Terik mentari pagi itu begitu menyengat walaupun hari baru beranjak dari jam Sembilan pagi. Memang akhir-akhir ini kota Malang mulai terasa panas. Cuaca panas dan demam yang yang melemahkan tenaga dan konsentarasiku terkalahkan oleh keiginan untuk travelling yang sudah tak tertahankan lagi. Padahal kemarin aku matia-matian menolak untuk ikut. Tapi begitu anak-anak packing tadi pagi, aku nggak tahan!! Aku harus ikut ke Pulau Sempu!!
***
Perjalanan panjang dengan berganti angkot dan bus sampai tiga kali yang memakan waktu sekitar lima jam terasa melelahkan. Apalagi dengan medan jalan yang berkelok-kelok naik turun gnung daerah Malang Selatan yang memang berbukit-bukit. Tapi kelelahan itu terbayar ketika angkutan yang kami tumpangi berhenti di bibir pantai Sendang Biru. Benar-benar biru. Sebuah teluk sempit di laut selatan denganlatar belakang pulau kecil yang ditutupi vegetasi hutan tropis yang kelihatannya masih perawan tersaji di depan mata ketika memandang dari bibir pantai. Riak ombak kecil yang terbawa dari laut selatan yang trhaampar di mulut teluk sesekali menggoyang perahu kecil warna-warni bertebaran menghiasi teluk. Akhir pecan begini, pengunjung memang sangat ramai. Perahu-perahu hampir selalu penuh oleh pengunjung yang ingin menyeberang atau sekedar berlayar mengitari pulau sambil singgah di pantai-pantai kecil di pulau Sempu. Para penggemar olahraga dayung berseliweran diantara perahu-perahu motor yang bolak-baik mengantar wisatawan seolah berlomba mewarnai teluk biru yang tenang itu.
Sesaat kami terpaku di tepi pantai sebelum akhirnya menyeberang ke Pulau Sempu yang menajdi tujuan Adventur kami kali ini. Iya, daya tarik utama bagi petualang memang bukanlah pantai Sendang Biru melainkan Pulau Sempu yang ada ditengahnya dengan hutan yang masih menyimpan seribu misteri dan keindahan Laguna (Lagoon) Segara anakan. Kabarnya binatang-binatang liar dan ular phyton seukuran anaconda masih masih menjadikan pulau itu sebagi hunian mereka. Setidaknya seperti itulah yang dijelaskan oleh Pak Hendro, pencinta alam yang usianya tidak muda lagi yang punya perhatian khusus terhadap kelestarian cagar konservasi Pulau Sempu. Jarak Jakarta-Malang tidak menyurutkannya untuk rutin mengunjungi Pulau Sempu. Beliau begitu cinta sama Pulau eksotis degan hutan perawan itu. Apalah artinya jarak ketika cinta sudah tertambat?
Perahu merapat ke Pantai Semut di pulau ketika jarum jam sudah menunjukkan angka 5. Medan pertama yang kami lewati adalah hutan mangrove yang becek. Semakin ke tengah, vegetasinya berganti dengan pohon-pohon besar khas hutan tropis yang tumbuh rapat. Jalan setapak yang dilalui semakin menantang. Medan menanjak dan licin ditambah dengan kegelapan hutan cukup menyulitkan langkah. Beban di punggung jadi berlipat beratnya, apalagi kami membawa air bersih untuk memasak selain masing-masing air minum 3,5 liter di back pack. Disarankan untuk memakai sepatu dan celana lapangan kalau anda berniat mengunjungi pulau Sempu agar langkah anda mantap di tengah medan yang benar-benar bechek. Apalagi nggak ada ojyek. Cyapek kan?
Suara nyayian serangga hutan seolah orchestra alam yang tercipta menjadi soundtrack perjalanan kami sore itu. Sesekali diselingi bunyi berdebum badan beradu dengan tanah lembab yang dihasilkan oleh teman kami yan badannya memang extra itu. Dia sampai jatuh berkali-kali bergiliran dengan Ridho yang membawa tambahan beban 13 liter air di punggungnya. Keadaan ini membuat kami sebentar-sebentar berhenti. Sekarang mata hanya bisa melihat selangkah kedepan. Sinar mentari yang tadi masih samar-samar menembus pepohonan di awal perjalanan kini sudah tidak mampu lagi menembus rapatnya pepohonan. Hitam pekat kegelapan di depan mata meciptakan labirin yang membuat seolah-olah perjalanan malam itu tak berujung. Iya, tidak ada bayangan di benakku seperti apa tujuan akhir perjalanan kami itu karena aku tidak sempat untuk mengeceknya di internet. Bambang yang menjadi penunjuk jalan hanya memberi petunjuk "sebentar lagi sampai, sebentar lagi sampai" ketika teman-teman menanyakan ujung perjalanan kami. Dalam satu sesi istrahat (hampir setiap sepuluh menit setelah melewati 1 jam pertama, Siberat minta istirahat), kami mendengarkan murottal yang diputar Siberat dari Handphone canggihnya. Subhanllah, di tengah kegelapan dan kesunyian hutan itu tidak ada satu suarapun kecuali lantunan Murottal diiringi symphony hutan. Cess….hati mejadi begitu tenang. Hal yang biasa menjadi sangat istimewa ketika bertemu moment yang luar biasa. Beberapa saat aku memejamkan mata merasakan kegelapan dan lantunan yang begitu meyejukkan itu.
Suara gemuruh ombak mulai kedengaran. Tapi tidak terlihat apa-apa selain hitam pekat. Kami semakin girang, ketika suara-suara teriakan dan gitar bersahutan dengan suara hempasan ombak. Dengan bantuan cahaya senter kami mulai mencari tahu. Dari celah dedaunan,tampak warna keperakan air yang tertimpa cahaya bintang. Ternyata kami sudah berjalan di atas tebing, dibawah kaki kami terhampar Segara Anakan yang menjadi ujung perjalanan kami malam itu.
Sampai di hamparan pasir yang lembut, kelelahan itu rasanya sirna. Di tempat itu sudah ada beberapa tenda para campers yang sudah duluan sampai. Setelah menghamparkan alas tenda, masing masing menjatuhkan badan berbaring dalam diam menghadap ke tengah Segara Anakan yang memantulkan kilau cahaya bintang di langit yang cukup cerah malam itu. Kata tak mampu lagi menggambarkan keindahan suasana malam itu. Biarkan diam menanamkannya ke otak untuk meresapi keindahan itu.
Setelah merasa cukup larut dalam keindahan malam di tepi Segara anakan, aku segera mnyiapkan makan malam buat kita semua. perpaduan letih, kegembiraan dan keidahan segara anakan menjadikan mie instan yang menjadi santapan kami malam itu terasa sangat nikmat. Siberat sudah kembali On setelah redup karena perjalan tadi. Masing-masing segelas Cappuccino tak mampu menahan mata untuk terbuka lebih lama. Semua menyusup ke sleeping bag masing-masing, tidur beratapkan langit. Tidur diiringi deburan ombak laut selatan yang mengemuruh di balik tebing karang yang melindungii Segara Anakan dari amukan laut selatan. Tenda dome yang kami bawa teronggok sia-sia. Biarkan diri menyatu dengan alam tanpa ada pembatas.
Sayup-sayup otakku bersenandung sebelum akhirnya terlelap.
Derai berderai
angin ombak di pantai
Bergema badai selatan
tinggi meninggi
gelombang mendatang
merenggut kasih seorang
musnah harapan
ditelan gelombang
aduhai alam lindungilah diri hamba
badai selatan
Berikanlah tawaran
harapan cinta bahagia
(Agus Wisman -Badai Selatan- Ost Soe Hoek Gie)
To be continued….
dari bahasanya...kyaknya ini kbanyahkan baca Novel deh....
ReplyDeletebaca Novel g pake lebanyakan kali Bro...
ReplyDeletetanpa novel dunia tuh garing kriuk2..!