Guest house baru di seberang sawah di belakang rumah kami sudah
rampung dibangun. Tapi setiap hari masih ada saja pekerja yang mengerjakan
hal-hal kecil untuk merapikan guest house
itu. Balkonnya berhadap-hadapan dengan porch
belakang rumah kami sehingga ketika saya sarapan atau bersantai di teras saya
bebas memperhatikan kegiatan di sana. Thomas mengusulkan agar setengah balkon
saya dipasangi tirai bambu dengan alasan bisa bebas bertelanjang ria di sana.
Padahal selama ini kalau saya sedang sendiri di rumah, saya pasti berkeliaran
telanjang sampai ke balkon itu. Saya suka merasakan kehangatan matahari pagi tanpa selembar benangpun menghalangi. Setelah benar-benar rampung, guest house di
seberang sawah itu jadi mirip pom bensin karena cat merahnya yang mencolok sama
persis. Di halamannya ditanami pohon-pohon yang menurut perkiraan saya setinggi
lebih dari sepuluh meter yang ketika ditanam diderek dengan alat derek dari
kendaraan konstruksi yang sebagai tetangga tentu saya juga mendengar kebisingan
yang ditimbulkan dari pembangunan guest house ini. Bahkan pada pesta yang
mereka adakan untuk meresmikan guest
house ini mereka menimbulkan kebisingan sampai jauh malam.
Sawah yang memisahkan rumah saya
dengan guest house itu kini mulai
ditanam mengikuti hujan lebat yang beberapa hari ini mengguyur Jogja. Musim hujan telah resmi datang. Seperi
biasanya, nenek tua yang mengerjakan segalanya sendiri itu menggemburkan tanah
dan menanami lahannya sendiri. Beberapa hari kemudian tumbuhan-tumbuhan hijau
yang sepertinya kacang tanah sudah menghijau menutupi tanah cokelat yang
beberapa minggu sebelumnya kering. Tinggal menunggu kurang lebih tiga bulan
kemudian setelah mereka panen, maka tanamannya akan berganti dengan padi. Buah-buah pepaya yang hanya berjarak seuluran tangan dari pagar balkon saya menguning ranum.
Bunga-bunga kamboja di depan
rumah yang pada musim panas kemarin melimpah sekarang berkurang dan
komposisi daun menempati porsi terbanyak. Entah kenapa ibu-ibu yang sering
memunguti bunga kamboja dari luar pagar tidak pernah muncul lagi. Maka, halaman
rumput yang sepetak di bawah pohon kamboja itu penuh dengan bunga kamboja yang
kering, setengah layu dan yang masih segar. Suyono sudah jarang datang untuk
merapikan taman kecil itu, saya juga tidak pernah lagi mengumpulkan bunga kamboja
untuk saya tata di kamar mandi dan beberapa meja di rumah seperti dulu.
Tetangga baru kami, Chris adalah
seorang pemuda Amerika yang bekerja di Jogja. Ia tinggal dengan pacarnya.
Selang beberapa minggu kemudian pacarnya berganti dengan gadis asli Jogja yang
ketika pagi hari bau masakannya sangat mengganggu. Entah apa yang dia masak.
Suatu hari ketika saya di kamar mandi, saya tidak sengaja melihat keluar
jendela yang pemandangannya langsung ke kolam ikan dan dapur mereka di bawah
sana. Pemandangan yang saya dapatkan benar-benar menimbulkan suasana canggung
setelahnya. Saya melihat si Chris dan pacarnya tengah bergulat di atas meja
makan tanpa selembar benang pun melekat di tubuh mereka dan pandangan mata saya tertumbuk dengan mata pacarnya. Ketika saya
ceritakan ini kepada Dad, dia
mengomel panjang lebar dan mengira saya sengaja mengintip. Hahaha, sebaiknya
tidak bercerita.
Hal yang paling menyenangkan
adalah mangga sudah memenuhi kotak-kotak buah di Supermarket. Harganya turun
drastis dari harga ketika di luar musim yang mencapai 15 ribu per buah. Kemarin
kami membeli 4 buah yang besar-besar dan ketika ditimbang price tag yang tertempel hanya 13 ribu saja. Akhirnya pesta mangga
dimulai lagi. Lupakan buah-buah alternatif seperti apel, semangka, dan melon.
Keranjang buah di rumah kami akan selalu penuh dengan mangga dan pisang
sekarang. Tidak ada yang bisa menggantikan pisang. Maka, makan siang kami
sebelum gym session kemarin adalah protein shake dengan mangga dan pisang.
Topik Demographic Window, Midle-income
trap, ASEAN Community dan Asian Century sedang menjadi topik seru
di Jurusan Kebijakan Publik dan forum-forum mahasiswa jurusan sosial. Topik
yang tidak terlalu dipahami di jurusan utama yang saya ambil. Beruntung
semester ini saya mengambil kuliah di Jurusan Kebijakan Publik juga. Maka,
hampir semua paper saya untuk tugas di jurusan utama saya ada kaitannya dengan topik
di atas. Dan itu sangat memberi warna dan memancing diskusi panas di kelas.
Sayangnya, topik connectivity,
infrastructure and investment
yang saya ramu menjadi policy paper untuk scenario menghindarkan Indonesia dari
middle-income trap tidak disambut hangat oleh sang professor pengampu mata
kuliah Analisis Kebijakan Publik. Sepertinya dia secara tidak langsung mengarahkan semua kelompok
mahasiswa di kelas kami untuk membahas skenario pembangunan modal manusia
melalui pendidikan. Berkutat dengan data-data statistik dari World Bank dan Economic Forum membuat saya menyadari saya membutuhkan keahlian untuk meramu angka-angka ini untuk menjadi paragraf-paragraf fakta yang menarik. Dad adalah orang yang sangat ahli mengawinkan data-data statistik dengan konsep-konsep teori, baik demografi maupun ekonomi. Saya harus belajar darinya.
Minggu kemarin ditutup dengan dua
buah seminar yang sangat luar biasa. Semiar pertama diadakan oleh mahasiswa
Hubungan Internasional dengan topik Asian
Community di mana saya terlibat debat panas dengan salah satu pembicaranya.
Seminar ini berbahasa Inggris. Bukannya saya tidak menyukai bahasa Indonesia,
untuk beberapa kasus bebicara dengan bahasa Inggris terasa lebih bebas dan efektif termasuk dalam debat saya dengan salah satu pembicara seminar itu. Di akhir
sessi saya berkesempatan untuk berdiskusi dengan pembicara yang lainnya seorang
doktor muda Australia dari Melbourne
University yang fokus pada studi ASEAN. Beda diskusi dengan para akademisi asing adalah mereka menempatkan kita pada posisi yang setara tidak seperti
kebanyakan akademis kita.
Hari berikutnya saya mengikuti
seminar internasional yang lain yang menghadirkan direktur World Bank, menteri
perencanaan pembangunan nasional, dosen muda FEB UGM, direktur BRI dan kepala
kantor perpajakan. Seminar ini juga ful berbahasa Inggris dan dimoderatori oleh seprang penyiar Metro TV favorit saya Dalton
Tanonaka. Saya beruntung berkesempatan untuk mengemukakan pendapat dan
mengajukan pertanyaan di seminar ini. Pembicara favorit saya adalah ibu muda
yang menjadi direktur World Bank itu,
Vivi Alatas. Kemampuannya menggabungkan angka-angka statistic dengan
retorika yang menawan benar-benar memukau. Di akhir seminar saya sempat
terlibat obrolan dengan Dalton Tanonaka dan tentunya berfoto bersama. Seminar
ini benar-benar terorganisir dengan sangat baik dan professional. Sponsor-sponsor
besar yang mendukung acara ini mengingatkan saya akan bagaimana beratnya
mencari sponsor sebuah seminar ketika masih kuliah S1 dulu. Seminar atau acara
apapun yang diadakan oleh mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis selalu lebih
wah. Mereka bahkan menyediakan wall lengkap dengan fotografer pro untuk sesi foto dan menawarkannya kepada
setiap peserta untuk berfoto yang akan memasuki ruang seminar. Semua paniatianya memakai dress code yang menawan. Jalan masuk
dari meja registrasi ke ruang coffee
break sampai ke hall tempat
seminar dipagari oleh gadis-gadis cantik bergaun ungu. Setiap pembicara diantar
oleh seorang liaison officer.
Penutupan minggu ini adalah sesi
latihan panjang di gym ketika hujan lebat mengguyur di luar sana. Mengendarai
sepeda motor di tengah hujan lebat dimana sebagian jalanan berubah menjadi
sungai benar-benar pengalaman yang menyenangkan. Berendam di whirpool air panas setelah gym session
yang menguras tenaga di tengah cuaca
dingin seperti ini benar-benar mengembalikan energi. Saatnya menghadapi ujian
mid yang penuh dengan tugas-tugas paper. Selamat menyambut musim hujan Jogja!