Salah satu hal yang membuat
peradaban manusia terus berkembang adalah karena adanya mobilisasi manusia baik
itu antar kota, antar negara maupun antar benua. Mobilisasi ini kemudian
menghasilkan interaksi, interaksi menghasilkan komunikasi dan pertukaran ide
dan pada akhirnya mengarah kepada kerjasama.
Bayangkan ketika seandainya dulu Vasco da Gama tidak melakukan
perjalanan dengan tim ekspedisinya (mobilization), maka belum tentu peradaban
sebesar Amerika sekarang belum tentu ada. Negara ini pun kalau tidak ada
mobilisasi orang-orangnya untuk mempelajari kelebihan peradaban negara lain
yang lebih maju ataupun juga mengambil pelajaran dari negara yang terbelakang
agar tidak melakukan kesalahan seperti negara tersebut, belum tentu Indonesia
bisa berada pada posisinya yang sekarang ini.
Pergerakan ekonomi dan politik
global membuat mobilisasi antar garis batas teritori semakin mudah dilakukan.
Bahkan mobilisasi manusia tersebut menghasilkan kerjasama yang luar biasa
seperti yang dilakukan oleh negara-negara Eropa yang membentuk Uni Eropa dimana
bukan hanya mobilisasi antar negara yang semakin mudah tetapi juga kerjasama
yang semakin tanpa batas. Bahkan mereka kemudian terhubung secara moneter
dengan memakai satu mata uang tunggal yakni Euro. Secara regional Asia, kita
pun akan menghadapi Asian community 2015 yang akan memberlakukan free transfers
on goods and people. Ada tiga kata kunci
yang akan menjadi bahan cerita saya kali ini yaitu Mobilization, connectivity
dan Cooperation.
Semua hal di atas tentu saja
membutuhkan modal yang besar bukan hanya modal dalam arti sempit yang berupa
uang tetapi terlebih mencakump modal manusia dan modal kebijakan. Modal manusia
membutuhkan orang-orang yang berpikiran terbuka, melihat dengan perspective
opportunity, dan bermental pembelajar. Ketika orang-orang mempunyai
karakteristik tersebut mereka tidak akan menjadi orang yang takut dengan
perubahan dan mencurigai hal-hal baru sebagai ancaman. Modal kebijakan menurut
saya adalah kebijakan yang mengakomodir peluang, fleksibel dan deliberatif.
Karakteristik kebijakan yang seperti ini akan menghasilkan peraturan yang tidak
mengekang ide-ide baru dan menghalangi pergerakan perubahan.
Semester ini saya berniat
mengambil SKS yang tidak terlalu banyak di program Master tempat saya belajar
karena saya ingin mengikuti beberapa mata kuliah yang menurut saya sangat saya
butuhkan untuk kompetensi saya ke depannya. Untuk itu saya berencana melakukan sit-in yaitu mengambil beberapa mata
kuliah di program lain. Saya berniat mengikuti perkuliahan di program lain
untuk kompetensi tersebut. Mata kuliah pertama yang ingin saya ikuti adalah
Methodologi Penelitian, Analisis Kebijakan Publik dan konsep dan Isu
Pembangunan. Mata kuliah yang saya inginkan tersebut tersebar di dua program
Master berbeda di dua Fakultas yang berbeda pula. Untuk mata kuliah metodologi
penelitian, saya beruntung saya bisa langsung bertemu dengan dosennya pada saat
makan siang di kantin. Beliau sangat senang ketika saya mengutarakan keinginan
saya untuk sit-in di kelasnya. Segera setelahnya saya bertemu dengan dengan
pengelola program Master tempat dosen tersebut mengajar untuk membicarakan
prosedur sit-in di program tersebut. Awalnya jawaban yang saya dapatkan adalah
bahwa mahasiswa program studi lain bisa melakukan sit-in class di program
tersebut dengan persetujuan pengelola. Saya segera menanyakan bagaimana prosedur
untuk mendapatkan persetujuan yang menurut saya wajar karena ini hal formal.
Akan tetapi pada akhirnya saya sangat kecewa karena setelah lama menunggu,
jawaban yang saya perolah adalah bahwa saya tidak diperkenankan untuk melakukan
sit-in di program tersebut dengan
alasan bahwa sit-in hanya diperbolehkan bagi mahasiswa fakultas tersebut saja.
Saya akhirnya menuju ke Master
Administrasi Publik yang mempunyai program master Kebijakan Publik. Sampai di
sana, saya diterima dengan sangat ramah oleh bagian akademik yang mendengarkan
pemaparan tentang rencana dan keinginan saya. Dia memang tidak memberikan
keputusan saat itu karena ia harus membicarakan dengan pengelola program dan
berjanji akan menghubungi saya secepatnya.
Benar saja, saya tidak perlu menunggu
keesokan harinya untuk mendapatkan keputusan dari pengelola program Master
Kebijakan Publik. Bagian akademik menghubungi saya sore itu ketika jam kantor
hampir usai. Mereka menerima saya sebagai mahasiswa sit-in dengan beberapa ketentuan procedural. Ib ukepala bagian
akademik malah mengatakan salut dengan usaha saya untuk self educating memenuhi pendidikan saya yang tidak bisa disediakan
sepenuhnya oleh program master tempat saya belajar. Saya sangat terkesan dengan
respon, keterbukaan dan keramahan mereka.
Menurut saya, fleksibilitas untuk
bermobilisasi antar jurusan bahkan antar universitas sangat diperlukadengan
alasan-alasan sebagai berikut . Pertama, dengan mempunyai mekanisme mobilisasi
sebuah universitas memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk belajar
bidang yang di luar dari fokus bidangnya. Hal ini juga bisa membantu mahasiswa
memilih untuk mengikuti mata kuliah tertentu yang sama dengan mata kuliah yang
ada di jurusannya tapi dengan dosen pengampu yang berbeda yang lebih sesuai dengan
pilihannya. Hal ini juga menjadi pilihan bagi mahasiswa yang mengulang mata
kuliah tertentu tanpa harus menunggu beberapa semester sampai mata kuliah itu
dipasarkan di jurusannya. Kedua, sistem mobilisasi seperti ini ketika
diterapkan antar universitas bisa menciptakan kesetaraan dalam hal akses
(equity access) terhadap kualitas pendidikan yang baik terhadap mahasiswa di
Nusantara ini. Bayangkan berapa besar efek yang didapatkan oleh seorang
mahasiswa Kebijakan Publik yang belajar di Universitas Nusa Cendana dengan
mendapatkan kesempatan untuk mobilisasi satu semester di jurusan yang sama di
Universitas Indonesia misalnya. Saya yakin dia akan mendapatkan pengalaman yang
berbeda, cara pandang yang berbeda dan mungkin motivasi karena academic
atmosphere dan kualitas perkuliahan yang dia dapatkan jauh lebih bagus daripada
yang dia dapatkan di Universitas tempatnya kuliah. Ketika kembali, dia akan
menginspirasi teman-temannya yang lain atau bisa jadi dia akan menjadi agen
perubah di universitas tersebut. Ketiga, mobilisasi ini akan membuka
sekat-sekat ekslusifitas bidang ilmu yang selama ini masih melekat. Dalam
tantangan global seperti sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan semakin
inter-disipli (inter-disciplinary) dimana hubungan antar bidang keilmuan membuat
seseorang tidak cukup hanya mengusai bidang keilomuan yang menjadi fokusanya
saja tapi juga fasih berbicara dalam konteks bidang keilmuan yang lain. Apalagi
syarat untuk menjadi expert dan pemikir
zaman ini seseorang dibutuhkan untuk menjadi lebih general. Artinya, kita
membutuhkan seorang spesialis yang berwawasan global, seorang ahli pendidikan
yang tidak buta ekonomi, kebijakan, dan politik, seorang ahli ekonomi yang
mengerti pendidikan dan biodiversity dan sebagainya.
Mungkin luapan pemikiran saya
dalam tulisan ini masih sangat emosional sehingga sedikit ruwet. Tapi pada
intinya, kita harus terbuka dan fleksibel atau dengan bahasa yang lebih
spesifik menghilangkan sekat-sekat yang membatasi seseorang untuk belajar dan
mengembangkan interestnya di bidang
keilmuan yang dia inginkan. Saya
sendiri sangat merasakan keuntungan sit-in
mengikuti perkuliahan Analisis Kebijakan Publik yang sangat membantu saya
memahami sisi kebijakan dari bidang keilmuan yang saya pelajari karena semua
yang dijalankan dalam pendidikan Tinggi yang menjadi fokus perkuliahan saya
adalah produk kebijakan publik.
No comments:
Post a Comment
Whaddaya think?