Monday, August 16, 2010

Pontianak #1; Love at the First Sight

Saya sampai di kota ini hampir tengah malam. Jadi, saya tidak bisa melihat banyak dalam remang-remang kota. Tapi yang pasti, kota ini mempunyai banyak sungai dan kanal. Itu saya simpulkan karena dalam perjalanan dari pelabuhan ke rumah sahabat saya, Ridho, saya melewati beberapa jembatan besar dan kecil beserta kanal-kanal kecil di kiri kanan jalan.


 

Keesokan harinya lah saya baru bisa melihat kota ini secara jelas. Hal yang paling menonjol adalah jalur sungai Kapuas yang membelah kota. Selain sungai Kapuas, sungai besar yang membelah kota ini adalah sungai landak. Makanya, untuk mencapai rumah sahabat saya itu, saya harus melewati dua jembatan panjang. Selain sungai besar tadi, hampir di kiri-kanan setiap jalan terdapat kanal-kanal (mau dibilang parit, terlalu besar) kecil.


 

Saya membayangkan kanal-kanal dan sungai di kota ini ditata dan dijadikan wahana wisata seperti kota air Venesia. Pasti tidak kalah cantik. Lagu opera yang dinyanyikan oleh mas-mas pendayung Italia itu diganti dengan dendang Melayu dengan iringan akordion. Wuihh....eksotis banget deh!


 

Tata kotanya hampir-hampir sama dengan kota Samarinda di Kalimantan Timur. Bedanya, Samarinda hanya dibelah sungai Mahakam sedangan Pontinak selain dibelah oleh sungai Kapuas juga dilintasi oleh sungai-sungai kecil dan kanal-kanal yang bejibun. Kalau di Samarinda, ada jalan besar yang langsung menyusuri sungai, disini tanggul sungai dipenuhi oleh bangunan.


 

Satu lagi yang membuat kota ini benar-benar unik adalah keberadaan etnis Cina yang begitu mendominasi. Di sepanjang jalan pasti bisa dijumpai koko-koko dan cici bermata sipit. Bedanya dengan etnis Cina di Jawa, chinese di Pontianak sangat berbaur. Profesi mereka pun bermacam-macam. Mulai dari petani, buruh pabrik, tukang becak sampai tauke-tauke besar. Dan tentu saja mereka adalah penguasa Ekonomi disini. Hanya di Pontianak saya melihat koko-koko putih bermata sipit sedang memanggul sayuran dari kebun atau mandi pagi di tepi sungai Kapuas. Begitu juga di sekolah umum yang menjadi client kantor saya, saya mendapati beberapa guru yang beretnis Cina. Agak susah juga sih membedakan mana etnis cina dan mana yang etnis dayak. Maklum, kulit dan mata mereka serupa. Putih-putih dan sipit. Tapi kata teman saya, kulit etnis dayak putihnya beda. Lebih pucat.


 


 


 

Setelah mengobrol dengan salah satu penduduk lokal, saya jadi tahu mengapa tiket pesawat dari Jakarta maupun Surabaya dengan tujuan Pontianak menjadi mahal gila. Rupanya ini high season karena Chinese yang ada di Jakarta dan Surabaya ramai-ramai mudik ke Pontianak untuk sembahyang kubur. Sebuah ritual rutin dua tahunan.


 

Dengan jumlah etnies Cina yang begitu banyak, jumlah warga Muslim di Pontianak hanya sekitar 52%. Itu yang saya dengar dari kajian di sebuah masjid yang saya ikuti pada hari kedua saya tiba di kota ini.

Hmm....saya masih punya waktu lebih dari 1 bulan untuk mengeksplore kota ini lebih dalam. Saya rasa, saya jatuh cinta dengan keunikannya.


 

No comments:

Post a Comment

Whaddaya think?