Tanggal 19 kemarin saya ke Jogja. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Ngajogjokarta Hadiningrat setelah sekian tahun tinggal di tanah Jawa. Padahal katanya kan Jogja itu jantungnya Jawa. Sebenarnya saya sudah lama berencana untuk mengunjungi kota ini. Undangan teman-temanpun sudah berkali-kali menghampiri. Sampai saya kemudian mulai membenci kota ini karena alasan yang sangat-sangat aneh yang disebabkan oleh Abang saya. Saya sampai harus dibujuk oleh Abang saya untuk pergi ke Jogja karena kalau tidak saya sudah keberatan sekali untuk test TOEFL ITP di Jogja. Dia sampai memberi saya alasan panjang lebar agar saya berangkat. Pakai menjanjikan hadiah segala. Aduh, kayak anak kecil saja ya saya.
Ketika saya di Jogja, saya tetap dipandu oleh abang saya melalui WhatsApp. Jadi, lumayanlah saya tidak terlalu sedih. Saya sampai jalan-jalan ke borubudur dan prambanan segala. Dan tetap dipandu oleh abang saya. Nampaknya dia khawatir saya tidak menikmati Jogja karena dia tahu benar kalau saya sangat membenci Jogja. Lumayan, saya merasa ada yang menemani.
Awalnya, saya berniat mencari hostel murah buat menginap. Tapi teman saya, Nadi dan Mas nya meminta saya untuk menginap di rumah mereka. Senang menjadi tamu di rumah mereka. Saya tidak kesepian dan nelangsa. Ada teman sharing. They treat me so well. baik banget mereka. Mas bayu nganterin ke mana-mana.
|
Payung Siapa? |
Saya sempatkan sehari untuk jalan-jalan dulu menikmati Jogjakarta. Saya nggak mau jadi orang Indonesia yang durhaka. Makanya, saya mengunjungi Borubudur. Di jalan ketemu sama backpacker asal Taiwan, Si Wang. Sepakat jalan bareng karena destinasi kami sama, Borubudur dan Prambanan.
|
Wow, Amazing! |
Karena antrian di Local Visitor Gate, setelah beli tiket saya diajak si Wang masuk lewat International Visitor Gate aja. Kasihan banget ya orang Indonesia, pintu masuknya biasa banget plus antriannya puanjaang. Beda dengan International Visitor Gate yang ada lounge nyaman dengan fasilitas free drink dan bonus pelayanan ramah dari gadis-gadis Djogja yang memasngkan kain batik di pinggang saya. Akhirnya, saya mengajak Wang buat nyantai dulu di taman belakang Lounge yang teduh sambil menikmati kopi.
|
Under my Umbrella ella ella ella e e e.... |
Saya mulai bisa menikmati tour saya. Borubudur memang magnificent and breath taking. Bayangkan, orang zaman dahulu banget sudah mampu membuat bangunan dengan arsitektur keren seperti ini dengan modal batu-batu doang. Pasti arsiteknya jenius deh. Ketika muter-muter di atas candi, hujan turun dengan lebatnya. Karena tidak berniat tour, saya lupa membawa payung merah marun cantik andalan saya. Si Wang sampai menawarkan untuk merobek mantelnya menjadi dua agar bisa berbagi dengan saya. Saya tolak dan memilih berteduh sambil jepret orang-orang both with my DLSR and Blackberry. Share foto lewat BBM sama
teman di Jakarta dan cela-celaan mengenai selera foto saya.
|
Kleting Kuning |
Selama Borubudur Tour, saya dipandu oleh abang saya lewat WhatsApp. Ngomel-ngomelin pula gara-gara saya nggak bawa payung.
|
Prambanan Temple under the rain |
Setelah puas berkeliling di Borubudur, sesuai dengan jadwal yang saya sepakati dengan Wang, saya mengunjungi Prambanan. Sebenarnya waktu kami masih cukup untuk mengunjungi Prambanan. Akan tetapi bus Trans Jogja yang akan membawa saya ke Prambanan selalu penuh. Hasilnya, saya sampai di Prambanan ketika loket karcis hampir tutup. Hujan yang cukup lebat embuat saya tidak leluasa mengambil foto. Akhirnya misinya menjadi 'yang penting sudah mengunjugi Prambanan'. Dalam perjalanan pulang saya kembali nelangsa dan marah ketika transit di halte Airport. Airpot ini memantik kembali kebencian saya akan Jogja.
|
Suasana Djogja |
Setelah TOEFL test, saya sempatin jalan ke Malioboro. Lagunya Aggun 'Malioboro' langsung berputar di otak saya. Sore yang mendung di Malioboro yang padat saya merasa nelangsa di tengah keramaian. Okay, I just don't get why people love Malioboro. Okay, perhaps I've set my expectation too high about malioboro. Atau karena memang pengaruh kebencian saya akan Jogja. Ketika saya cerita kalau saya sedang nelangsa ke banag saya, dia minta maaf karena telah membuat saya benci Jogja. Tapi rasanya saya harus mulai mengakui, jogja menyenangkan. Saya harus belajar untuk menghapus kebencian saya.