berbeda.
Urusan selesai, saatnya makan-makan. Melalui panduan referensi terpercaya yang ditelfon bolak-balik berulangkali karena kami sempat bingung ketika sampai di simpang enam. Oalah…ternyata restoran yang dituju hanya berapa koprolan saja dari kantor gubernur. Sebuah restoran yang menyajikan makan secara prasmanan. Otak saya sudah bersorak-sorak melihat seafood dengan berbgai olahan yang seperti berlomba-lomba berteriak minta dicicipi.
Dengan pertimbangan tidak mau ribet, saya memilih makan cumi-cumi dengan kuah hitam pekat. Satu jenis makanan yang tidak boleh dilupakan kalau anda makan makanan khas suatu daerah. Sambal! Saking sukanya sama sambal, saya sering memaafkan rasa makanannya kalau sambalnya enak. Itu buah dari pengalaman 3 tahun tinggal di Lombok. Di restoran ini ada tiga pilihan sambal yang karena bingung memilih yang mana, saya ambil ketiga-tiganya. Di sambal yang pertama lidah saya langsung mendeteksi rasa nanas yang segar. Hmmm…saya suka yang ini. Sambal kedua cukup familiar; rasa udang-udang kecil yang lebih kecil dari ebi yang kalau di kota saya disebut sepi (dibaca seperti membaca 'semi' pada kata 'semi permanen'). Sambal yang ketiga yang paling pedas. Berisi irisan bawang merah dengan aroma ikan yang menggigit. Sayangnya saya lupa nama setiap jenis sambal itu. Tapi kalau anda ke Tanjungpinang, wajib dicoba.
Saya agak menyesal karena makan soto sebelumya. Akibatnya perut saya tidak bisa lagi mengakomodir keinginan otak saya untuk mencicipi makanan-makanan laut yang membuat ngiler itu lebih banyak lagi. Akan tetapi kami masih sempat mencomot beberapa potong kue untuk bekal dalam perjalanan pulang. Biasa mak-mak. Harus tetap jinjing sana dan sini. Dan saya bersyukur dengan kebiasaan bagus banget itu. Saya nggak bakal kelaparan.
Hari sudah beranjak sore ketika kami kembali menyusuri jalan di tengah kota Tanjungpinang. Dengan pertimbangan bijak dari dua orang mak-mak teman perjalanan saya, kita memutuskan untuk segera kembali pulang ke pelabuhan agar bisa menyeberang kembali ke Batam sebelum hari gelap. Tapi kami menyempatkan untuk duduk-duduk ngopi ganteng di pinggir pantai yang tidak landai tapi berangin sepoi asoy geboy itu. Sebuah keputusan yang dikutuk oleh salah satu mak-mak setelah hujan dengan lebatnya mengguyur pantai. Kalau saya sih malah senang banget. I love rain! Hujan selalu memberi saya syahdu.
Walaupun ada sedikit tragedi lupa yang selalu menghampiri saya kalau sedang trance dengan rasa senang ketika jalan-jalan, perjalanan kali ini sangat menyenangkan. Kali ini saya meninggalkan botol minum Tupperware kesayangan saya di restoran. Dengan tersipu-sipu malu yang membuat saya tambah ganteng kinyis-kinyis (oke, bagi yang tidak setuju, harap maklum dan diam), saya harus kembali naik angkot untuk menjemput si Tupperware itu.
No comments:
Post a Comment
Whaddaya think?