Tuesday, October 11, 2011

Ubud Writers and Readers Festival 2#; Rendevouz Deux



Susana Puri Ubud sangat sibuk dari tadi pagi. Para volunteer dan panitia Ubud Writers and Rreaders Festival sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk Gala opening acara ini nanti sore. Festival yang disebut oleh Bazar UK Magazine sebagai one of the top six best literary festival in the world ini diadakan setiap tahun di Ubud. Saya sudah berancang-ancang mencari cara bagaimana caranya agar bisa masuk karena acara ini terbatas. Lucky me, saya mempunyai sahabat yang restorannya menjadi sponsor dan mengajak saya masuk bersama dia.

Sambil menunggu sore, saya berjalan-jalan menyusuri jalanan Ubud, mengagumi karya seni, interior butik dan art shop, eksterior kafe dan resto yang semuanya saya rekam dengan jepretan lensa kamera saya.Gabungan culture, alam, café-café, artshop, restoran, handicraft dan senyum dan keramahan khas Bali membuat Ubud menjadi magnet.Saya banyak menemukan alam yang juga indah namun terasa biasa karena tidak mempunyai budaya yang mempesona seperti di Ubud.Pantas saja hermawan Kertajaya menulis buku dengan judul yang sangat menyanjung Ubud, Ubud; The spirit of Bali.

Langkah saya terhenti di depan sebuah bangunan sederhana yang dari jendela kacanya menyajikan barang-barang yang menarik buat saya. Jejeran rak buku dan kursi-kursi cozy dan sebuah meja bar yang mungil. Saya membaca plang nama di depan bangunan. Sebuah tulisan berbahasa Perancis tereja oleh saya; Rendevouz Deux.

Kaki saya langsung menapaki tangga berundak dan membuka pintu.Saya langsung jatuh cinta dengan tempat ini.Gabungan sebuah toko buku dan kafe.Ini adalah konsep toko buku yang selama ini ada dalam angan-angan saya yang ingin saya punyai kelak.Kafe tidak selalu harus berkawin dengan musik.Ia bisa berpadu sempurna dengan jejeran buku di rak-rak tinggi.
Pemilik kafe yang sedari tadi berbahasa Prancis dengan beberapa pengunjung lansung menyapa saya begitu saya meletakkan backpack di sebuah meja di ujung ruangan. Saya menelusuri  seluruh isi kafe dengan mata berbinar. Buku-buku yang hampir semuanya berbahasa asing memenuhi rak yang melapisi semua dinding.

Setelah memesan segelas jus saya tidak sabar segera meraih beberapa buku.Saya ingin mengambil beberapabuku sekaligus.Tapi mata saya hanya sepasang.Saya harus merelakan yang lainnya mengantri.Sambil menelusuri halaman-halaman buku, saya meneguk jus saya perlahan-lahan. Sensasi rasa buah mint dan jahe mengaliri lidah saya dan memberikan sensasi rasa dingin mint di tenggorokan. Benar-benar nikmat.
Gelas tinggi berisi jus di depan saya sekarang kosong dan berganti dengan Balinese Coffe di cangkir putih yang mengeluarkan aroma khas kopi panas. Itu artinya saya masih akan tinggal lebih lama lagi di sini.

Sesekali saya mengalihkan perhatian dari bacaan di dean saya mendengarkan pembicaraan para pengunjug yang berbaur dengan percakapan waiter yang melayani pesanan.Beragam bahasa asing menerpa gendang telinga saya. Saya geli melihat kesalahpahaman turis korea dengan waiter. Turis korea berusaha dengan bahasa Inggris yang sangat minim untuk mengutarakan keinginannya. Sementara waiter kebingungan memahami maksud si turis korea. Akhirnya si turis mengalah dengan keterbatasan bahasanya.

Segerombolan turis berwajah oriental lain masuk.Kedatangan mereka membuat kafe menjadi gaduh.Merk berbicara cang cung cang cung dengan sangat gaduh. Oh, rupanya mereka berebutan ingin memakai toilet. Muka ramah para waiter berubah masam melihat tingkah para turis itu. Tipikal turis  koreadi sini adalah suka bergerombol. Mereka mengunjungi satu tempat dengan rombongan besar dengan bus pariwisata dan dipandu oleh guide.Saya tidak tah uapakah itu karena keterbatasan bahasa atau karena mereka dasarnya senang bergerombol.Tapi yang pasti, di mana ada mereka pasti suasananya menjadi gaduh.Kebiasaan komunal mereka menjadikan ada satu pantai yang mayoritas pengunjungnya adalah wajah-wajah oriental.Ketika kemarin saya jalan pantai dreamland, mata saya selalu tertumbuk kepada wajah-wajah oriental. Saya seperti sedang menyaksikan adegan live Boys Before Flower. 

Kalau masalah gaduh dan manner, saya lebih suka dengan turis-turis dari benua Eropa.Mereka tidak pernah gaduh di tempat umum.Kalau ada bule yang gaduh, bisa dipastikan mereka adalah orang-orang Australia.Tiga teman Perancis saya selalu bilang kalauorang-orang Australia adalah tukang bikin ribut. Biasanya mereka berjalan sambil menenteng botol bir bintang dengan celana hawaian super melorot pendek dan kaus katung atau tidak memakai kaus sama sekali. Sampai si Pascal teman perancis dengan sangat judgmental bilang kalau orang Australia itu uneducated.Padahal kan orang Indonesia berbondong-bondong kuliah ke Aussie.

Karena kafe semakin gaduh, saya berkemas dan segera bergegas keluar. Lagipula sebentar lagi Gala Openingakan dimulai. Sebuah SMS masuk ke handphone saya; Erik, sorry! Ternyata tiket masuknya hanya boleh untuk satu orang.

Oops berita buruk. Ah, masa iya sih nggak bisa masuk. Sekarang mari kita pakai prinsip teman saya Fuad, everything is negotiable. Saya bergegas ke arah Puri dan mendapati teman saya, Dewi  yang tadi mengirim SMS juga sedang berjalan ke arah Puri. Dia reflek menoleh karena saya mengejutkannya dari belakang. Begitu samai di depan pintu Puri orang sudah ramai mengantri untuk masuk. Saya agak berdebar, takut tidak bisa masuk.

Dewi berbicara dengan seorang petugas yang tampaknya dia sudah kenal baik seorang petugas lagi menyapanya dengan riang.Dua orang tadi mengatakan tidak apa-apa kami masuk berdua.

Masalah muncul ketika kami melewati pemeriksaan tiket dan x-ray.Dewi sudah melewati pemeriksanan ketika petugas perempuan meminta undangan saya.
“I’m with her!” kata saya dengan cepat dan tegas sambil menunjuk ke arah Dewi yang sudah masuk. Petugas tadi melepas sayadengan senyum manis. Pengalaman saya, bahasa Inggris sangat memudahkan urusan di sini.Kalau ingin pelayanan di restoran tidak lama, berbicaralah pakai bahasa Inggris kepada waiternya. Biasanya waiternya akan cepat dan lebih ramah daripada ketika menggunakanbahasa Indonesia. Kenapa bisa begitu?

Menurut saya sih ini hanya karena masalah mental orang Indonesia yang selalu melihat orang asing lebih daripada orang Indonesia.Pengaruh dari sikap inferior.Lah, terus wlaupun saya berbahasa Inggris, kanwajah saya Asia banget. Haha…! Saya sering dikira orang Thailand di sini.


2 comments:

  1. Ini di Ubud ya? Jadi pingin ke Bali nich, aku.

    ReplyDelete
  2. iya, itu Ubud:)
    Nggak rugi jalan ke Ubud, The Spirit of Bali. baca bukux pak Hermawan Kertajaya deh

    ReplyDelete

Whaddaya think?