Wednesday, November 6, 2013

Sit-in Class dan Student Mobilization; Unek-Unek Seorang Mahasiswa

Salah satu hal yang membuat peradaban manusia terus berkembang adalah karena adanya mobilisasi manusia baik itu antar kota, antar negara maupun antar benua. Mobilisasi ini kemudian menghasilkan interaksi, interaksi menghasilkan komunikasi dan pertukaran ide dan pada akhirnya mengarah kepada kerjasama.  Bayangkan ketika seandainya dulu Vasco da Gama tidak melakukan perjalanan dengan tim ekspedisinya (mobilization), maka belum tentu peradaban sebesar Amerika sekarang belum tentu ada. Negara ini pun kalau tidak ada mobilisasi orang-orangnya untuk mempelajari kelebihan peradaban negara lain yang lebih maju ataupun juga mengambil pelajaran dari negara yang terbelakang agar tidak melakukan kesalahan seperti negara tersebut, belum tentu Indonesia bisa berada pada posisinya yang sekarang ini.

Pergerakan ekonomi dan politik global membuat mobilisasi antar garis batas teritori semakin mudah dilakukan. Bahkan mobilisasi manusia tersebut menghasilkan kerjasama yang luar biasa seperti yang dilakukan oleh negara-negara Eropa yang membentuk Uni Eropa dimana bukan hanya mobilisasi antar negara yang semakin mudah tetapi juga kerjasama yang semakin tanpa batas. Bahkan mereka kemudian terhubung secara moneter dengan memakai satu mata uang tunggal yakni Euro. Secara regional Asia, kita pun akan menghadapi Asian community 2015 yang akan memberlakukan free transfers on goods and people.  Ada tiga kata kunci yang akan menjadi bahan cerita saya kali ini yaitu Mobilization, connectivity dan Cooperation.

Semua hal di atas tentu saja membutuhkan modal yang besar bukan hanya modal dalam arti sempit yang berupa uang tetapi terlebih mencakump modal manusia dan modal kebijakan. Modal manusia membutuhkan orang-orang yang berpikiran terbuka, melihat dengan perspective opportunity, dan bermental pembelajar. Ketika orang-orang mempunyai karakteristik tersebut mereka tidak akan menjadi orang yang takut dengan perubahan dan mencurigai hal-hal baru sebagai ancaman. Modal kebijakan menurut saya adalah kebijakan yang mengakomodir peluang, fleksibel dan deliberatif. Karakteristik kebijakan yang seperti ini akan menghasilkan peraturan yang tidak mengekang ide-ide baru dan menghalangi pergerakan perubahan.

Semester ini saya berniat mengambil SKS yang tidak terlalu banyak di program Master tempat saya belajar karena saya ingin mengikuti beberapa mata kuliah yang menurut saya sangat saya butuhkan untuk kompetensi saya ke depannya. Untuk itu saya berencana melakukan sit-in yaitu mengambil beberapa mata kuliah di program lain. Saya berniat mengikuti perkuliahan di program lain untuk kompetensi tersebut. Mata kuliah pertama yang ingin saya ikuti adalah Methodologi Penelitian, Analisis Kebijakan Publik dan konsep dan Isu Pembangunan. Mata kuliah yang saya inginkan tersebut tersebar di dua program Master berbeda di dua Fakultas yang berbeda pula. Untuk mata kuliah metodologi penelitian, saya beruntung saya bisa langsung bertemu dengan dosennya pada saat makan siang di kantin. Beliau sangat senang ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk sit-in di kelasnya. Segera setelahnya saya bertemu dengan dengan pengelola program Master tempat dosen tersebut mengajar untuk membicarakan prosedur sit-in di program tersebut. Awalnya jawaban yang saya dapatkan adalah bahwa mahasiswa program studi lain bisa melakukan sit-in class di program tersebut dengan persetujuan pengelola. Saya segera menanyakan bagaimana prosedur untuk mendapatkan persetujuan yang menurut saya wajar karena ini hal formal. Akan tetapi pada akhirnya saya sangat kecewa karena setelah lama menunggu, jawaban yang saya perolah adalah bahwa saya tidak diperkenankan untuk melakukan sit-in di program tersebut dengan alasan bahwa sit-in hanya diperbolehkan bagi mahasiswa fakultas tersebut saja.

Saya akhirnya menuju ke Master Administrasi Publik yang mempunyai program master Kebijakan Publik. Sampai di sana, saya diterima dengan sangat ramah oleh bagian akademik yang mendengarkan pemaparan tentang rencana dan keinginan saya. Dia memang tidak memberikan keputusan saat itu karena ia harus membicarakan dengan pengelola program dan berjanji akan menghubungi saya secepatnya.

Benar saja, saya tidak perlu menunggu keesokan harinya untuk mendapatkan keputusan dari pengelola program Master Kebijakan Publik. Bagian akademik menghubungi saya sore itu ketika jam kantor hampir usai. Mereka menerima saya sebagai mahasiswa sit-in dengan beberapa ketentuan procedural. Ib ukepala bagian akademik malah mengatakan salut dengan usaha saya untuk self educating memenuhi pendidikan saya yang tidak bisa disediakan sepenuhnya oleh program master tempat saya belajar. Saya sangat terkesan dengan respon, keterbukaan dan keramahan mereka.

Menurut saya, fleksibilitas untuk bermobilisasi antar jurusan bahkan antar universitas sangat diperlukadengan alasan-alasan sebagai berikut . Pertama, dengan mempunyai mekanisme mobilisasi sebuah universitas memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk belajar bidang yang di luar dari fokus bidangnya. Hal ini juga bisa membantu mahasiswa memilih untuk mengikuti mata kuliah tertentu yang sama dengan mata kuliah yang ada di jurusannya tapi dengan dosen pengampu yang berbeda yang lebih sesuai dengan pilihannya. Hal ini juga menjadi pilihan bagi mahasiswa yang mengulang mata kuliah tertentu tanpa harus menunggu beberapa semester sampai mata kuliah itu dipasarkan di jurusannya. Kedua, sistem mobilisasi seperti ini ketika diterapkan antar universitas bisa menciptakan kesetaraan dalam hal akses (equity access) terhadap kualitas pendidikan yang baik terhadap mahasiswa di Nusantara ini. Bayangkan berapa besar efek yang didapatkan oleh seorang mahasiswa Kebijakan Publik yang belajar di Universitas Nusa Cendana dengan mendapatkan kesempatan untuk mobilisasi satu semester di jurusan yang sama di Universitas Indonesia misalnya. Saya yakin dia akan mendapatkan pengalaman yang berbeda, cara pandang yang berbeda dan mungkin motivasi karena academic atmosphere dan kualitas perkuliahan yang dia dapatkan jauh lebih bagus daripada yang dia dapatkan di Universitas tempatnya kuliah. Ketika kembali, dia akan menginspirasi teman-temannya yang lain atau bisa jadi dia akan menjadi agen perubah di universitas tersebut. Ketiga, mobilisasi ini akan membuka sekat-sekat ekslusifitas bidang ilmu yang selama ini masih melekat. Dalam tantangan global seperti sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan semakin inter-disipli (inter-disciplinary) dimana hubungan antar bidang keilmuan membuat seseorang tidak cukup hanya mengusai bidang keilomuan yang menjadi fokusanya saja tapi juga fasih berbicara dalam konteks bidang keilmuan yang lain. Apalagi syarat untuk menjadi expert dan  pemikir zaman ini seseorang dibutuhkan untuk menjadi lebih general. Artinya, kita membutuhkan seorang spesialis yang berwawasan global, seorang ahli pendidikan yang tidak buta ekonomi, kebijakan, dan politik, seorang ahli ekonomi yang mengerti pendidikan dan biodiversity dan sebagainya.


Mungkin luapan pemikiran saya dalam tulisan ini masih sangat emosional sehingga sedikit ruwet. Tapi pada intinya, kita harus terbuka dan fleksibel atau dengan bahasa yang lebih spesifik menghilangkan sekat-sekat yang membatasi seseorang untuk belajar dan mengembangkan interestnya di bidang keilmuan yang dia inginkan.   Saya sendiri sangat merasakan keuntungan sit-in mengikuti perkuliahan Analisis Kebijakan Publik yang sangat membantu saya memahami sisi kebijakan dari bidang keilmuan yang saya pelajari karena semua yang dijalankan dalam pendidikan Tinggi yang menjadi fokus perkuliahan saya adalah produk kebijakan publik. 

No comments:

Post a Comment

Whaddaya think?