Tuesday, September 27, 2011

Mengurus Passport; Siapa Bilang Petugas Imigrasi Ribet?


Akhirnya saya punya juga kesempatan untuk mengurus passport setelah tertunda beberapa kali. Dokumen pelintas batas ini akan membawa saya menjadi warga global, warga dunia. Saya memilih untuk mengurus passport di kota kelahiran saya karena memang di KTP saya masih tercantum sebagai warga Kabupaten Bima. Selain itu, bertepatan dengan libur super panjang yang saya ambil dalam rangka lebaran. Dimana itu Bma? Googling deh.

Begitu sampai di Bima, saya baru tah kalau di kota tercinta saya itu tidak ada kantor imigrasi. Kantor imigrasi adanya di Mataram dan yang terdekat di Sumbawa dengan jarak tempuh 7 jam naik bus. Oh tidak!

Dengan menghibur diri bahwa saya akan menyaksikan pemandangan indah sepanjang jalan Bima-Sumbawa dan keinginan kuat untuk memegang passport, saya pun berangkat ke Sumbawa dengan diringi doa dan cucuran air mata dan bekal seadanya (oke, itu lebay!).

Ternyata rencana yang saya buat tidak sesuia dengan di lapangan. Seharusnya berangkat jam 6, saya dapatnya bus jam 10. Dengan hitungan di otak saya, berangkat jam segitu pun saya masih bisa engurus passport hari itu juga.tapi sekali lagi, realita berbicara lain. Saya baru sampai di Kota Sumbawa ketika sore menjelang dengan cahaya remang-remang dari balik semak-semak. Aduhh..! bakalan nginap deh. Belum juga berurusan dengan ribetnya kantor imigrasi, saya sudah harus ribet aja nyari tempat nginap di kota antah berantah ini.

Telfon sana-telfon sini, ternyata saya tidak perlu menginap di hotel karena saya punya family di sini. Menguhbungi family dan keluarga di saat butuh doang adalah hal ayang amat sangat prgmatis. Jadi, jangan ditiru. Akhirnya, saya menginap di rumah paman saya yang ternyata jaraknya cuma sekoprolan saja dari kantor imigrasi.

Keesokan paginya, saya sudah rapi jali berdiri di depan kantor imigrasi. Sengaja rapi jali karena saya sudah thu bakalan berurusan dengan petugas imigrasi yang katanya ribet. Jadi, saya tidak mau menambah masalah di penampilan. Mainstream saja lah.

Begitu mau melangkahkan kaki ke pintu kantor, saya dicegat oleh dua lelaki sekaligus. Hey! Saya memang menarik, tapi ngantri duonng! (halah!). Rupanya mereka calo yang mau menawarkan bantuan. Dengan sangat baiknya meraka langsung meraih dokumen-dokumen saya buat diperiksa. Eits…tampang kayak lo, nggak boleh nyentuh-nyentuh dokumen gue. Tapi tentu saja saya tidak ngomong seperti itu. Bisa digebukin nanti. Yang saya lakukan adalah tersenyum ganteng lima jari dan bilang;

“terima kasih bapak-bapak yang kumisnya menakutkan (oke tiga kata terakhir itu nggak masuk). Saya akan menguru sendiri”

Wajah manis bapak-bapak tadi berubah menjadi asem banget! Mereka ngedumel dalam bahasa Sumabwa yang lagi-lagi saya balas dengan senyuman. Tapi saya bertekad, itu adalah senyum terakhir yang saya berikan pada mereka. Tidak sudi aku!! Tapi rupanya dua bapak itu tidak rela, dia malah mengoper saya ke temannya yang menyerupai petugas (berseragam) di dalam kantor imigrasi. Akhirnya, karena bingung yang mana bagian informasi dan yang mana calo, saya minta bertemu dengan kepala bagian yang ngurus-ngurus passport (lupa namanya).

Ketika bertemu dengan bapak kepala bagian itu, saya menjadi tenang. Si bapak tersenyum ramah dan menanyakan keperluan saya. saya pun bercerita kemuadian bertanya calo-calo itu legal? Saya menyampaikan kalau saya tidak ingin ‘dibantu’ oleh mereka. Akhirnya si Bapak, memeriksa kelengkapan dokumen saya dan celaka!

Ternyata mereka mensyaratkan adanya surat pengantar dari orang tua, kampus atau kantor. Setelah berpikir sebentar, saya menyanggupi untuk melampirkan surat rekomendasi kantor. Saya segera menelfon sahabat saya Ridho yang masih ngantor dan juga Kak Dian. Saya minta tolong kedua-duanya untuk membuatkan surat rekomendasi dan mita dikirimkan melalui fax.

Nah, masalahnya sekarang mau cari tempat menerima fax di mana? Ah, tenang ada tukang ojek. Dengan bantuan tukang ojek, saya sampai di kantor Telkom yang mempunya layanan faximile. Dan tenang saja, tukang ojek dan umumnya penduduk kota Sumbawa itu ramah-ramah banget kok. Calonya aja yang asem.

Setelah kering menunggu di dengan pemandangan customer service bertampang nan jutek itu, akhirnya surat rekomendasi sampai di tangan. Segera meluncur kembali ke antor imigrasi. Saya melangkahkan kaki di bawah tatapan sinis calo-calo yang ‘bantuannya’ saya tolak.
Sebelumnya saya membaca alur pembuatan passport dan ketentuan-ketentuannya yang terpampang besar di tembok. Oh, jadi passport 48 halaman biayanya Cuma Rp. 255.000 dan passport dengan jummlah halaman di bawah itu lebih murah pula.
saya menuju ke loket penyedia formulir. Saya mengambil formulir dengan gaya bahwa formulir itu memang gratis. Tapi kemudian saya berdiri bimbang. Yang say abaca di internet, map berisi formulir itu gratis, tapi petugas biasanya minta uang administasi. Petugas di depan saya juga kelihatannya bimbang. Dengan bodohnya saya bertanya;
“gratis kan?
“bayar mas. 30 ribu!
Ya sutralah ya. Makan itu 35 ribu!
Setelah saya buka map, terpampanglah tulisan besar-besar; FORMULIR INI GRATIS, TIDAK DIKENAKAN BIAYA APA PUN!
Halah! Harusnya saya tidak boleh bimbang.
Setelah mengisi formulir saya menyerahkan ke loket dan bertanya berapa lama saya harus menunggu. Si petugas blang Cuma 1 jam.
Oke lah kalau begitu!
Satu jam menunggu, saya dipanggil untuk scan sidik jari dan wawancara plus membuat pas foto. Satu lagi yang eleset dari informasi yang saya dapat di internet. Ternyata fotonya nggak boleh bawa sendiri. Padahal saya sudah foto ganteng pake jas rapi kemarin.

Yang judulnya wawancara ternyata Cuma obrol-obrol singkat mau kemana dan untuk apa sambil menanda tangani passport. Dan informasi yang membuat saya shock adalah ketika petugasnya bilang; silahkan datang untuk mengambil passport anda 4 hari lagi.

Waduh, bisa berabe ini. Bagaimana mau kembali 4 hari lagi kalau saya harus kembali ke Malang dua hari lagi? Petugasnya bilang pengambilannya bisa diwakilkan. Tapi, saya merasa kepalang tanggung. Sudah repot biar repot sekalian. Kalau bisa selesaikan hari ini juga deh.

Setelah berbagai alasan cantik nan rasional, salah seorang petugas wanita dengan senyum manis bersedia mengusahakan passport saya jadi hari itu juga. Saya mgotot mau selesai hari tu juga karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri ada yang passportnya langsung jadi seketika. Dengan pelican sejumlah lembar rupiah tentunya.

Si Mbak baik hati itu dengan amat menyesal mengatakan tidak bisa membantu saya setelah bolak-balik ke berbagai ruangan mengusahakan passpot saya bisa diambil seketika. Saya hampir menyerah dan akan mewakilkan pengambilan passport kepada paman saya.

Tapi seberkas ide menyinari otak saya menjadi eureka! Saya menelfon abang saya dan minta untuk menelfon om saya yang pernah di Imigrasi propinsi dan sekarang ada di imigrasi Jakarta. Rupanya sang paman cepat tanggap dan merekomendasikan beberpa nama.

Dengan pede, saya minta bertemu dengan beberapa nama yang direkomendasikan om saya itu. Akan tetapi respon yang saya dapat adalah; mereka kebingungan karena nama itu tidak pernah ada dalam memori otak mereka.

Saya segera menanyakan kembali ke om saya. halah, rupanya beliau engira saya ada di kantor imigrasi propinsi. Nama-nama yang beliau sebutkan itu adalah mantan staffnya di imigrasi propinsi. Akhirnya keluarlah dua nama yang harus saya hubungi di kantor ini setelah paman saya terlebih dahulu menelfon mereka.

Si Bapak kepala bagian yang tadi tempat saya bertanya turun langsung mengurus passport saya agar bisa diambil saat itu juga. Dan taraaaa….! Passport hijau sudah di tangan saya dengan waktu pengurusan tidak lebih dari 3 jam!. Selain itu petugasnya sama sekali tidak ribet (karena saya punya koneksi om sayaJ).

Dengan hati riang saya, jalan-jalan dulu melakukan city tour sambil menunggu jadwal keberangkatan bus. Passport di tangan, saya merasa bebas. Tinggal koprol dan ngesot aja tuh ke Thailand. Tinggal lompat ke Swiss!



1 comment:

  1. it's so simple mr. :)
    sigh.

    just laughing when I read this posting! :D

    ReplyDelete

Whaddaya think?