Saturday, November 9, 2013

#Cerita Jogja: Merubah Rutinitas; Obat Anti Malas dan Bosan

Bosan dan malas menjadi hal yang paling menyebalkan ketika sedabg dihadapkan dengan tumpukan deadline pekerjaan maupun tugas kuliah. Pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan sehari-hari bisa menjadi jebakan rutinitas yang menyebabkan bosan, malas dan tidak kreatif. Hal inilah yang melanda saya beberapa hari sebelumnya. Saking malasnya, saya sampai malas untuk ngegym, malas hanya untuk pindah dari tempat duduk ke sofa yang lebih nyaman pada saat menonton televise, malas buat mengambil minuman di kulkas padahal jaraknya hanya beberapa langkah, malas melakukan rutinitas cuci muka sebelum tidur dan tentu saja malas menyentuh paper-paper yang dalam hitungan hari akan menghadapi deadline.

Setelah saya berpikir, saya berada di titik jenuh dari semua aktifitas saya. Setelah merenungkan semua rutinitas yang telah saya lalui, saya mendapat ide untuk merubah waktu aktifitas yang bisa saya kendalikan seperti ngegym. Saya merubah waktu ngegym dan berenang di pagi hari sebelum memulai aktifitas yang lain. Konsekuensinya saya harus membiasakan diri untuk tidur lebih awal agar tidak tidur lagi setelah subuh seperti biasanya. Ternyata beraktifitas di tengah  suasana pagi sebelum matahari bersinar terik sangat menyenangkan. Pagi-pagi buta saya sudah mulai membuat sarapan dan kopi kemudian membaca sedikit dan berangkat ke gym setelahnya.

Di gym pagi-pagi seperti itu ternyata sudah sangat ramai. Kebanyakan adalah para pekerja yang ngegym sebelum jam kerja. Berenang pagi-pagi menjadi sangat menyenangkan karena kolam renang seringkali hanya berisi saya. Serasa mempunyai kolam renang pribadi. Saya juga banyak bertemu orang  baru di gym yang tidak saya lihat sebelumnya karena saya biasanya ngegym di sore atau malam hari. Saya jadi tahu kalau mbak-mbak model berkulit eksotis itu ternyata ngegym di situ juga. Saya bertemu bapak-bapak dengan kacamata keren dengan gym bag super gede yang dipenuhi toiletries bermacam-macam. Dan dia selalu ditunggui oleh supirnya. Sepertinya bapak-bapak eksekutif. Tapi satu hal yang membuat saya penasaran, pejabat-pejabat kampus saya ngegym di mana ya? Or mereka tidak ngegym makannya gendut-gendut? Ada banyak sih anak kampus saya yang ngegym di sini, tapi semuanya anak kedokteran yang ke gym pun membawa diktat kuliah yang mereka baca sambil latihan kardio di treadmill.

Hasil dari merubah rutinitas tersebut, cukup memberikan perubahan yang signikan. Paper perlahan tapi pasti mulai terselesaikan karena saya ternyata lebih produktif di pagi, sore dan malam hari. Biasanya malam hari saya mudah tepar karena sehabis ngegym sore atau malam, saya sangat gampang untuk jatuh tertidur.


Mumpung sedang sendiri, saya berencana untuk merubah kebiasaaan sarapan saya dengan safari sarapan ke beberapa kafe yang tersebar di Jogjakarta. Rasanya pasti menyenangkan membaca atau mengerjakan paper sambil menikmati latte di salah satu kafe yang ada. 

Wednesday, November 6, 2013

Sit-in Class dan Student Mobilization; Unek-Unek Seorang Mahasiswa

Salah satu hal yang membuat peradaban manusia terus berkembang adalah karena adanya mobilisasi manusia baik itu antar kota, antar negara maupun antar benua. Mobilisasi ini kemudian menghasilkan interaksi, interaksi menghasilkan komunikasi dan pertukaran ide dan pada akhirnya mengarah kepada kerjasama.  Bayangkan ketika seandainya dulu Vasco da Gama tidak melakukan perjalanan dengan tim ekspedisinya (mobilization), maka belum tentu peradaban sebesar Amerika sekarang belum tentu ada. Negara ini pun kalau tidak ada mobilisasi orang-orangnya untuk mempelajari kelebihan peradaban negara lain yang lebih maju ataupun juga mengambil pelajaran dari negara yang terbelakang agar tidak melakukan kesalahan seperti negara tersebut, belum tentu Indonesia bisa berada pada posisinya yang sekarang ini.

Pergerakan ekonomi dan politik global membuat mobilisasi antar garis batas teritori semakin mudah dilakukan. Bahkan mobilisasi manusia tersebut menghasilkan kerjasama yang luar biasa seperti yang dilakukan oleh negara-negara Eropa yang membentuk Uni Eropa dimana bukan hanya mobilisasi antar negara yang semakin mudah tetapi juga kerjasama yang semakin tanpa batas. Bahkan mereka kemudian terhubung secara moneter dengan memakai satu mata uang tunggal yakni Euro. Secara regional Asia, kita pun akan menghadapi Asian community 2015 yang akan memberlakukan free transfers on goods and people.  Ada tiga kata kunci yang akan menjadi bahan cerita saya kali ini yaitu Mobilization, connectivity dan Cooperation.

Semua hal di atas tentu saja membutuhkan modal yang besar bukan hanya modal dalam arti sempit yang berupa uang tetapi terlebih mencakump modal manusia dan modal kebijakan. Modal manusia membutuhkan orang-orang yang berpikiran terbuka, melihat dengan perspective opportunity, dan bermental pembelajar. Ketika orang-orang mempunyai karakteristik tersebut mereka tidak akan menjadi orang yang takut dengan perubahan dan mencurigai hal-hal baru sebagai ancaman. Modal kebijakan menurut saya adalah kebijakan yang mengakomodir peluang, fleksibel dan deliberatif. Karakteristik kebijakan yang seperti ini akan menghasilkan peraturan yang tidak mengekang ide-ide baru dan menghalangi pergerakan perubahan.

Semester ini saya berniat mengambil SKS yang tidak terlalu banyak di program Master tempat saya belajar karena saya ingin mengikuti beberapa mata kuliah yang menurut saya sangat saya butuhkan untuk kompetensi saya ke depannya. Untuk itu saya berencana melakukan sit-in yaitu mengambil beberapa mata kuliah di program lain. Saya berniat mengikuti perkuliahan di program lain untuk kompetensi tersebut. Mata kuliah pertama yang ingin saya ikuti adalah Methodologi Penelitian, Analisis Kebijakan Publik dan konsep dan Isu Pembangunan. Mata kuliah yang saya inginkan tersebut tersebar di dua program Master berbeda di dua Fakultas yang berbeda pula. Untuk mata kuliah metodologi penelitian, saya beruntung saya bisa langsung bertemu dengan dosennya pada saat makan siang di kantin. Beliau sangat senang ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk sit-in di kelasnya. Segera setelahnya saya bertemu dengan dengan pengelola program Master tempat dosen tersebut mengajar untuk membicarakan prosedur sit-in di program tersebut. Awalnya jawaban yang saya dapatkan adalah bahwa mahasiswa program studi lain bisa melakukan sit-in class di program tersebut dengan persetujuan pengelola. Saya segera menanyakan bagaimana prosedur untuk mendapatkan persetujuan yang menurut saya wajar karena ini hal formal. Akan tetapi pada akhirnya saya sangat kecewa karena setelah lama menunggu, jawaban yang saya perolah adalah bahwa saya tidak diperkenankan untuk melakukan sit-in di program tersebut dengan alasan bahwa sit-in hanya diperbolehkan bagi mahasiswa fakultas tersebut saja.

Saya akhirnya menuju ke Master Administrasi Publik yang mempunyai program master Kebijakan Publik. Sampai di sana, saya diterima dengan sangat ramah oleh bagian akademik yang mendengarkan pemaparan tentang rencana dan keinginan saya. Dia memang tidak memberikan keputusan saat itu karena ia harus membicarakan dengan pengelola program dan berjanji akan menghubungi saya secepatnya.

Benar saja, saya tidak perlu menunggu keesokan harinya untuk mendapatkan keputusan dari pengelola program Master Kebijakan Publik. Bagian akademik menghubungi saya sore itu ketika jam kantor hampir usai. Mereka menerima saya sebagai mahasiswa sit-in dengan beberapa ketentuan procedural. Ib ukepala bagian akademik malah mengatakan salut dengan usaha saya untuk self educating memenuhi pendidikan saya yang tidak bisa disediakan sepenuhnya oleh program master tempat saya belajar. Saya sangat terkesan dengan respon, keterbukaan dan keramahan mereka.

Menurut saya, fleksibilitas untuk bermobilisasi antar jurusan bahkan antar universitas sangat diperlukadengan alasan-alasan sebagai berikut . Pertama, dengan mempunyai mekanisme mobilisasi sebuah universitas memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk belajar bidang yang di luar dari fokus bidangnya. Hal ini juga bisa membantu mahasiswa memilih untuk mengikuti mata kuliah tertentu yang sama dengan mata kuliah yang ada di jurusannya tapi dengan dosen pengampu yang berbeda yang lebih sesuai dengan pilihannya. Hal ini juga menjadi pilihan bagi mahasiswa yang mengulang mata kuliah tertentu tanpa harus menunggu beberapa semester sampai mata kuliah itu dipasarkan di jurusannya. Kedua, sistem mobilisasi seperti ini ketika diterapkan antar universitas bisa menciptakan kesetaraan dalam hal akses (equity access) terhadap kualitas pendidikan yang baik terhadap mahasiswa di Nusantara ini. Bayangkan berapa besar efek yang didapatkan oleh seorang mahasiswa Kebijakan Publik yang belajar di Universitas Nusa Cendana dengan mendapatkan kesempatan untuk mobilisasi satu semester di jurusan yang sama di Universitas Indonesia misalnya. Saya yakin dia akan mendapatkan pengalaman yang berbeda, cara pandang yang berbeda dan mungkin motivasi karena academic atmosphere dan kualitas perkuliahan yang dia dapatkan jauh lebih bagus daripada yang dia dapatkan di Universitas tempatnya kuliah. Ketika kembali, dia akan menginspirasi teman-temannya yang lain atau bisa jadi dia akan menjadi agen perubah di universitas tersebut. Ketiga, mobilisasi ini akan membuka sekat-sekat ekslusifitas bidang ilmu yang selama ini masih melekat. Dalam tantangan global seperti sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan semakin inter-disipli (inter-disciplinary) dimana hubungan antar bidang keilmuan membuat seseorang tidak cukup hanya mengusai bidang keilomuan yang menjadi fokusanya saja tapi juga fasih berbicara dalam konteks bidang keilmuan yang lain. Apalagi syarat untuk menjadi expert dan  pemikir zaman ini seseorang dibutuhkan untuk menjadi lebih general. Artinya, kita membutuhkan seorang spesialis yang berwawasan global, seorang ahli pendidikan yang tidak buta ekonomi, kebijakan, dan politik, seorang ahli ekonomi yang mengerti pendidikan dan biodiversity dan sebagainya.


Mungkin luapan pemikiran saya dalam tulisan ini masih sangat emosional sehingga sedikit ruwet. Tapi pada intinya, kita harus terbuka dan fleksibel atau dengan bahasa yang lebih spesifik menghilangkan sekat-sekat yang membatasi seseorang untuk belajar dan mengembangkan interestnya di bidang keilmuan yang dia inginkan.   Saya sendiri sangat merasakan keuntungan sit-in mengikuti perkuliahan Analisis Kebijakan Publik yang sangat membantu saya memahami sisi kebijakan dari bidang keilmuan yang saya pelajari karena semua yang dijalankan dalam pendidikan Tinggi yang menjadi fokus perkuliahan saya adalah produk kebijakan publik. 

Monday, November 4, 2013

#Cerita Jogja: My Sanctuary; Tempat Mengamati Orang di Jogja


Saya tengah dilanda jenuh akhir-akhir ini. Jenuh yang menggiring kepada kemalasan yang membuat saya jauh dari kata produktif. Idealnya saya perlu liburan singkat, bukan hanya sekedar libur dalam artian tidak beraktifitas tetapi liburan dalam artian melakukan perjalanan ke suatu tempat. Idealnya sih pantai. Tapi apa daya, saya di tengah-tengah semester yang padat dengan paper-paper yang menumpuk dan persiapan proposal tesis yang ironisnya masih jauh dari kata rampung. Untunglah saya mempunyai tempat yang saya anggap sanctuary yang untuk mencapainya saya tidak perlu melakukan perjalanan jauh ke luar kota, bisa dijangkau dalam waktu kurang dari 20 menit. Tempat tersebut adalah Health Club tempat saya excercise saban hari di Jogja.



Gym ini terletak di seuah hotel dan dikelola dengan sangat baik. Untuk membership selama1 tahun saya mendapakan fasiltas aerobics class, yoga class, body shaping class, sauna dengan whirpool, kolam renang dan tentu saja gym. Saya juga bisa berkonsultasi cuma-Cuma dengan dokter yang disediakan oleh Health Club ini. Hotel ini dikeilngi oleh halaman berumput yang luas  dengan pohon kamboja di mana-mana. Berada di dalam area hotel ini saya seakan berada jauh dari hiruk-pikuk kota Joga. Apalagi ketika berada di kolam renang. Saya merasa benar-benar seperti sedang berlibur karena saya bisa berenang sepuasnya, berbaring di pool chair dengan handuk renang yang seperti di pantai sambil membaca dan kalau saya mau, saya bisa memesan minuman dari bar di tepi kolam renang  dengan diskon 20 % dengan menunnjukkan kartu keanggotaan.


Setelah dua sesi kuliah di dua jurusan yang berbeda hari ini, saya memacu sepeda motor saya menuju Health Club untuk berenang. Saya ingin melakukan exercise seri Monday sesuai dengan panduan di Men’s Health sebenarnya, tapi punggung, paha dan bokong saya masih terasa sangat sakit karena saya mencoba seri Saturday pada sabtu kemarin. Saya butuh pijatan air di whirpool dan berenang untuk membuatnya mereda.


Jogja sangat panas belakangan ini. Kalau bahasa Jawanya, sumuk. Yaitu panas pengap yang membuat keringat mengalir membasahi pakaian walaupun kita tidak melakukan aktifitas apa-apa. Jadi, berenang adalah pilihan yang sangat tepat.


Di kolam renang hanya ada saya, seorang pemuda yang tampaknya international student dari Cina atau Taiwan dan seorang international student bertampang kaukasia. Bagaimana saya bisa tahu mereka adalah mahasiswa. Sangat gampang sebenarnya karena si tampang kaukasia misalnya, ia membawa buku tebal bertuliskan Macroeconomics yang sejak tadi menutupi mukanya di pool chair. Sementara si tampang mongoloid juga membaca buku yang tampak seperti diktat kuliah. Mungkin si tampang kaukasia adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang memang menjadi rumah bagi mahasiswa Internasional yang setiap semester selalu berdatangan. Saya rasa, keberadaan berbagai macam ras inilah yang membuat Jogja semakin menarik.


Pool guard yang selalu mengumbar sapaan ramah menyapa saya, menanyakan mengapa saya sendirian. Hahaha. Memangnya saya harus dating dengan siapa. Kalau dipikir-pikir sapaan ini juga menjadi salah satu pertanyaan pertama yang diajukan oleh orang-orang Indonesia ketika bertemu seseorang. Baik sebagai pertanyaan basa-basi maupun pertanyaan sungguhan. Menurut saya ini terbawa dari kebiasaaan orang Indonesia maupun Asia pada umumnya yang komunal, sering pergi beramai-ramai dan kumpul-kumpul. Apalagi ada istilah Jawa yang mengatakan mangan ora mangan sing penting ngumpul. Nggak saya banget. Saya terbiasa sendiri dan tidak terlalu suka kumpul-kumpul ala Indonesia.


Kalau kita perhatikan orang-orang Indonesia memang suka pergi beramai-ramai. Di tempat wisata misalnya, mereka senang bepergian dalam rombongan besar dan sangat rebut walaupun berisiknya masih di bawah level rombongan turis-turis china yang biasanya bepergian dengan tour bus di Bali. Di cafe misalnya, saya sering sekali mendapati rombongan anak-anak muda dengan kumpulannya yang membuat kafe itu menjadi gaduh sekali oleh mereka. Keberadaan mereka yang mayoritas sepertinya memberikan mereka rasa percaya diri untuk mendominasi. Dan tentu saja, selalu ada sesi foto-foto baik dengan kamera DLSR, kamera saku dan tentu saja kamera di ponsel yang semakin hari semakin canggih atau gabungan dari ketiga-tiganya.

Lihat saja tiga laki-laki yang baru dating itu. Sebelum mereka melepas pakaian untuk berenang mereka sibuk bergiliran foto-foto dengan latar belakang kolam renang, foto setengah basah, foto ketika nyebur dan foto ketika mereka hanya dengan swimming suit yang menurut saya hanya cocok dipakai sebagai dalaman untuk celana basket yang gombrong. Sepertinya harus ada yang memberi pengetahuan kepada para laki-laki tentang aturan dalam pakaian renang.


Ketiga lelaki yang tadi sibuk foto-foto sekarang mulai berenang yang ampun membuat kolam renang ini seperti tengah dilanda sunami kecil. Oke, selain harus ada yang mengajari mereka tentang pakaian renang, yang lebih penting sebenarnya adalah mereka harus belajar berenang dengan benar. Tidak harus seperti para atlit renang, tapi paling tidak berenang yang tidak menyebabkan air terciprat sampai ke sini-sini.



Okay, saya harus pergi sebelum buku saya basah oleh cipratan mereka. Lagipula sesi mengunjungi sanctuary saya hari ini cukup. Rasanya saya sudah ingin kembali menyentuh paper-paper saya yang terabaikan. 

Thursday, June 27, 2013

Dikutuk Naik Kereta Ekonomi

Ketika menulis postingan ini, saya sedang duduk di kursi gerbong ekonomi kereta Api Malabar, perjalanan balik ke Jogja. Awal perjalanan ini saja hawa-hawanya sudah tidak enak, penuh dengan kekacauan yang disebabkan oleh kecerobohan saya sendiri. Kecerobohan pertama adalah ketika saya akan membeli tiket di stasiun. 

Jam setengah sebelas siang Malang masih dingin yang membuat saya malas mandi. Berani mencuci muka saja sudah keren sekali. Di sini paginya awet sekali. Udara berkabut dan hawa dingin seperti ini bisa bertahan sampai sore. Saya ngebut ke stasiun Malang untuk membeli tiket Malioboro Ekspress yang menurut saya keberangkatannya adalah Jam 11.30 siang. Kebiasaan buruk saya adalah selalu membeli tiket kereta api go show. 

Di loket stasiun, dengan percaya diri saya minta  satu tiket Malioboro Ekspress. Mas-mas  penjual tiket memandang saya dengan pandangan heran bercampur kasihan. Rupanya saya salah mengingat jadwal keberangkatan kereta yang saya inginkan. Malioboro Ekspress berangkat dari Malang jam 8 pagi saudara-saudara. Tidak lebih dan tidak kurang. So, saya harus dihadapkan dengan kenyataan saya harus kembali naik kereta Api Malabar tujuan akhir Bandung yang saya benci banget. Apa pasal? Saya nggak rela disuruh membayar tiket tujuan Jogjakarta seharga tiket jurusan Bandung yang mana harga tiket untuk kelas Bisnis dua kali lipat harga tiket Malioboro Ekspress. Karena saya sudah terlalu kangen rumah di Jogja, saya akhirnya merogoh kantong dengan berat hati untuk menebus tiket yang saya benci itu. 

Stasiun Malang; Kekacauan Tingkat Dewa (Mabuk)
Saya benar-benar shock ketika melangkahkan kaki memasuki stasiun Malang. Manusia berjubel mengular bengkok-bengkok seperti ular keseleo mengantri tiket dengan dikawal banyak petugas berseragam. Orang-orang bergelesotan duduk di atas lantai dengan buntalan-buntalan besar, koper-koper obesitas atau carrier-carrier segede bagong. Petugas ceking berseragam security berteriak-teriak melalui mikrofon meneriakkan nomor antrian pembelian tiket dan loket tempat pembeliannya. Oalah, mengapa seribet ini ya? 


Bayangakan, untuk membeli satu tiket, pertama-tama saya harus mengisi form pembelian tiket dengan kolom-kolom bejibun di meja yang dihuni oleh dua orang mbak-mbak yang sudah kehilangan senyum. Setelah itu saya harus mengantri di loket dan menyerahkan form yang saya isi ke petugas loket dan kemudian menunggu petugas loket tertaih-tatih mengetik menyalin isi form yang saya serahkan. Setelah itu, saya harus menunggu dan kalau rela harus duduk di atas lantai seperti penumpang lain menunggu pintu ruang tunggu dibuka, dan tentu saja mengantri lagi menunggu untuk mendapatkan stempel di atas tiket saya dan mencocokkan tiket dengan kartu identitas. Baru deh saya bisa berjalan melenggang ganteng di ruang tunggu. Padahal kan saya sangat suka ruang tunggu, terutama ruang tunggu stasiun besar dan airport. Menurut saya ini benar-benar penistaan terhadap ilmu manajemen dan prinsip efisiensi. 


Untuk melayani 1 orang masuk ke ruang tunggu stasiun kereta api saja membutuhkan 7 tenaga manusia; 2 di bagian pengisian form pembelian, 1 petugas yang berdiri di samping antrian di depan loket, 1 di loket, dan 3 di pintu masuk ruang tunggu. Itu baru di satu stasiun. Bisa anda bayangkan berapa anggaran yang harus dikeluarkan oleh PT. Kereta Api Indonesia untuk menggaji karyawan yang begitu banyak. Sekali lagi, menurut saya yang penuh perhitungan ini, itu benar-benar penistaan terhadap efisiensi. Oportunity costnya terlalu besar untuk selembar tiket. Coba kalau kita putar ulang adegan saya membeli tiket tadi dengan versi ideal yang menurut saya lebih efisien dan menyenangkan. 

Versi 1
Saya berjalan lurus segaris memasuki peron dengan langkah-langkah panjang, kemudian mengantri di loket pembelian tiket. Ketika giliran saya, saya tersenyum manis ke petugas loket, menyebutkan tiket yang saya inginkan, menunjukkan kartu identitas kemudian bayar deh. Langkah selanjutnya tentu saja melenggang masuk ke ruang tunggu, duduk di coffee shop dan menyeruput kopi dengan ganteng. 

Versi 2
Saya melenggang santai sambil kipas-kipas muka pakai Ipad 4 (ditampar pakai Ipad), berhenti di depan sebuah mesin, tekan sana-tekan sini, masukkan sejumlah uang, dan akhirnya dengan ganteng mengambil tiket yang diprint otomatis oleh mesin. Langkah selanjutnya tentu saja melangkah lurus segaris ke ruang tunggu setelah menscan tiket di X-ray pintu masuk. Kemudian saya bisa duduk-duduk di coffee shop sambil cuci-cuci mata. 

Mungkin inefisiensi ini hanya terjadi di beberapa stasiun saja karena di Stasiun Tugu di Yogyakarta saya membeli tiket dan memasuki ruang tunggu dengan sangat gampang. Mungkin penerapan manajemen di stasiun tertentu terhalang oleh cultural barrier, budaya orang yang tidak gampang mengikuti aturan, budaya orang yang susah untuk mengantri. Dan believe me diselak orang diantrian itu membuat anda rajin-rajin mengelus dada (montok hasil latihan keras di gym). Hambatan besar dalam menerapkan manajemen memang adalah merubah mental orang. You can apply gorgeously good system but it doesnt constantly change your people. 

Nah kembali ke cerita saya. Mengapa saya bisa berakhir dengan naik kereta api ekonomi? Semua bermula dari kebiasaan saya membeli tiket go show dengan anggapan bahwa rute perjalanan Malang-Bandung bukanlah rute yang padat. Ketika berdiri di depan loket, dengan manisnya si Mbak penjual tiket bilang kalau yang tersisa hanyalah tiket kereta api kelas ekonomi. Sekali lagi, saya tidak rela membayar tiket kelas ekonomi yang lebih mahal daripada tiket Malioboro ekspress yang sayangnya sudah berangkat dan saya ketinggalan gara-gara lecerobohan saya sendiri.

Setelah mengantongi tiket, saya mengendarai motor menuju ke Baker's King. Menunggu keberangkatan tentu akan menyenangkan jika sambil baca-baca di sofa merah menyala pojok favorit saya sambil ditemani secangkir besar Vanilla latte (ini benar-benar besar, sebesar mangkuk sup di rumah saya). Hujan rintik-rintik, pagi yang awet dan sofa yang cozy membuat saya dan teman saya mengobrol dengan asyiknya. Sampai saya tersadar dan melihat jam. Oh my God, jam 12.33. Keretanya berangkat pukul 12.45. 

Secepat kilat saya berlari ke luar menuju tempat parkir. Sambil menghitung-hitung jumlah lampu lalu lintas yang akan dilewati dan titik kemacetan yang mungkin akan menghadang saya menarik gas sepeda motor dan ngebut semampunya menuju stasiun. Dan tentu saja saya mengutuk diri saya sendiri mengapa saya sampai sebegini ceroboh. Sampai di stasiun kereta mulai bergerak dan petugas pintu ruang tunggu tidak mengizinkan saya masuk.

Oh tidak. Saya tidak mau ketinggalan kereta. Not again! 
Sebersit ide melintas di benak saya. Ojek! Iya, ojek. Dengan harap-harap cemas saya akhirnya duduk di boncengan abang-abang tukang ojek dengan misi mulia mengejar kereta yang meninggalakan saya ke stasiun berikutnya, which is di kota lain, Kepanjen. Segenap doa-doa yang saya hafal terus saya bisikkan. Bukan do'a supaya tidak ketinggalan kereta tapi do'a supaya selamat dari kecelakaan. You know lah bagaimana kalau tukang ojek stasiun ngebut. Semua wangi parfum di badan saya hilang tertiup angin berganti dengan aroma tukang ojek. Rambut jingkrak menantang langit saya sudah tidak berbentuk lagi. Dan buruknya lagi, saya terlihat romantis dengan abang tukang ojek itu karena saya semakin erat memeluk pinggangnya. Saya tidak mau ambil resiko terlempar dari motor yang dikendarai dengan gila ini. 

Akan tetapi, si abang ojek memang pahlawan saya hari ini. Dia berhasil membawa saya sampai di depan stasiun dan masih ada waktu 3 menit lagi sebelum kereta berangkat. Tapi lihatlah nasib saya. Saya harus membayar dia dengan mahal kan untuk misi mulia nan gagah berani ini. Total duit yang saya keluarkan untuk membayar ojek ditambah harga tiket sudah menyamai harga tiket untuk kelas eksekutif. Selamat datang di gerbong ekonomi deh. 

Oh ya, gerbong kelas ekonomi itu artinya anda harus duduk berhadap-hadapan di kursi panjang yang masing-masing kursi diisi oleh 3 orang. So, di sepetak ruang kecil itu ada 6 orang yang duduk berhadap-hadapan. Kadang-kadang saling lirik kemudian melengos. Dan, gerbong ekonomi sekarang pakai AC loh. Tapi entah kenapa AC nya membuat saya nekat mencopot kemeja sehingga yang tersisa hanya tank top sexy saja. Nggak boleh protes lah. Namanya juga AC kelas ekonomi. 

Sampai di rumah nanti, kira-kira beginilah dialog yang akan terjadi;
"How was your trip?
"Owh, it so much fun! I enjoyed it!

Bohong banget kan? Mana berani saya cerita runutan sebenarnya. Bisa habis saya diceramahin tentang keteraturan, planning dan menghargai waktu. Dan itu bisa jadi bahan ceramah di kali lain ketika saya tidak sengaja melakukan kecerobohan lagi. Enggak lah, ini yang terakhir kok. 





Sunday, February 24, 2013

Menikmati Jogja 1# Nyasar di Babarsari

Jiwa muda saya cukup terusik. Apa pasal? Semua berawal Dari kesibukan saya travel bolak-balik Jogjakarta-Surabaya-Malang belakangan ini yang membuat saya lebih banyak menghabiskan akhir pekan untuk menikmati waktu di rumah daripada berada di luar. Minggu lalu misalnya, saya terpaksa memarkir motor berhari-hari di airport yang tentunya membuat saya harus membayar lebih untuk itu. Saya terpaksa melakukannya karena saya takut terlambat kalau harus naik taxi dan memilih ngebut sendiri ke Airport. Nah, pas kembalinya dari Surabaya saya memacu motor saya dari Airport dalam keadaan capek sekali. Gara-gara kecapekan saya nyasar ke suatu sudut kota Jogja yang belum pernah sengaja saya explore walaupun sudah 7 bulan saya tinggal di sini, Babarsari.


Para awalnya, saya berpikir saya tersesat daerah pelosok sampai saya menemukan deretan Kafe berselang seling dengan restoran, butik dan tentu saja angkringan dan kaki lima yang menjadi ciri khas Jogjakarta. Saya langsung menobatkan ini adalah area kehidupan malam yang paling hidup di Jogjakarta. Bertepatan dengan weekend membuat suasananya sangat ramai dengan pasangan-pasangan muda. Dibandingkan dengan area keramaian lain di Jogja seperti Sagan dan jalan Parangtritis misalnya, saya lebih tertarik dengan area ini. Suasananya lebih urban tapi tengan kekhasan Jogja. Keramaiannya tidak bisa dibandingkan dengan keramaian Seminyak di Bali atau Kemang di Jakarta karena sentuhan Jogja denganpopulasi mahasiswa yang padat memberikannya suasana yang berbeda. Suasana muda yang vibrant. Satu hal lagi, bagi Anda fans tampang Indonesia timur seperti Ambon manise, Flores, Timor Leste dan Papua, di sinilah tempat Anda mencuci mata. Dan, saya adalah salah satu dari fans itu!


Selain kehebohan orang-orang, hal yang saya sukai dari daerah ini adalah lokasinya yang memanjang mengikuti selokan Mataram. Itu pulalah yang membuat saya terus saja berkendara walaupun saya tahu saya tersesat. Saya memutuskan untuk terus berkendara pelan-pelan dan tidak bertanya kepada orang bagaimana caranya keluar dari daerah ini dan sampai ke rumah. Saya berkendara pelan-pelan sambil menikmati suasana yang sepertinya sudah lama tidak saya sentuh, kehidupan malam yang menggairahkan.


Saya teringat petunjuk teman saya yang bilang kalau kamu menemukan selokan Mataram, kamu tidak akan pernah tersesat. Ke arah utara, selokan ini akan membawa kita sampai ke Gejayan dan tembus MM UGM dan kalau terus lagi, Anda akan sampai ke dekat Borubudur karena selokan ini yang di uat oleh Sultan Jogja ini berawal di sana.


Benar saja, tidak berapa lama kemudian, saya sampai di daerah yang sangat familiar bagi saya, daerah kampus UGM. Saya langsung melaju menuju ring road yang menuju arah rumah saya dengan janji saya akan menghabiskan malam Minggu di Babarsari suatu saat dalam waktu dekat. Jiwa muda saya terusik oleh keramaian tadi. Saya kembali diingatkan oleh kehidupan malam di Seminyak yang biasa saya nikmati pada episode kehidupan saya yang telah lewat.