Dulu saya sempat bingung ketika seorang teman bilang kalau saya harus berdamai dengan diri sendiri dan berdamai dengan kenyataan. Katanya saya akan tetap stuck di posisi saya waktu itu kalau saya tidak berdamai dengan diri saya sendiri. Saya bingung karena saya tidak pernah merasa "bertengkar" dengan diri saya sendiri. Wong itu diri saya sendiri yang saya cintai kok. Bagaimana mungkin saya bisa membenci dan bertengkar dengannya? Iya sih, saya sempat iri juga kenapa saya tidak seganteng Justin Timberlake atau tidak sekaya Mark Jugenberk yang membuat situs jaringan sosial yang membernya saat ini cukup untuk membuat sebuah Negara besar. Saya juga sempat iri kenapa suara saya tidak sebagus Aki Alexa atau Samy Kerispatih (sebenarnya mau bilang Josh Groban. Tapi saya takut itu ketinggian). Tapi toh, saya tidak pernah membenci diri saya karena saya tidak bis seperti mereka.
Kali lain, teman saya pernah berkata kalau saya suka mengasihani diri sendiri. Dia bilang itu akan membuat saya menjadi "tidak tegar". Sejujurnya saya sama sekali tidak setuju dengan apa yang dkatakannya itu. Tapi saya mendiamkannya. Sekali-sekali mendengarkan apa yang dikatakan orang lain nggak ada ruginya. Begitu pikiran saya waktu itu. Toh, terkadang manusia nggak sadar dengan apa yang terjadi padanya kalau tidak diingatkan oleh mausia lainnya.
Seorang teman yang lain juga pernah mengirim comment ke salah satu catatan iseng saya di blog. Dia bilang saya terlalu terpaku pada masa lalu hanya karena saya suka mengaitkan tulisan saya dengan cerita-cerita masa lalu saya. Adakah yang salah dengan mengenang masa lalu yang menurut saya indah?
Beberapa orang kawan mengajukan pendapat yang lain tentang diri saya. "kamu itu suka menjaga jarak engan orang lain". Begitu katanya. Dia bilang begitu hanya karena saya tidak sering berkumpul dan jalan bareng dengan mereka. Jujur, saya suka risih dengan jalan ramai-ramai. Rasanya seperti anak-anak remaja. Kalau sekali-sekali sih nggak masalah. Saya juga suka nggak nyaman duduk mengobrol tentang hal-hal yang menurut saya nggak penting. Saya suka jalan sendiri karena saya bisa kemanapun yang saya suka. Tidak ada yang mengeluh capek, tidak perlu malu karena kenorakan orang lain yang dikaitkan dengan saya karena saya jalan bareng dengan dia.
Lama-lama saya merasa terintimidasi. Semakin kesini, saya merasa melakukan sesuatu hanya untuk menyenangkan hati orang lain. Well, saya suka menyenangkan hati dan menjga perasaan orang lain. Tapi, saya juga berharap orang lain menyenangkan hati saya seperti yang saya lakukan terhadap dia. Yah, seperti law of attraction, ketika saya menebarkan hal positif, saya juga ingin hal yang positif pula yang datang kepada saya. Kalau Cuma enak di dia, rugi banget saya! Situ ratu???
Akhirnya karena menghargai diri saya sendiri, saya mulai setia kepada nurani saya. Ketika seseorang mengatakan begini begitu, saya akan angsung menanyakan kepada nurani saya. Benar begitu nggak sih? Penting nggak sih ngedengarin dia. Tapi pengecualian ketika orang ngomong begini:
"Kamu ganteng deh"
"Kamu kok baik sekali sih"
"igh, baru lihat ada cowok sebaik kamu"
I wish everyone would say it to me. Hahaha….!
Akhirnya karena saya sayang sama diri saya sendiri, saya mulai belajar "mengabaiakan" perasaan dan kesenangan orang lain jika harus mengorbankan perasaan sendiri. Well, not in all cases. At least, I try not to make myself as victim. Aku nggak ingin di akhirnya nanti menangis darah sambil menyanyikan
"mengapa harus aku yang mengalah……"