Setelah kegagalan bisnis kami di
Bali, hal yang paling menyakitkan adalah berbicara tentang sesuatu yang
mengingatkan akan project impian itu. Project impian yang menguras tenaga,
mengorbankan mimpi, menuntut kompromi, mengeringkan hati dan membuat perasaan
babak belur. Tapi toh hidup tetap harus berjalan. Menerima dan berdamai dengan
kenyataan akan membuat sakitnya tidak terlalu menghujam. Saya menganggap ini
cara Gusti Sing paring Urip mengembalikan saya mengejar personal calling saya. Saya tahu, suatu masa kami akan
membicarakannya dengan tawa getir. Buat saya, saya memandangnya sebagai sebuah
pil pahit kehidupan yang benar-benar pahit yang harus saya telan. Mudah-mudahan
saya semakin dewasa dan matang karenannya.
Ah, saya tidak pernah
membayangkan akan menerima kata-kata yang dulu
saya anggap klise ini. Saya harus menerima semua hal yang dulu saya
anggap klise.
Dalam rangka berusaha menerima
dan berdamai ini, saya benar-benar berusaha berdamai dan menikmati setiap detik
saya di Bali. Saya tidak ingin membenci Bali yang cantik ini karena tragedy ini.
Kadang masih terasa sesak. Akan tetapi saya yakin sesaknya jauh akan lebih
ringan dibandingkan saya memendam luka dan lari dari masalah ini atau bertindak
anger in denial.
Dua hari ini, saya dan Christian
menjelajah ke tempat-tempat yang tidak umum. Dia keranjingan mengendarai motor
dengan kecepatan tinggi di Pulau Sarangan, melewati jalanan mana saja yang
terasa sreg di hati di antara jalanan putih campuran kapur berjumlah ratusan
yang simpang siur tanpa kami tahu kemana akan berakhir. Tidak perlu peta. Peta
hanya diperlukan untuk perjalanan dengan akhir yang nyata. Sedangkan perjalanan
kami tujuannya adalah menyembuhkan sisa-sisa sakit dan lelah jiwa. Anggaplah
sebuah rehab.
Membonceng di belakang Christian,
saya hanya berteriak-teriak ketika kecepatannya sudah keterlaluan. Kemudian
berdebat jalan mana yang harus diambil. Berlari-lari seperti orang gila di
sepanjang pantai. Berdebat apakah pantai itu ada buayanya atau tidak. Perdebatan
bodoh karena para nelayan yang berada di dalam air itu masih utuh
sebadan-badannya. Tapi seperti biasa, dia selalu senang kalau saya sedikit
marah.
Ketika sesaat berhenti di dekat
pantai, Saya usil menghalau ratusan kawanan burung bangau yang
mengerubuti kawanan sapi dengan gembira.
Capek berjalan-jalan kami
berhenti di restoran kecil mencicipi carrot cake dan jus mangga yang tidak
pernah seenak yang kami cicipi tahun lalu. Perdebatan dimulai lagi. Kali ini
tentang mana yang lebih enak dari semua carrot cake dari beberapa cafe dan
restoran yang kami singgahi sejak beberapa minggu yang lalu. Kami bersepakat
bahwa carrot cake di Yeye's Warung dan Manggo Tree Cafe di dekat Padang-padang
beach adalah yang paling lezat.
Saya juga tidak tabu untuk
melangkahkan kaki ke klub dan menyatu dengan dentuman musik di lantai dansa.
Berpindah dari klub satu ke klub lain sampai perut kembung karena kebanyakan
diisi Sprite. Beberapa waiter tersenyum maklum melayani orderan minum saya yang
itu-itu saja sejak 4 tahun yang lalu. Agak aneh bagi sebagian orang melihat
kami menghadapi soft drink di tengah orang-orang yang menghadapi minuman aneka
warna dari jenis vodka, beer, wine, arak maupun campuran dari semuanya.
Campuran ramuan minuman dari berbagai belahan dunia mencipta satu menu minuman
baru di Bali. Tapi siapa yang peduli? Saya punya prinsip untuk tidak menyentuh
semua itu.
Sudah sekian kali saya menepis
bujukan dan godaan teman-teman saya untuk mencicipi. Kata mereka biar saya
tidak sering bertanya apa beda rasa wine dan vodka. Beda rasa martini dan
tequilla. Beda rasa bir dan arak. Saya hanya tersenyum tipis. Kadang saya
mengeluarkan argumen singkat. Atau dengan singkat cukup mengatakan 'I'm a
moslem'. Saya tahu mereka hanya menggoda saya. Mark si teman Australia malah
memuji sikap saya. Kita masih tetap bisa bersahabat dengan sekian banyak perbedaan
itu bukan?
Dari semua agenda 'berdamai' ini,
hal yang paling saya sukai selain berenang dan berjemur adalah berburu sarapan
di pagi hari dan kopi di malam hari. Dari satu resto ke resto yang lain.
Mencoba beberapa cafe dan coffee shop. Dari semua tempat itu, tempat favorit
saya adalah Tuckshop di Jalan Laksamana Oberoi dan Cafe Seminyak di jalan Raya
Seminyak. Kedua-duanya berada di daerah seminyak.
Kami sepakat menghabiskan sisa
waktu di Bali dengan urusan bergembira. Mengalihkan urusan kerja dengan
berlibur. Tampaknya ini akan berhasil. Saya sudah mulai merasakan lagi semangat
untuk kembali ke pekerjaan lama. Saya bahkan sudah merancang beberapa program
yang akan menjadi project saya nanti. Saya juga sudah mengambil ancang-ancang
untuk segera mengambil kuliah master apapun yang terjadi. Anggaplah ini rehab
yang membuat kami resilience.
Saya yakin nanti saya akan
kembali dengan semangat baru. Akan tetapi tentu saja dengan kulit legam
terbakar matahari pantai.
Kita tidak harus melupakan tragedi
dan kejadian pahit. Yang harus kita lakukan hanya berusaha menerima dan melihat
semua sisi baik. Siapa tahu kejadian itu adalah cara dari Gusti Sing Paring
Urip untuk mengalihkan kepada jalan yang lebih baik. Berburuk sangka.
Melihatnya sebagai blessing in disguise. So, let's enjoy Bali to the fullest. Seperti saya menikmati sepoi-sepoi angin bertiup sambil berbaring dan menulis catatan ini di smart phone di pantai Kuta.
Kuta, 6 April 2012
No comments:
Post a Comment
Whaddaya think?