Monday, August 16, 2010

Road to Pontianak 1# Kapal Ekonomi dan Kapal Pesiar Ternyata Sama!

Saya sudah pernah menyaksikan potret masyarakat kebanyakan Indonesia melalui wajah kereta ekonomi. Dan menurut saya, itu sangat parah dan tidak manusiawi. Manusia berjubel dengan unggas dan barang yang bertumpuk-tumpuk yang melebihi muatan gerbong yang tidak berpendingin dengan perjalanan lebih dari 18 jam.


 

Ternyata pemandangan dalam kapal penumpang di dek ekonomi sebelas dua belas dengan pemandangan di kereta ekonomi. Dua belasnya kapal penumpang kelas ekonomi. Dalam kata lain, dek kapal penumpang ekonomi lebih parah. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana penumpang dengan anak-anak kecil kumal berjejal dalam dek yang panas dan pengap. Berasa masuk ke dalam bunker tentara jepang pada zaman penjajahan dulu (paling tidak seperti itulah yang saya tangkap dari cerita kakek saya). Bayangkan, menghabiskan waktu lebih dari 50 jam di dalam dek pengap dengan aroma bau badan yang beraneka ragam. Jangan tanya deh ada wangi Fahrenheit atau Higher Energy nya Christian Dior.


 

Bagaimana ceritanya saya yang selalu merasa "sok-bukan-kelas-ekonomi-mode-on" ini bisa terdampar ke dalam kapal penumpang kelas "bunker jepang" itu? Semuanya berawal dari tugas kantor ke Pontianak dengan dana pas-pasan dan harga tiket pesawat yang melambung tinggi sehingga menghempaskan saya ke dalam kapal penumpang kelas ekonomi.


 

Ketika memutuskan membeli tiket saja saya sudah merasa was-was. Menghabiskan waktu 2 hari 2 malam di tengah lautan dengan bayangan tenggelamnya kapal penumpang yang sering menjadi menu berita layar kaca, tidak pernah masuk dalam bayangan saya. Apalagi agen tiket itu bilang kalau selain kapal PELNI tidak ada yang berlayar dengan alasan gelombangnya sedang tinggi. Hhhh....makin bergidik lah saya. Saya hampir saja memutuskan untuk membeli tiket pesawat kalau di otak saya tidak terbayang barang-barang yang bisa saya beli dengan uang sebanyak itu. Ada sepatu Mas Yongki, jeans keren, jam tangan, parfum dan banyak lagi yang lainnya terus-menerus menyesaki otak saya.


 

Akhirnya toh saya harus tetap berangkat dengan kapal laut. Berbekal buku tebal, majalah berjibun, botol parfum di tangan dan Hand sanitizer beserta list mp3 yang sudah saya select, saya dan Ridho melangkah memasuki dek kapal. Dan tada....!


 

Saya langsung dihadapkan dengan penumpang yang bergelimpangan memenuhi dek ekonomi yang panas, berkabut karena asap rokok dan tentu saja sangat bau. Saya langsung shock membayangkan kalau saya harus melewati kondisi seperti itu selama lebih dari 48 jam.


 

Saya sangat beruntung karena tidak lama kemudian datang seorang ABK menawarkan kamar kepada kami. Akhirnya setelah merogoh-rogoh dompet dan mengucek-ngucek kantong kami menambah 125 ribu untuk bisa tinggal di kamar ABK dengan konsekuensi uang di dompet tinggal tidak lebih dari 20 ribu. Worth it lah! Saya jadi tahu ternyata ABK itu tinggal dalam kamar seperti dalam rumah biasa; ada kulkas, washtafel dan tempat tidur susun serta lemari pakaian. Tapi tetap saja tinggal dalam kapal dengan pemandangan ke depan biru, belakang biru, samping biru dan ke atas biru membuat saya merasa bete habis. Untunglah saya berhasil menghibur diri saya dengan merubah pandangan saya terhadap kenyataan seperti yang disarankan Mas Jack Canfield.


 

Saya mencoba menganggap ini dalam perjalanan liburan dengan kapal pesiar. Makanya saya berdandan dengan gaya liburan. Kaus V-neck berdada rendah, celana sebetis warna putih, sneaker putih, slayer di kepala yang dipadukan dengan topi fedora dan telinga yang dibekap oleh headset. Lumayanlah, saya bisa menghabiskan waktu di geladak dengan bacaan di tangan dan suasana santai seperti liburan walaupun berada di tengah lalu lalang penumpang yang dandanannya ya, gitu deh itu. Hasilnya saya mabok buku dan mabok music. Tapi toh saya akhirnya menghibur diri saya dengan kata-kata; Ternyata naik kapal ekonomi itu menyenangkan!


 

No comments:

Post a Comment

Whaddaya think?