Thursday, December 11, 2014

Catatan dari Batam 1; Coffee Culture

jarum jam baru menunjukkan angka 6 di pagi hari tapi kedai kopinya sudah ramai begini

Coffee culture describes a social atmosphere or series of associated social behaviors that depends heavily upon coffee, particularly as a social lubricant.
(Wikipedia)

Ketika punya kesempatan untuk tinggal di kota ini, bangunlah pagi-pagi, nikmati keindahan sunrise ataupun langsung beraktifitas. Pagi hari adalah waktu yang sayang untuk dilewatkan di kota ini. Buat saya yang tidak bisa alpa dari secangkir atau dua cangkir kopi pada pagi hari, kota ini adalah sekeping kecil syurga. Sebagai bagian dari kebudayaan Melayu, keluar rumah untuk menikmati secangkir kopi dan sarapan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat kota Batam. Saya tidak terlalu menyadarinya pada kunjungan pertama saya ke kota ini dua tahun yang lalu. Kali ini, berkat seorang kawan yang ingin bertemu untuk mengobrol dan bertukar pikiran, pagi ini saya memacu motor saya ke arah Jodoh, salah satu daerah padat pemukiman dan juga sentra bisnis di Batam. Yang menjadi petunjuk saya hanya satu kata; Morning Bakery.

Berbekal IMap dan ditambah tanya sana-sini dan nyasar, sampailah saya di sebuah bangunan dengan arsitektur yang sama sekali tidak dekoratif, hanya sebuah bangunan berupa beberapa ruko yang digabungkan menjadi satu. Akan tetapi, di bangunan dengan tampilan tidak menarik inilah tersaji apa yang saya cari selama ini; secangkir kopi racikan manual ala Melayu peranakan. Saya menjatuhkan pilihan saya pada sekangkir kopi O. Sama dengan di Sabah, Malaysia, kopi O, berarti kopi saja tanpa campuran apa pun. Pilihan kue-kue fresh from oven yang terpampang di etalase benar-benar membuat saya ngiler. Lapar mata membuat saya memilih 6 jenis kue dengan kue favorit menurut lidah saya adalah cake pisang.

Ramai penikmat kopi di Morning Bakery, Jodoh, Batam

Ngopi pagi di sini bukanlah sekedar menikmati secangkir kopi. Seperti kata mbah Wikipedia tadi, ia adalah social lubricant. Kopi di sini adalah secangkir minuman yang mengumpulkan orang-orang bertemu untuk berbagai kepentingan. Atau mungkin sebaliknya, mereka bertemu untuk kepentingan tertentu, tapi kepentingan itu akan menjadi lancar ketika ada kopi, yah bayangkanlah kopi sebagai lubricant (pelumas). Lihatlah di seberang meja sana; tampak sekelompok kokoh-kokoh muda dengan pakaian rapi yang memberikan kesan professional yang tampaknya mampir sebelum masuk kantor. Seorang bapak muda tengah asyik menyuapkan kue ke mulut anak laki-laki balita. Budaya ngopi pagi tidak melulu domain laki-laki karena di sudut sana sekelompok ibu-ibu tengah asyik ngerumpi, sekelompok gadis-gadis dengan dandanan chic tengah asyik membicarakan pekerjaan. Segerombolan perempuan muda di ujung sebelah sana mungkin adalah ibu-ibu muda yang memutuskan untuk nongkrong dulu sekedar untuk berbagi gossip dan curhatan rumah tangga setelah mengantar anak-anak ke sekolah.. Dan, di meja ini ada saya dan Dave, dua teman lama yang ingin berbagi kisah setelah lama tidak bersua.


Berbeda dengan kebanyakan ngopi ala Amerika yang lebih kepada take away, grab a coffee to go, ngopi di sini berkawin dengan budaya Melayu yang terkesan santai. Jadi, mari nongkrong dulu. Di balik geliat industri manufaktur, bangunan-bangunan berbentuk kotak-kotak ruko yang memenuhi kota, resort-resort mewah dan limpahan pengunjung negara tetangga di akhir pekan, saya jatuh cinta dengan satu geliat masyarakat di pagi hari; Coffee culture, ngopi pagi.


Di daerah lain, ngopi pagi lebih banyak dilakukan di rumah atau kedai kopi kecil yang bertahan di kampung-kampung. Berbeda dengan di derah-daerah dengan akar budaya Melayu dan peranakan, ngopi adalah kegiatan sosial. Memulai pagi dengan sarapan di Bakery dengan kopi dan aneka cake dan sarapan lain yg lebih berat bersama teman-teman, rekan bisnis, atau memboyong satu keluarga. Sungguh, kedai kopi ini tempat untuk semua kalangan social; selama ada lembaran rupiah di dalam kantong untuk sekedar menebus segelas kopi yang kalau memakai standar SG dolar yang banyak dipakai sebagai standar harga di sini, secangkir kopinya tidak sampai satu dolar. Dengan kenikmatan kopi yang saya hirup di cangkir di depan saya plus ambience ini, saya tidak keberatan untuk membayar lebih.




Dari semua kedai kopi di Batam, favorit saya adalah Morning Bakery yang di Jodoh. Akan tetapi kalau saya harus mulai bekerja agak pagi, saya cukup pergi ke Morning Bakery yang berada di daerah Sungai Panas. Kalau kebetulan anda berkunjung di akhir pecan, siap-siap untuk tidak kebagian tempat. 

Saturday, November 1, 2014

Cerita Jogja; Mari, Ngopi Bareng saya di Lagani



Jarum jam baru menunjukkan angka 9, tetapi  hari sudah panas menyengat di Jogja. Persawahan dan kebun tebu di belakang rumah saya hanya menyajikan warna cokelat tanah retak dan rumput kering. Kemarau berkepanjangan membuat tanah-tanah kering mencipta debu yang diterbangkan angin. Salah satu alasan untuk malas beraktifitas di luar. Meja tulis saya yang menghadap dinding  yang seluruh bagian atas dindingnya adalah deretan empat jendela yang member saya akses pemandangan ke arah taman kecil yang tanamannnya tetap bertahan hanya karena saya sering menyeprotnya langsung dengan shower dari kamar mandi  setiap saya mandi pagi atau sore sangat nyaman untuk tempat mengerjakan tesis sebenarnya. Saya tinggal membuka pintu di samping meja dan pemandangan ke teras belakang yang penuh tanaman tersaji. Akan tetapi saya sedang tidak ingin berada di rumah dan mengerjakan thesis  di rumah hari ini. Godaan untuk turun ke dapur memasak ini itu terlalu beresiko. Saya akan pergi ke Lagani, kedai kopi favorit saya di Jogja.

Tetangga yang tinggal di Apartemen di lantai bawah sana bertambah satu orang, pemuda Rumania berpostur jangkung dan langsing, dan sangat tampan tetapi pacarnya, gadis Indonesia ala-ala itu berbetis buesar, kebalikan dari cowok Rumania yang berpostur langsing dan cool itu.. Sejak saya kembali dari Jakarta, mereka belum pernah berpesta yang selalu membuat gaduh sampai pagi lagi. Tapi Keponakan saya yang menginap di rumah ketika saya pergi ke Jakarta bercerita bahwa mereka pernah membuat pesta yang sangat gaduh sehingga membuat keponakan saya tidak bisa tidur sampai pagi. Dan tentu saja keponakan saya itu tidak berani menggedor pintu mereka dan meminta mereka untuk tidak gaduh seperti yang biasa saya lakukan. 


Oke, saya tidak akan bercerita tentang tetangga saya itu pada postingan ini. Saya akan bercerita tentang sebuah sudut di Jogja yang menjadi tempat favorit saya untuk sekedar menyendiri dengan bacaan, mengerjakan paper, bertemu teman-teman, meeting point buat bertemu teman baru dan sekarang tempat saya menulis tesis kalau saya ingin suasana baru. Kalau saya tidak sempat ngopi di rumah, saya juga datang ke sini untuk mengisi tumbler kopi saya dan membawanya ke kampus. Saya juga berusaha untuk membawa teman yang datang dari luar Jogja untuk menikmati secangkir kopi di sini.  Kadang-kadang saya hanya datang sendiri tanpa alasan-alasan  tadi dan duduk sendiri di kursi di balkon hanya untuk melihat orang yang lalu lalang di depan coffee shop, profiling satu-satu pengunjung coffee shop yang kebanyakan adalah mahasiswa asing baik yang sedang belajar di kampus-kampus di Jogja ataupun yang sedang belajar bahasa Indonesia di sekolah bahasa yang bertebaran di area ini.

Lagani, nama coffee shop ini begitu tenar di kalangan anak-anak muda Jogja terutama di kalangan komunitas kreatif muda dan para pencinta kopi. Berjarak satu blok dari Lagani tempat saya menulis ini, masih di jalan yang sama  ke arah barat anda akan mendapati Lagani yang lain, sebuah coffee shop masih dalam payung manajemen yang sama. Bangunan kedua-duanya sama-sama menyatu dengan distro dengan brand yang ekslusif, handicraft & fashion accessories shop dan tentu saja semuanya produk Indonesia.

Dalam postingan ini saya akan bercerita tentang satu lagani dulu, lagani yang tidak hanya menyajikan kopi tapi juga makanan berat seperti pasta, pizza dan berbagai menu ayam, makanya namanya lebih dikenal dengan Pasta Lagani . Dan menu favorit saya adalah menu sarapan tentu saja. Saya selalu menyukai sarapan, it’s my favourite meal time. Dengan harga yang sangat murah, saya sudah bisa mendapatkan satu menu sarapan dengan pilihan salah satu racikan kopi; cappuccino, Americano atau Coffee au lait.  Menurut pengamatan saya pengunjung biasanya datang untuk kopi dulu dan duduk berlama-lama sibuk di depan laptop atau membaca, atau  seru mengobrol dengan teman-teman. Baru kemudian ketika mereka lapar, mereka memesan makanan berat.  Sepertinya alasan utama datang ke sini adalah kopi dan ambience.  Perpaduan berbagai macam ras, buku-buku tebal, aroma kopi, percakapan dengan berbagai bahasa yang sahut menyahut membuat saya betah berlama-lama di sini. Kalau anda adalah orang yang merasa bahwa a man with book is sexy, anda akan orgasm di sini.

Pertama kali menemukan bangunan coffee shop ini saya langsung suka. Kursi-kursi berwarna hijau mengelilingi  meja putih bundar di teras depan yang terbuat dari kayu yang tidak dicat menggoda saya untuk mampir. Vas bunga  yang terbuat dari botol bening di atas tiap meja memberikan efek manis. Untuk sampai ke coffee shop, anda harus melewati tangga kayu yang akan membawa anda ke teras lantai dua.  Begitu saya membuka pintu kaca geser, saya langsung mendapati sebuah meja bar dari kayu bercat biru yang terkesan rustic di samping pintu . Salah satu dining dicat putih seperti hanya dikapur dengan bata yang tidak diplester dengan gambar tangan biji-biji kopi, rempah yang diselang-selingi dengn kata-kata positif.  Sebelah didnding yang lain dibuat dari jendela-jendela bekas dengan cat biru, putih dan tanpa kayu memberikan kesan retro sekaligus rusty. Ada beberapa mural yang mencolok di tembok  rungan yang lain yang dipisahkan oleh ruangan dengan sekat kayu dan kaca dengan pintu kaca. Rungan ini hanya diisi oleh satu meja panjang dengan delapan kursi dengan karpet yang mengalasi lantai. Mirip dengan sebuah dining room di rumah sendiri.

Sementara di ruangan besar berbentuk huruf L tempat bar berada terdapat sebuah tembok dengan  lemari kayu berkaca yang menempel di sepanjang sisi tembok. Lemari  tersebut diisi oleh barang-barang dari masa lampau seperti kamera LSR manual antik, mesin ketik tua, permainan-permain kartu lama, radio tua dan barang-barang lawas lainnya. Ada sebuah pemutar piringanhitam di atas meja.   Desain meja-meja di dalam ruangan in itidak seragam. Kursi-kursi yang mengelilingi meja di setiap ujung ruangan berbentuk peti kayu yang tidak dicat dengan sofa di sebelah yang lain. Meja lainnya adalah meja kayu seperti meja tua di rumah kakek di desa. Lantainya pun terbuat dari tegel kayu berwarna cokelat dan krem.


Memasuki pintu kaca itu setiap berkunjung ke sini, saya selalu mendapatkan sapaan hangat barista yang berada di meja bar di belakang mesin kopi.
“Sendirian aja Mas?
“Habis dari mana Mas?
“Cappucinno panas ya?
“Rapi banget Mas? Ngedate ya?
“Temannya yang kemarin mana Mas?. Katanya sambil tersenyum.
Nah, kalau dua pertanyaan terakhir ini sudah menjurus kea rah kepo deh. Mungkin mereka kepo karena saya selalu membawa teman baru dengan perwakilan etnis dari berbagai belahan dunia ke sini dan  mengobrol berjam-jam dengan pesanan kopi berulang-ulang. Bisa jadi mereka mengira-ngira, apa hubungan saya dengan orang-orang tersebut. Bisa jadi.


Dengan kopi yang digiling langsung dari biji kopi di situ, sajian kopi yang anda dapatkan benar-benar fresh from the bean. Masalah rasa, mereka sudah terbukti dengan beberapa kali memenangkan kompetisi barista tingkat nasional yang memilih peracik kopi terenak dari seluruh pelosok nusantara. Kopi yang enak, barista yang ramah berpadu dengan suasana yang homey membuat pelanggan selalu kembali. Mereka benar-benar memberikan personal touch dalam menyajikan kopi.

Jogja adalah syurga bagi para pencinta kopi. memang kota ini tidak mempunyai perkebunan kopi, tapi berbagai jenis kopi nusantara maupun belahan dunia lain bermuara dalam cangkir-cangkir kopi hasil racikan para barista andal dapat anda nikmati di ratusan coffee shop yang bertebaran di kota ini. Buat saya, kalau anda menginginkan kopi enak, lupakanlah kedai kopi jaringan internasional maupun nasional itu. Cobalah untuk memasuki kedai kopi di yang bertebaran di antara pemukiman, di dekat kampus atau di area food street seperti Prawirotaman atau Tirtodipuran. Berkaitan dengan kopi dan kafe, satu hal yang membuat Jogjakarta sangat berbeda dengan kota lain  adalah anda akan menemukan coffee shop ketika berjalan-jalan di mana saja, coffee shop tidak melulu berdiri di business area atau eating street. You’ll find your favourite coffee shop in a simple neighbourhood. Dan kebanyakan dari coffee shop ini bukan tempat nongkrong massal. Sepertinya, pencinta kopi mempunyai kedai kopi favorit masing-masing, dan kedai kopi favorit saya adalah Lagani ini. Ini bukan sekedar kopi yang enak, tapi juga ambience dan sedikit flirting. Lihatlah senyum di meja seberang sana. Itu saja sudah cukup menjadi oase buat panasnya Jogja hari ini.



Friday, October 10, 2014

Catatan Akhir Kuliah 1: Seandainya Kampus Punya Juice Bar!

Saya memutuskan untuk mulia menulis lagi catatan-catatan kecil kehidupan saya menjadi mahasiswa di Yogyakarta Hadiningrat ini. Berhubung ini adalah menjelang masa akhir kuliah saya, saya akan menamakannya catatan akhir kuliah. Sebenarnya,  catatan ini juga adalah kebutuhan otak saya untuk refreshing dari menulis tesis yang saya inginkan rampung dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ini. Begitulah.

Salah satu perkuliahan yang sangat berbekas di ingatan saya  dua semester lalu adalah perkuliahan Strategic Planning for Campus yang diampu oleh professor favorit saya. Profesor yang sudah sepuh ini fisiknya saja yang kelihatan sepuh tapi jiwanya masih muda. Kalau anda melihat gadgetnya maka mulai dari handphone, tablet dan laptopnya maka logo kinclong dari apel kecokot akan langsung nampak. Well, saya tidak sedang melabel bahwa muda itu identik dengan gadget canggih, tapi pemilihan brand beliau mewakilkan semangat anak muda; dinamis dan kreatif. Tapi, pada tulisan ini saya tidak sedang ingin membahas profil beliau. Saya akan bercerita satu tugas sederhana yang beliau berikan pada satu sessi perkuliahan kepada mahasiswa.

Pagi itu beliau meminta mahasiswa menuliskan satu ide tentang pengembangan fasilitas infrastruktur kampus untuk mendukung academic atmosphere. Mahasiswa bebas menuangkan idenya dengan prinsip singkat; what, why, dan how. Saya sendiri waktu itu menulis tentang bagaimana mengakomodir kebutuhan mahasiswa dengan menyediakan student lounge dengan konsep kafe, juice booth, dan convenient store di sudut-sudut strategis kampus. Semua berangkat dari pengalaman saya sendiri yang sangat kesulitan untuk mendapatkan makanan yang 'benar' dan kopi yang enak plus tempat yang nyaman untuk belajar dan bekerja di dalam kampus. Bayangkan kalau saya mempunyai jadwal kuliah jam 8 pagi sampai jam 4 sore dengan banyak waktu break diantaranya. Sangat tidak nyaman untuk keluar dari kampus hanya untuk sekedar mengisi tumbler kopi saya di Lagani atau harus menyeberang ke Pertamina Tower. Waktu yang saya habiskan untuk mengemasi tas dan barang bawaan, turun ke parkiran, menstarter motor, melewati checking di gerbang, terjebak macet, menunggu di coffee shop, kembali lagi ke kampus, terjebak macet, mencari tempat yang pas, membongkar barang dan mempersiapkan komputer, dan mulai kembali lagi menstarter mood untuk kembali belajar atau mengerjakan paper akan sangat banyak terbuang sia-sia. Dan tentu saja ada hambatan tak terduga yang muncul dalam perjalan tersebut. Misalnya, anda bertengkar dengan pengemudi yang menyebalkan di jalanan, ada makhluk bening yang membuat anda harus berhenti dan menyapa dulu, kemudian disambung dengan obrolan, atau mungkin kendaraan mogok di jalan.  Padahal bisa jadi ketika saya meninggalkan kampus untuk mendapatkan secangkir kopi itu, saya sedang dalam puncak mood untuk mengalirkan ide-ide saya ke dalam halaman-halaman iWork namun terputus karena kebutuhan perut atau mata saya yang harus didoping dengan kopi.

Kalau ada coffee booth di setiap sudut, saya bisa dengan gampang mendapatkan kopi saya tanpa membuang banyak waktu ataupun menurunkan mood kerja saya. Kalau ada juice booth, saya bisa mendapatkan fresh juice yang sehat dengan kualitas yang dikontrol oleh kampu. Bayangan saya, ada food & beverages commitee di kampus yang mengontrol standar dari makanan yang disajikan. Atau kalau saja kantin diseting dan dikelola dengan baik sehingga  menjadi pilihan prioritas mahasiswa untuk mendapatkan asupan nutrisi di kampus, mahasiswa akan semakin betah berkegiatan di kampus. Atau, kalau tidak mau repot, kampus bisa menggandeng chain coffee shop, juice bar, fruit bar atau milkbar yang tersebar di seantero Jogjakarta Hadiningrat dan mendapatkan sharing profit dari situ untuk menghindari keruwetan managemen dan resiko bisnis yang besar. Atau kalau mau profit maksimal tapi menanggung resiko bisnis besar, kampus bisa membuat manajemen sendiri untuk mengelola ini.

Kalau anda mengunjunhi kafe-kafe keren atau coffee shop hits di jogja, bisa dipastikan sebagian besar pengunjungnya adalalah mahsisiwa. Maka, ini saja sudah menjadi celah pasar yang besar. Belum lagi mahasiswa internasional yang diuntungkan oleh kurs mata uang mereka yang tidak keberatan untuk menghabiskan sekian puluh euro di kafe-kafe dan restoran di Jogja hanya karena alasan mereka butuh decent food, makanan yang sehat dan higienitasnya terjamin. Harusnya ini dilihat sebagai peluang oleh kampus sebagai usaha untuk menjaga kebutuhan nutrisi mahasiswa sekaligus sebagai peluang untuk mendapatkan profit. Well, membangun generasi itu kan tidak melulu aspek otak ya, tapi juga tubuh dan jiwa yang sehat juga. Kalau mahasiswa sehat, kehidupan akademiknya tidak terhambat.


Saturday, July 5, 2014

Bali Holiday; Anomali Coffee Seminyak







My favourite coffee place, the corner shop in Jalan Laksamana Oberoi is temporarily closed due to the major renovation, that Iknow from the notice written in the wall. Ha, I've come down faraway from Bukit Jimbaran to have good coffee time like I usually do everytime I visit Bali. I decide to drive around Seminyak area to find other cafe when my eyes stumbled on a building just few metres from Corner Shop, the name written in a big block letter was "ANOMALI COFFEE". I've never heard this name before. I decided to stop and go in the building. 





Once I entered the buiilding, I directly fell in love with this place. It's a rustic style interior with big coffee grinder placed in the front corner that all open. Beside the coffee grinder, the sacks of coffee bean piling up in gunny sacks. The smell of coffee that spreading up in the room is like aroma therapy for me. The barista deck is placed in the center of the room joining together with the displays, cashier and the racks for the cakes. Some tables are lining backing the wall and some other higher long tables in the left sides are layed with the face to face lay-out. The walls are full of murals about coffee. It's a great place to escape with bunch of workload. 




The barista who acts as a captain in that coffee shop welcomed me warmly. He asked me whether I been in Anomali before. When I said no, he explain me a brief profile of this coffee shop. It's a coffee shop which serves a fresh own- grinded coffee on the spot which using local coffee bean from all over Indonesia. For you who live in Jakarta, this coffee shop has its brand in the city. 





Once I sipped my cappucino, I decided their cappuccino is as good as the one served by my favourite coffee shop in Jogja, Lagani Coffee. I always try either cappucinno or coffee latte at the coffee shop that I firsly visit. These two variants are my favourite ever. 




I ended up also buying a coffee tumbler as a souvenir from this place. I actually allocated that budget to buy a coffee tumbler from any Starbucks in Bali. 

Monday, March 3, 2014

Singapore City Tour; Clarke Quay in My Mind

Langit sore perlahan-lahan memudar menuju gelap. Angin bertiup sepoi-sepoi cukup membawa kesegaran setelah beberapa saat terjebak di ruang-ruang bawah tanah stasiun MRT dan pusat perbelanjaan, The Central. Lampu-lampu kota mulai menyala. Ramai pengunjung yang memenuhi pinggiran Riverside di Clarke Quay menambah semarak sore di pinggiran Singapura river. Beberapa laki-laki muda dengan tampang kaukasia berjalan santai menyandang tas dengan es krim di tangan. Negara ini telah menjadi tujuan pemuda-pemuda negeri barat untuk memulai karir internasional. Tampang India, Bangla, Chinese dan Melayu bercampur dengan lalu lalang wajah Thai dan Vietnam. Para laki-laki dengan balutan kostum Sport dari Nike dan Adidas berlari-lari di sepanjang jogging track di antara lalu lalang wisatawan dan melewati deretan meja-meja restoran yang bertebaran di sepanjang sungai. Campuran aroma parfum yang semerbak dari para  laki-laki wangi tersebut bercampur antara spices, woods, flowers, fruits, dan entah apa lagi. Entah datang dalam kemasan Bvlgary, Armani, Lacoste, Hermes, atau Dior. Entah membawa nama merek mana lagi. Semua ramai menghampiri pembauan saya yang sangat sensitif mengendus wewangian lelaki yang terkirim lewat perantaraan angin senja di tepian sungai ini. Satu yang melekat dalam otak saya; semerbak wangi urban. Beginilah aroma udara urban yang meruap dari badan laki-laki dan perempuan negara berpenghasilan tinggi. Aroma udaranya saja sudah meruapkan kemakmuran. 

Bangunan antik dalam kemasan modern Swiss Merchant Hotel di depan saya menyiratkan bagaimana negara ini menjaga bangunan-bangunan bersejarah agar tetap menjadi bagian keindahan negara kota yang modern.  Semua menyatu dalam kemasan cagar budaya lampau yang terkemas apik berdampingan dengan kehidupan modern. Berjalan menyeberangi Read Bridge seakan diajak untuk kembali meneluri sejarah Temasek masa lampau. Bangunan-bangunan tua yang terjaga apik berdampingan dengan bangunan berarsitektur modern dalam wujud shopping mall, apartement dan taman-taman yang berdampingan menyumbang harmonisasi suasana. Pemusik jalanan melantunkan balada tepat di tengah Read Bridge di antara lalu lalang pejalan kaki dalam senja yang mulai temaram. Flash kamera pijar memijar dari gadget-gadget canggih dan lensa-lensa kaliber tinggi. Semua ingin mengabadikan sore yang rancak di tepian Singapura River di Clarcke Quay. 

Negara ini sangat berhasil menjaga cagar budaya menjadi aset wisata yang menguntungkan. Jembatan tempat saya duduk ini adalah Read Bridge yang dibangun pada masa penjajahan Inggris tahun 1888. Pada waktu itu hiduplah seorang saudagar yang bernama William Henry McLeod yang berhasil mengajukan petisi kepada kerjaan Inggris agar Temasek diposisikan langsung di bawah Kerajaan Inggris sebagai Crown Colony.  Untuk mengenang kebesarannya jembatan yang dibangun menggantikan Merchant Bridge yang terlalu rendah untuk dilewati tongkang-tongkang yang berlayar di Singaporean river inipun dinamakan dengan mengikuti namanya, Read Bridge. 

Menuju gelap hentakan irama Timur tengah dari restoran-restoran dan bar beraroma padang pasir di sepanjang  kompleks restoran di Clarke Quay semakin rancak. Meja-meja restoran di sepanjang sungai maupun di dalam mall dipenuhi orang-orang dengan pakaian terbaik. Komplek bangunan restoran ini adalah bangunan-bangunan toko dan loji tua tempo dulu yang masih terjaga bentuk aslinya di bawah atap konstruksi yang futuristik. Perpaduan yang menarik. Suasana ini sangat kontras dengan kota yang baru beberapa jam yang lalu saya tinggali. Beda Negara memang beda nasib walaupun berangkat dari sejarah yang mirip dan berada di wilayah yang berdekatan. 

Otak saya membawa saya dalam ingatan tentang Asian Century dan ASEAN Community yang saya paparkan di depan ratusan mahasiswa dan pelajar di kota Batam sana, kota dengan jarak tempuh kurang dari 1 jam dari sini. Melihat bagaimana kondisi negara ini dan membandingkannya dengan negara di mana kota yang baru saya tinggalkan berada, rasa-rasanya negara ini akan menang telak dalam kompetisi yang dihasilkan oleh free flow of everything yang menjadi implikasi dari skema kerjasama negara-negara ASEAn dalam platform ASEAN Community. Tentu dengan beberapa negara dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang u ggul seperti Malaysia dan Thailand. Berbicara tentang free flow of people, aneka tampang yang mewakili berbagai macam ras di dunia ini sudah cukup mewakili bahwa arusnya tengah mengalir di negara ini. 

Mata saya beralih kepada sekelompok muda-mudi yang berdiri bergerombol di ujung jembatan. Kelihatannya mereka dalam rentang umur 20an. Umur-umur yang sedang meniti tangga karir. Yang menarik perhatian saya adalah fitur wajah mereka. Belasan pemuda yang masih dalam balutan kemeja kantoran tersebut mewakili beberapa ras kaukasia, dan Asia. Lihatlah, negara ini telah menjadi tempat bertemu berbagai macam ras dalam setingan profesional. 

Dalam balutan kemeriahan tepi sungai Singapura di Clarke Quay, saya semakin asyik terbawa dengan suasana dan pikiran saya sendiri, menyimpulkan simpul-simpul informasi yang saya dapat tentang bagaimana Asia yang tengah menjadi fokus mata dunia dalam sebuah nama optimis Abad Asia. Saya tengah menyaksikannya sendiri dalam suasana urban yang saya selami dari tadi. Lalu munyul pertanyaan dalam pikiran saya; bagaiaman dengan negara kita? Siapkah generasi bangsa kita menyambut Abad Asia? Siapkah pemerintah menyetir bahtera bangsa kita denga kebijakan-kebijakan yang unggul? Tentu saja pertanyaan  tersebut juga adalah pertanyaan untuk diri saya. 

Monday, January 27, 2014

Ethiquette; Ruang Publik

Sore di Jogja hari ini hangat dan menyenangkan. Maka setelah menyelesaikan pekerjaan domestik, saya memutuskan untuk berangkat ke gym untuk beberapa set latihan. Lagipula, saya baru saja menyelesaikan minggu-minggu yang melelahkan dengan beban UAS dan final paper yang menumpuk. Beban saya semester ini jauh lebih banyak dari mahasiswa lain yang malah jauh berkurang karena perkuliahan telah berfokus kepada mata kuliah yang menjadi konsentrasi pilihan. Saya malah mengambil dua mata kuliah di jurusan Kebijakan Publik dengan beban kredit total 9 SKS di luar 14 SKS di jurusan saya sendiri. Dua mata kuliah itu menyumbang beban 5 final paper yang cukup berat, terutama policy paper yang dibuat sebagai skenario menghindari midle-income trap yang menghantui Indonesia. Rasanya setelah melalui minggu berat trsebut saya berhak untuk latihan gym panjang, berenang dan mungkin sauna. 

Saya tergelitik menulis postingan ini karena setelah berenang 10 putaran, saya merasa cukup terganggu dengan sekumpulan anak-anak muda berjumlah 8 orang yang menempati pool chair di sebelah saya. Mereka terdiri dari tampang lokal dan 3 tampang kaukasia yang perkiraan saya adalah mahasiswa asing. Mereka tampan-tampan dan cantik cantik yang dari fitur wajah dan semua yang melekat di tubuh dan gadgetnya, jelas mereka berasal dari peradaban modern. Tapi kecantikan dan ketampan tersebut langsung bernilai nol di mata saya karena perilaku mereka. Selain asap rokok yang mengepul, mereka memutar musik dari Iphone mereka yang disambungkan ke spekaer yang tentu saja menghasilkan suara yang keras. What? Am I in the kind of taman bermain somewhere in coast of Java with a bunch of Kampung people visiting? Selain itu, berkali-kali mereka berenang melintang yang menghalangi perenang lain yang berenang memanjang sebagaimana lazimnya. Well, rasanya dalam konteks seperti ini bukan saatnya untuk tampil beda deh. It doesnt't look creative at all. It's annnoying!

Dalam anggapan saya, mereka bukanlah orang yang tidak terpelajar yang asing dengan istilah common space dan etiket ketika berada di dalamnya. Di ruang publik, kita memang bebas untuk mengekspresikan diri dan melakukan hal yang kita sukai. Tapi hal yang harus diingat adalah, hak tersebut dibatasi oleh hak orang lain. Dalam konteks ini, hak tersebut adalah hak saya untuk menghirup udara yang bebas polusi asap rokok karena saya menjaga kesehatan saya. Saya juga berhak untuk tidak mendengarkan suara bising musik yang bukan selera saya tersebut. Bukankah teknologi sudah canggih sehingga musik tersebut bisa didengarkan melalui headset yang pastinya tidak mengganggu ketenteraman orang lain? Lagipula di pinggir kolam renang hotel ini jelas-jelas tertulis aturan dalam menggunakan fasilitas yang menekankan untuk memperhatikan kenyamanan orang lain, tertulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sekaligus. Well, kecuali mereka tidak memahami kedua bahasa tersebut atau mungkin rabun. 

Akhirnya saya juga tergelitik untuk menulis perilaku orang-orang di gym yang sepertinya tidak tahu tentang gym ethiquette. Atau sebenarnya mereka tahu tapi terlalu angkuh untuk mematuhinya. Dalam tata krama gym, sudah menjadi pengetahuan umum untuk mengembalikan alat dipakai ke tempatnya semula. Selain itu mengembalikan posisi alat ke posisi netral juga sudah menjadi peraturan umum di mana-mana. Tapi entah apa yang ada di pikiran orang-orang itu sehingga mereka meletakkan barbel berserakan dan membiarkan free weight machine dengan beban yang telah mereka set, bukan dikembalikan ke posisi nol. Apakah mereka berpikir bahwa mereka segerombolan makhluk istimewa yang mereka harus dilayani? Hey I'm a gift from God fro you. You have to serve me! Hellowww! Dan entah mengapa harus berbicara sambil berteriak-teriak di dalam ruangan seperti itu. Do you need attention Sir? Menurut saya ini adalah bentuk dari insekuritas sehingga mereka berpikir dengan berbicara ribut bergerombol orang lain akan terintimidasi. Thanks, not for me!

Selain membiarkan alat berserakan, kok mereka santai saja duduk di salah satu alat padahal tidak melakukan aktivitas latihan, malah asyik menekuri layar gadget. Tidakkah berpikir bahwa orang lain mungkin ingin menggunakan alat tersebut? Kalau buat saya sih gampang; saya tinggal menatap langsung ke matanya dan bilang; are you done? Akan tetapi ada orang lain yang entah karena budaya uwuh pakewuh malah mengalah instead of pushing to get what they deserve to. Di locker room juga sama. Selain bercakap-cakap dengan keras dan seringkali berteriak dan tertawa ngakak yang sangat gaduh di dalam shower room, mereka juga membiarkan handuk-handuk yang telah mereka pakai tergeletak di pantai instead of returning them to the towel storage. Sekali lagi kok enak sekali menambah pekerjaan orang lain untuk memungut handuk-handuk itu buat mereka. Yang menari adalah, mereka akan sangat senyap ketika tidak dalam gerombolan. Well, suatu hari saya tidak tahan dan menyelutuk, pindahan dari hutan Mas ya?

Akhirnya, karena saya menghargai hak saya, saya tidak mau hanya diam dan mengelus dada motok hasil latihan keras saya. Saya mendatangi gerombolan pemuda di samping saya dan dengan sangat sopan saya berkata;

"Mas, musiknya bisa didengarin sendiri saja? Kebetulan saya tidak sedang ingin mendengarkan musik sore ini"

Kelihatannya mereka cukup terkejut tidak menyangka akan ada orang yang protes dengan ketidaknyamanan yang mereka timbulkan. Dengan tampang memerah salah seorang yang bertampang bule meminta maaf dengan bahasa Indonesia yang dalam setingan biasa terdengar lucu, tapi tidak untuk saat ini. Sementara yang lainnya hanya memandang dengan pandangan bercampur heran dan takjub. 

Well, someone must stand for his right. Lagipula, perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil dan berani untuk menegur ketika melihat hal yang salah. Berani membicarakan hal-hal yang tidak lazim dibicarakan yang biasanya dihindari dengan kekhawatiran akan menyinggung dan merusak hubungan dengan orang lain. Mengalah dan menjaga perasaan orang lain tidak selalu bagus kalau hanya untuk menjaga agar suasana tetap harmoni dengan mengorbankan kenyamanan diri sendiri. Lebih baik mengungkapkan daripada memendam kekesalan di belakang yang hanya akan memberikan energi negatif pada diri sendiri.   Talk the untalkable, discuss the undiscussble. Value yourself, people will value you.