Susana
Puri Ubud sangat sibuk dari tadi pagi. Para volunteer dan panitia Ubud Writers
and Rreaders Festival sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk Gala opening
acara ini nanti sore. Festival yang disebut oleh Bazar UK Magazine
sebagai one of the top six best literary festival in the world ini
diadakan setiap tahun di Ubud. Saya sudah berancang-ancang mencari cara
bagaimana caranya agar bisa masuk karena acara ini terbatas. Lucky me, saya
mempunyai sahabat yang restorannya menjadi sponsor dan mengajak saya masuk
bersama dia.
Sambil
menunggu sore, saya berjalan-jalan menyusuri jalanan Ubud, mengagumi karya
seni, interior butik dan art shop, eksterior kafe dan resto yang semuanya saya
rekam dengan jepretan lensa kamera saya.Gabungan culture, alam, café-café,
artshop, restoran, handicraft dan senyum dan keramahan khas Bali membuat Ubud
menjadi magnet.Saya banyak menemukan alam yang juga indah namun terasa biasa
karena tidak mempunyai budaya yang mempesona seperti di Ubud.Pantas saja
hermawan Kertajaya menulis buku dengan judul yang sangat menyanjung Ubud, Ubud;
The spirit of Bali.
Langkah
saya terhenti di depan sebuah bangunan sederhana yang dari jendela kacanya
menyajikan barang-barang yang menarik buat saya. Jejeran rak buku dan
kursi-kursi cozy dan sebuah meja bar yang mungil. Saya membaca plang nama di
depan bangunan. Sebuah tulisan berbahasa Perancis tereja oleh saya; Rendevouz
Deux.
Kaki saya
langsung menapaki tangga berundak dan membuka pintu.Saya langsung jatuh cinta
dengan tempat ini.Gabungan sebuah toko buku dan kafe.Ini adalah konsep toko
buku yang selama ini ada dalam angan-angan saya yang ingin saya punyai
kelak.Kafe tidak selalu harus berkawin dengan musik.Ia bisa berpadu sempurna
dengan jejeran buku di rak-rak tinggi.
Pemilik
kafe yang sedari tadi berbahasa Prancis dengan beberapa pengunjung lansung
menyapa saya begitu saya meletakkan backpack di sebuah meja di ujung ruangan.
Saya menelusuri seluruh isi kafe dengan
mata berbinar. Buku-buku yang hampir semuanya berbahasa asing memenuhi rak yang
melapisi semua dinding.
Setelah
memesan segelas jus saya tidak sabar segera meraih beberapa buku.Saya ingin
mengambil beberapabuku sekaligus.Tapi mata saya hanya sepasang.Saya harus merelakan
yang lainnya mengantri.Sambil menelusuri halaman-halaman buku, saya meneguk jus
saya perlahan-lahan. Sensasi rasa buah mint dan jahe mengaliri lidah saya dan
memberikan sensasi rasa dingin mint di tenggorokan. Benar-benar nikmat.
Gelas
tinggi berisi jus di depan saya sekarang kosong dan berganti dengan Balinese Coffe di cangkir putih yang
mengeluarkan aroma khas kopi panas. Itu artinya saya masih akan tinggal lebih
lama lagi di sini.
Sesekali
saya mengalihkan perhatian dari bacaan di dean saya mendengarkan pembicaraan
para pengunjug yang berbaur dengan percakapan waiter yang melayani
pesanan.Beragam bahasa asing menerpa gendang telinga saya. Saya geli melihat
kesalahpahaman turis korea dengan waiter. Turis korea berusaha dengan bahasa
Inggris yang sangat minim untuk mengutarakan keinginannya. Sementara waiter
kebingungan memahami maksud si turis korea. Akhirnya si turis mengalah dengan
keterbatasan bahasanya.
Segerombolan
turis berwajah oriental lain masuk.Kedatangan mereka membuat kafe menjadi gaduh.Merk
berbicara cang cung cang cung dengan sangat gaduh. Oh, rupanya mereka berebutan
ingin memakai toilet. Muka ramah para waiter berubah masam melihat tingkah para
turis itu. Tipikal turis koreadi sini
adalah suka bergerombol. Mereka mengunjungi satu tempat dengan rombongan besar
dengan bus pariwisata dan dipandu oleh guide.Saya tidak tah uapakah itu karena
keterbatasan bahasa atau karena mereka dasarnya senang bergerombol.Tapi yang
pasti, di mana ada mereka pasti suasananya menjadi gaduh.Kebiasaan komunal
mereka menjadikan ada satu pantai yang mayoritas pengunjungnya adalah
wajah-wajah oriental.Ketika kemarin saya jalan pantai dreamland, mata saya
selalu tertumbuk kepada wajah-wajah oriental. Saya seperti sedang menyaksikan
adegan live Boys Before Flower.
Kalau
masalah gaduh dan manner, saya lebih suka dengan turis-turis dari benua
Eropa.Mereka tidak pernah gaduh di tempat umum.Kalau ada bule yang gaduh, bisa
dipastikan mereka adalah orang-orang Australia.Tiga teman Perancis saya selalu
bilang kalauorang-orang Australia adalah tukang bikin ribut. Biasanya mereka
berjalan sambil menenteng botol bir bintang dengan celana hawaian super melorot
pendek dan kaus katung atau tidak memakai kaus sama sekali. Sampai si Pascal
teman perancis dengan sangat judgmental bilang kalau orang Australia itu uneducated.Padahal
kan orang Indonesia berbondong-bondong kuliah ke Aussie.
Karena
kafe semakin gaduh, saya berkemas dan segera bergegas keluar. Lagipula sebentar
lagi Gala Openingakan dimulai. Sebuah SMS masuk ke handphone saya; Erik,
sorry! Ternyata tiket masuknya hanya boleh untuk satu orang.
Oops
berita buruk. Ah, masa iya sih nggak bisa masuk. Sekarang mari kita pakai
prinsip teman saya Fuad, everything is negotiable. Saya bergegas ke arah
Puri dan mendapati teman saya, Dewi yang
tadi mengirim SMS juga sedang berjalan ke arah Puri. Dia reflek menoleh karena
saya mengejutkannya dari belakang. Begitu samai di depan pintu Puri orang sudah
ramai mengantri untuk masuk. Saya agak berdebar, takut tidak bisa masuk.
Dewi
berbicara dengan seorang petugas yang tampaknya dia sudah kenal baik seorang
petugas lagi menyapanya dengan riang.Dua orang tadi mengatakan tidak apa-apa
kami masuk berdua.
Masalah
muncul ketika kami melewati pemeriksaan tiket dan x-ray.Dewi sudah melewati
pemeriksanan ketika petugas perempuan meminta undangan saya.
“I’m with
her!” kata saya dengan cepat dan tegas sambil menunjuk ke arah Dewi yang sudah
masuk. Petugas tadi melepas sayadengan senyum manis. Pengalaman saya, bahasa
Inggris sangat memudahkan urusan di sini.Kalau ingin pelayanan di restoran
tidak lama, berbicaralah pakai bahasa Inggris kepada waiternya. Biasanya
waiternya akan cepat dan lebih ramah daripada ketika menggunakanbahasa
Indonesia. Kenapa bisa begitu?
Menurut saya
sih ini hanya karena masalah mental orang Indonesia yang selalu melihat orang
asing lebih daripada orang Indonesia.Pengaruh dari sikap inferior.Lah, terus
wlaupun saya berbahasa Inggris, kanwajah saya Asia banget. Haha…! Saya sering
dikira orang Thailand di sini.
Ini di Ubud ya? Jadi pingin ke Bali nich, aku.
ReplyDeleteiya, itu Ubud:)
ReplyDeleteNggak rugi jalan ke Ubud, The Spirit of Bali. baca bukux pak Hermawan Kertajaya deh