Saturday, April 7, 2012

My bali Life; Balinese Rehab


Setelah kegagalan bisnis kami di Bali, hal yang paling menyakitkan adalah berbicara tentang sesuatu yang mengingatkan akan project impian itu. Project impian yang menguras tenaga, mengorbankan mimpi, menuntut kompromi, mengeringkan hati dan membuat perasaan babak belur. Tapi toh hidup tetap harus berjalan. Menerima dan berdamai dengan kenyataan akan membuat sakitnya tidak terlalu menghujam. Saya menganggap ini cara Gusti Sing paring Urip mengembalikan saya mengejar personal calling saya. Saya tahu, suatu masa kami akan membicarakannya dengan tawa getir. Buat saya, saya memandangnya sebagai sebuah pil pahit kehidupan yang benar-benar pahit yang harus saya telan. Mudah-mudahan saya semakin dewasa dan matang karenannya.

Ah, saya tidak pernah membayangkan akan menerima kata-kata yang dulu  saya anggap klise ini. Saya harus menerima semua hal yang dulu saya anggap klise.


Dalam rangka berusaha menerima dan berdamai ini, saya benar-benar berusaha berdamai dan menikmati setiap detik saya di Bali. Saya tidak ingin membenci Bali yang cantik ini karena tragedy ini. Kadang masih terasa sesak. Akan tetapi saya yakin sesaknya jauh akan lebih ringan dibandingkan saya memendam luka dan lari dari masalah ini atau bertindak anger in denial.


Dua hari ini, saya dan Christian menjelajah ke tempat-tempat yang tidak umum. Dia keranjingan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi di Pulau Sarangan, melewati jalanan mana saja yang terasa sreg di hati di antara jalanan putih campuran kapur berjumlah ratusan yang simpang siur tanpa kami tahu kemana akan berakhir. Tidak perlu peta. Peta hanya diperlukan untuk perjalanan dengan akhir yang nyata. Sedangkan perjalanan kami tujuannya adalah menyembuhkan sisa-sisa sakit dan lelah jiwa. Anggaplah sebuah rehab.
Membonceng di belakang Christian, saya hanya berteriak-teriak ketika kecepatannya sudah keterlaluan. Kemudian berdebat jalan mana yang harus diambil. Berlari-lari seperti orang gila di sepanjang pantai. Berdebat apakah pantai itu ada buayanya atau tidak. Perdebatan bodoh karena para nelayan yang berada di dalam air itu masih utuh sebadan-badannya. Tapi seperti biasa, dia selalu senang kalau saya sedikit marah.

Ketika sesaat berhenti di dekat pantai,  Saya usil  menghalau ratusan kawanan burung bangau yang mengerubuti kawanan sapi dengan gembira.

Capek berjalan-jalan kami berhenti di restoran kecil mencicipi carrot cake dan jus mangga yang tidak pernah seenak yang kami cicipi tahun lalu. Perdebatan dimulai lagi. Kali ini tentang mana yang lebih enak dari semua carrot cake dari beberapa cafe dan restoran yang kami singgahi sejak beberapa minggu yang lalu. Kami bersepakat bahwa carrot cake di Yeye's Warung dan Manggo Tree Cafe di dekat Padang-padang beach adalah yang paling lezat.

Saya juga tidak tabu untuk melangkahkan kaki ke klub dan menyatu dengan dentuman musik di lantai dansa. Berpindah dari klub satu ke klub lain sampai perut kembung karena kebanyakan diisi Sprite. Beberapa waiter tersenyum maklum melayani orderan minum saya yang itu-itu saja sejak 4 tahun yang lalu. Agak aneh bagi sebagian orang melihat kami menghadapi soft drink di tengah orang-orang yang menghadapi minuman aneka warna dari jenis vodka, beer, wine, arak maupun campuran dari semuanya. Campuran ramuan minuman dari berbagai belahan dunia mencipta satu menu minuman baru di Bali. Tapi siapa yang peduli? Saya punya prinsip untuk tidak menyentuh semua itu.

Sudah sekian kali saya menepis bujukan dan godaan teman-teman saya untuk mencicipi. Kata mereka biar saya tidak sering bertanya apa beda rasa wine dan vodka. Beda rasa martini dan tequilla. Beda rasa bir dan arak. Saya hanya tersenyum tipis. Kadang saya mengeluarkan argumen singkat. Atau dengan singkat cukup mengatakan 'I'm a moslem'. Saya tahu mereka hanya menggoda saya. Mark si teman Australia malah memuji sikap saya. Kita masih tetap bisa bersahabat dengan sekian banyak perbedaan itu bukan?


Dari semua agenda 'berdamai' ini, hal yang paling saya sukai selain berenang dan berjemur adalah berburu sarapan di pagi hari dan kopi di malam hari. Dari satu resto ke resto yang lain. Mencoba beberapa cafe dan coffee shop. Dari semua tempat itu, tempat favorit saya adalah Tuckshop di Jalan Laksamana Oberoi dan Cafe Seminyak di jalan Raya Seminyak. Kedua-duanya berada di daerah seminyak.

Kami sepakat menghabiskan sisa waktu di Bali dengan urusan bergembira. Mengalihkan urusan kerja dengan berlibur. Tampaknya ini akan berhasil. Saya sudah mulai merasakan lagi semangat untuk kembali ke pekerjaan lama. Saya bahkan sudah merancang beberapa program yang akan menjadi project saya nanti. Saya juga sudah mengambil ancang-ancang untuk segera mengambil kuliah master apapun yang terjadi. Anggaplah ini rehab yang membuat kami resilience.


Saya yakin nanti saya akan kembali dengan semangat baru. Akan tetapi tentu saja dengan kulit legam terbakar matahari pantai.

Kita tidak harus melupakan tragedi dan kejadian pahit. Yang harus kita lakukan hanya berusaha menerima dan melihat semua sisi baik. Siapa tahu kejadian itu adalah cara dari Gusti Sing Paring Urip untuk mengalihkan kepada jalan yang lebih baik. Berburuk sangka. Melihatnya sebagai blessing in disguise. So, let's enjoy Bali to the fullest. Seperti saya menikmati sepoi-sepoi angin bertiup sambil berbaring dan menulis catatan ini di smart phone di pantai Kuta.

Kuta, 6 April 2012

No comments:

Post a Comment

Whaddaya think?