Friday, December 4, 2009

The Violist


Kembali aku terdampar di kedai ini. aku lebih suka menyebutnya kedai walaupun didepannya jelas terpampang "Magnetto cafe".

Tempat ini selalu sukses membuat aku senang berada di dalamnya. ah, lebih tepatnya tenang. perpaduan aroma kopi dan lantai kayu cokelat ini selalu memberikan aku ketenangan yang susah dijelaskan.

Aku tidak tahu, apakah ketenangan itu datanganya dari suasana kedai ini atau memang aku yang mensyaratkan ketenangan dengan berada di kedai ini.

Kedai ini sempurna

Karena kedai ini menyediakan cangkang yang nyaman saat aku butuh menyendiri mencuri sedikit sunyi.

Karena kedai ini menyediakan secangkir cappuccino dan mocca kesukaanku.

Dimana lagi kedai yang menyediakan secangkir mocca yang ketika tegukannya bersentuhan dengan lidah langsung menyalakan pijar-pijar ketenangan. Damai


 

Karena, kedai kopi ini adalah panggung kecil yang menampilkan fragmen-fragmen hidup.

Lelaki temu janji dengan perempuan selingkuhan. Lelaki paruh baya yang mencoba kembali rumus cassanova, meyakinkan diri bahwa ia masih muda

Perempuan menyeka mulut anak lelakinya yang berlepotan krim dari sepotong kue cokelat. mengelapnya dengan sabar dengan sapu tangan putihnya, mempertontonkan kasih yang hidup


 

Seorang lelaki paruh baya yang mengajarkan anak lelaki kecilnya bermain kartu. menasbihkan "ke-ayaha-an" dalam dirinya. mencoba menghadirkan kebanggaannya sebagai seorang ayah

Lelaki menghibur belahan jiwanya dengan kado kecil dan perempuan menjerit kegirangan. Memang cinta butuh sering-sering diungkapkan


 

Di sinilah aku menyendiri mencuri sunyi

tenang

damai sekali


 

Dan sekali lagi kulihat dia

Melihat jemarinya yang menari di atas dawai biola meningkahi tongkat yang menggesek mendayu-dayu, meninggalan rasa

Lewat biola ia kirimkan isi hatinya, meruap bersama udara sore di kedai ini

dan rasa itu membiusku kini...

Kembali kulihat dia

Melihat matanya yang sendu, sesendu melodi yang ia mainkan sore itu

Setiap alunan biola yang melengking seolah berbicara

Kau tinggalakan aku kelu


 

Dan tatapannya menyapu ujung jalan yang terlihat dari jendela kedai kopi

Matanya bercerita

"Aku masih ingat sayang, saat pertama kali aku melihatmu di ujung jalan sana .. berlari-lari menghindari rinai hujan yang rindu ujung celana khaki-mu .... aku sudah jatuh cinta"

"Dan hari berikutnya..."

"Hari berikutnya..."

"Sampai kehadiranmu di ujung jalan sana membuatku kecanduan"

"Hari saat engkau buka pintu kedai ini, adalah hari paling menyenangkan buatku ... meskipun, engkau tak tahu"

"Jemariku seakan berjiwa saat engkau datang. Ia bersenandung girang. Ah, semoga saja rasa itu juga kau bisa raba"

"Aku kecanduan di kali pertama"


 

Ternyata benar, hidup itu adalah energi yang bertransformasi.

dari pojok ruangan kedai kopi ini, kurasakan hatinya bicara. Lewat denting, lewat mata, lewat air muka.

Sekarang aku semakin awas mengamati bahasa tubuhnya.


 

Wahai pemain biola, apa lagi yang engkau rasa?


 

Tak sengaja kucuri dengar

"Kasihan ya Mas Rangga....ditinggal pergi begitu cepat..."


 


 

2 comments:

Whaddaya think?