Sunday, October 9, 2011

Ubud writers & Readers Festival-Aisha



Hujan gerimis membasahi jalanan  Ubud pagi ini. Hawa dingin dataran tinggi yang menjadi spirit of bali ini semakin terasa dingin dengan terpaan gerimis. Saya bergegas menyusuri jalanan basah bau tanah ke arah Museum Antonio Blanco.Akan tetapi saya tiak berhenti di museum itu.Saya terus bergegas menapaki trotoar menuju Campuhan.Tujuan saya adalah main venue perhelatan Ubud Writers & Readers Festival di Left Bank lounge. Saya ingin mengejar masuk ke discussion session yang dihadiri penulis travel favorit saya, Trinity, Naked Traveler.


Rupanya saya telat.Segera saya bergegas balik dengan langkah-langkah panjangdi tengah gerimis yang berubah menjadi deras.Sepatu saya mulai basah.Akhirnya saya menyerah dan berteduh di teras sebuah galeri lukisan di samping pohon Beringin di jalan yang menurun menuju Museum Antonio Blanco. Saya tidak ingin kamera dan barang-barang di backpack saya basah kuyup.

Saya melongok ke arah jalanan dengan gelisah.Kalau hujan ini tidak berhenti juga saya bisa telat sampai ke workshop. Iya, setelah tidak bisa mengikuti workshop travel writing bersama Rob Liwall, travel travel writer yang terkenal itu. Kali ini saya mengejar sessi full day workshop travel writing di Taksu Spa& Restaurant.Saya belum tahu dimana tempat itu. Dengan modal city map di tangan saya mencegat angkot tua yang lewat dan turun di depan pasar Ubud. Setelah melihat peta, saya bergegas di bawah gerimis yang belum juga mereda.

Begitu menginjakkan kaki di Taksu Spa& Restaurant, saya bergegas ke balkon lantai 3 tempat akan berlangsungnya acara. Rupanya saya belum berjodoh dengan workshop ini.Saya tidak bisa mendapatkan tiket langsung di venue.Saya harus kembali ke ticket box di campuhan untuk mendapatkan tiket. Dengan ramah volunteer festival menyuruh saya kembali danakan menunggu saya untuk memulai acara.

Ketika akan bergegas, seorang gadis berambut pirang bergegas dari arah berlawanan menuju ke tampat saya dan volunteer berdiri. Rupanya ia juga sedang berusaha untuk masuk ke workshop seperti saya. Dia berharap masuk gratis dengan student pass. Melihat gadis bule berdiri di depannya, volunteer bertanya apakah iamahasiswa asing. Lalu dengan lancarmengalirlah kalimat-kalimat bahasa Indonesia tanpa cela dari bibir mungilnya. Saya terpaku. Setengah terpesona dengan paras anggun  dan kalimat bahasa indonesia yang meluncur dari bibirnya,saya membatalkan niat untuk meninggalkan volunteer tadi.

Ketidakberuntungan tidak bisa masuk workshop membawa kami berjalan beriringan di bawah rumpun kamboja di sepanjang jalan Gautama.Kami sepakat untuk bersama-sama memburu tiket masuk ke tiket box ke campuhan.Dari hasil percakapan kami, saya tahu namanya Aisha.Gadis Bali beribu New Zealand dan Bapak Italia.Saya mengerutkan kening mendengar namanya.Rupanya dia memahami keheranan saya.Saya teringat saya pernah bilang kalau saya punya anak perempuan, kelak akan saya namai Aisha. Nama itu kedengarannya indahdi telinga. Sama dengan nama ibu saya dan nama gadis ini.
“Yes, It’s a moslem name, but I’m not a moslem” katanya sambil tersenyum.
“Erik muslim?tanyanya balik sambil tersenyum.
Saya menganggukkan kepala sambil terus berjalan.

Saya mengiyakan sambil terus menembus gerimis.Berjalan di bawah gerimis dengan pakaian separuh basah seperti ini menjadi sangat menyenangkan gara-gara ada gadis ini.

Pembawaan gadis ini sangat anggun dan dewasa.Saya sampai terkecoh mengiranya mahasiswa. Dandanan dan gaya berbicaranya sama sekali tidak mencerminkan anak SMA. Tubuhnya dibungkus oleh gaunberwarna hijau muda jatuh lembut di atas lutut yang dipadukan dengan cardigan cokelat.Pergelangan kakinya dilingkari dengan gelang jalinan tali berwarna hitam dengan kaki terbungkus sepau kanvas warna hitam.Rambut pirangnya yang panjang dibiarkan terurai menutupi lehernya yang jenjang.Saya setia mendengarkan mulutnya berceloteh dalam bahasa Indonesia yang benar-benar sempurna. Ah, mungkin saya terlalusubjektif. Saya terpesona oleh auranya sehingga apapun yang diucapkannya pasti sempurna menurut saya. Ah, Aisha…!

Aisha heran mengapa saya hafal jalan-jalan di Ubud. Sedangkan dia yang sudah 4tahun tinggal diBali doesn’t know where is where. Padahal saya kan hanya modal sotoy dan yakin seperti biasanya. Dan tentu saja city map di tangan sudah lebih dari cukup.

Ternyata kami tidak bernasib baik.Tiket workshop full day tidak terjangkau oleh budget saya yang semakin menipis karena Festival ini di luar agenda perjalanan saya kai ini.Aisha juga bernasib sama. Dari awal dia sudah menempatkan dirinya sebagai student yang mencari free pass untuk setiap sessi. Akan tetapi, free pass student semuanya sudah habis. Akhirnya saya memutuskan untuk memburu free pass event dan mencoba menyusup  ke beberapa session.

Saya kagum dengan cara Aisha membawa diri. Salah seorang pengusaha malah mengira dia seorang penulis yang diundang ke festival sehingga dia selalu ditawari kopi dan makanan plus diminta tanda angannya dan foto bareng.Dengan pede dan memang seolah-olah dia adalah penulis, dia melayani foto bareng pengusaha itu. Ketika kami bersama-sama bergegas ke sessi “Japanese Wife” nya penulis India, Kunal Basu untuk melihat-lihat foto karya fotografer kondang berdarah Turki-palembang, Rio Helmi, dia dengansangat anggun dan PD langsung duduk di kursi VIP seolah-olah dia adalah undangan. Dan dia memang kelihatan seperti itu.

Saya berpisah dengan dia di sore itu karena dia memilih ikut sessi yang berbeda di tempat yang agak jauh.Sedangkan saya memilih makan siang dulu dengan sastrawan Bima, Alan Malingi dan melanjutkan menyusup ke “River, Ships and Award Winning Journalism” bersama Chris warren, Mike Carlton dan Chris Warren.

Saya pasti akan mengontak Aisha lagi kalau saya ke Bali nanti. Buat sekedar kopi dan foto session dan sharing-sharing foto karena dia juga suka Fotography dan traveling. See you Aisha…!

2 comments:

  1. Nice post. Mau tanya nich, museum Antonio Blanco, isinya apa aja ya?

    ReplyDelete
  2. Thanks:)
    Museum antonio Blanco berisi Karya-karya Blanco

    ReplyDelete

Whaddaya think?