Hujan gerimis membasahi
jalanan Ubud pagi ini. Hawa dingin
dataran tinggi yang menjadi spirit of bali ini semakin terasa dingin dengan
terpaan gerimis. Saya bergegas menyusuri jalanan basah bau tanah ke arah Museum
Antonio Blanco.Akan tetapi saya tiak berhenti di museum itu.Saya terus bergegas
menapaki trotoar menuju Campuhan.Tujuan saya adalah main venue perhelatan Ubud
Writers & Readers Festival di Left Bank lounge. Saya ingin mengejar masuk
ke discussion session yang dihadiri penulis travel favorit saya, Trinity, Naked
Traveler.
Rupanya saya telat.Segera saya
bergegas balik dengan langkah-langkah panjangdi tengah gerimis yang berubah
menjadi deras.Sepatu saya mulai basah.Akhirnya saya menyerah dan berteduh di
teras sebuah galeri lukisan di samping pohon Beringin di jalan yang menurun
menuju Museum Antonio Blanco. Saya tidak ingin kamera dan barang-barang di
backpack saya basah kuyup.
Saya melongok ke arah jalanan
dengan gelisah.Kalau hujan ini tidak berhenti juga saya bisa telat sampai ke
workshop. Iya, setelah tidak bisa mengikuti workshop travel writing bersama Rob
Liwall, travel travel writer yang terkenal itu. Kali ini saya mengejar
sessi full day workshop travel writing di Taksu Spa& Restaurant.Saya
belum tahu dimana tempat itu. Dengan modal city map di tangan saya
mencegat angkot tua yang lewat dan turun di depan pasar Ubud. Setelah melihat
peta, saya bergegas di bawah gerimis yang belum juga mereda.
Begitu menginjakkan kaki di Taksu
Spa& Restaurant, saya bergegas ke balkon lantai 3 tempat akan
berlangsungnya acara. Rupanya saya belum berjodoh dengan workshop ini.Saya
tidak bisa mendapatkan tiket langsung di venue.Saya harus kembali ke ticket
box di campuhan untuk mendapatkan tiket. Dengan ramah volunteer festival
menyuruh saya kembali danakan menunggu saya untuk memulai acara.
Ketika akan bergegas, seorang
gadis berambut pirang bergegas dari arah berlawanan menuju ke tampat saya dan
volunteer berdiri. Rupanya ia juga sedang berusaha untuk masuk ke workshop
seperti saya. Dia berharap masuk gratis dengan student pass. Melihat
gadis bule berdiri di depannya, volunteer bertanya apakah iamahasiswa asing.
Lalu dengan lancarmengalirlah kalimat-kalimat bahasa Indonesia tanpa cela dari
bibir mungilnya. Saya terpaku. Setengah terpesona dengan paras anggun dan kalimat bahasa indonesia yang meluncur
dari bibirnya,saya membatalkan niat untuk meninggalkan volunteer tadi.
Ketidakberuntungan tidak bisa
masuk workshop membawa kami berjalan beriringan di bawah rumpun kamboja di
sepanjang jalan Gautama.Kami sepakat untuk bersama-sama memburu tiket masuk ke
tiket box ke campuhan.Dari hasil percakapan kami, saya tahu namanya Aisha.Gadis
Bali beribu New Zealand dan Bapak Italia.Saya mengerutkan kening mendengar
namanya.Rupanya dia memahami keheranan saya.Saya teringat saya pernah bilang
kalau saya punya anak perempuan, kelak akan saya namai Aisha. Nama itu
kedengarannya indahdi telinga. Sama dengan nama ibu saya dan nama gadis ini.
“Yes, It’s a moslem name, but I’m
not a moslem” katanya sambil tersenyum.
“Erik muslim?tanyanya balik
sambil tersenyum.
Saya menganggukkan kepala sambil
terus berjalan.
Saya mengiyakan sambil terus
menembus gerimis.Berjalan di bawah gerimis dengan pakaian separuh basah seperti
ini menjadi sangat menyenangkan gara-gara ada gadis ini.
Pembawaan gadis ini sangat anggun
dan dewasa.Saya sampai terkecoh mengiranya mahasiswa. Dandanan dan gaya
berbicaranya sama sekali tidak mencerminkan anak SMA. Tubuhnya dibungkus oleh
gaunberwarna hijau muda jatuh lembut di atas lutut yang dipadukan dengan
cardigan cokelat.Pergelangan kakinya dilingkari dengan gelang jalinan tali
berwarna hitam dengan kaki terbungkus sepau kanvas warna hitam.Rambut pirangnya
yang panjang dibiarkan terurai menutupi lehernya yang jenjang.Saya setia
mendengarkan mulutnya berceloteh dalam bahasa Indonesia yang benar-benar
sempurna. Ah, mungkin saya terlalusubjektif. Saya terpesona oleh auranya
sehingga apapun yang diucapkannya pasti sempurna menurut saya. Ah, Aisha…!
Aisha heran mengapa saya hafal
jalan-jalan di Ubud. Sedangkan dia yang sudah 4tahun tinggal diBali doesn’t
know where is where. Padahal saya kan hanya modal sotoy dan yakin seperti
biasanya. Dan tentu saja city map di tangan sudah lebih dari cukup.
Ternyata kami tidak bernasib
baik.Tiket workshop full day tidak terjangkau oleh budget saya yang
semakin menipis karena Festival ini di luar agenda perjalanan saya kai ini.Aisha
juga bernasib sama. Dari awal dia sudah menempatkan dirinya sebagai student
yang mencari free pass untuk setiap sessi. Akan tetapi, free pass
student semuanya sudah habis. Akhirnya saya memutuskan untuk memburu free pass
event dan mencoba menyusup ke beberapa
session.
Saya kagum dengan cara Aisha
membawa diri. Salah seorang pengusaha malah mengira dia seorang penulis yang
diundang ke festival sehingga dia selalu ditawari kopi dan makanan plus diminta
tanda angannya dan foto bareng.Dengan pede dan memang seolah-olah dia adalah
penulis, dia melayani foto bareng pengusaha itu. Ketika kami bersama-sama
bergegas ke sessi “Japanese Wife” nya penulis India, Kunal Basu untuk
melihat-lihat foto karya fotografer kondang berdarah Turki-palembang, Rio
Helmi, dia dengansangat anggun dan PD langsung duduk di kursi VIP seolah-olah dia
adalah undangan. Dan dia memang kelihatan seperti itu.
Saya berpisah dengan dia di sore
itu karena dia memilih ikut sessi yang berbeda di tempat yang agak
jauh.Sedangkan saya memilih makan siang dulu dengan sastrawan Bima, Alan
Malingi dan melanjutkan menyusup ke “River, Ships and Award Winning Journalism”
bersama Chris warren, Mike Carlton dan Chris Warren.
Nice post. Mau tanya nich, museum Antonio Blanco, isinya apa aja ya?
ReplyDeleteThanks:)
ReplyDeleteMuseum antonio Blanco berisi Karya-karya Blanco