Untuk kesekian kalinya saya
bangun pagi dan mendapati percikan-percikan cahaya kilat lewatjendela kamar.
Rintik hujan membentuk irama simponi pagi yang berbeda. Saya masih terbaring
dengan mata terbuka dan menyadari saya sedang di bali lagi. Baru satu minggu
yang lalu saya berada di sini, dan sekarang saya kembaliu lagi. Saya telah
benar-benar jatuh cinta pada tanah molek ini. Saya tidak pernah bosan berada di
Bali. Bali membuat saya kembali menyukai hal-hal remeh dalam keseharian yang
sempat hilang dari hidup saya belakangan ini.
Saya menyukai rutinitas bangun
pagi dan berjalan di rumput basah menghirup aroma bunga kamboja yang
berguguran. Kalau sedang rajin, saya akan menenteng kamera saya dan mengambil
beberapa gambar. Atau cukup memunguti kuntum-kuntum kamboja dan menghirup
wanginya berulang-ulang serta menyelipkannya di telinga saya. Sesederhana itu
saya menyukai Bali.
Akan tetapi pagi ini saya tidak
bisa banyak bersantai-santai. Jarum Alexandre Christie di tangan saya
menunjukkan angka 7. Saya sudah mandi
dan rapi. Saya punya dua meeting appointment hari ini. Masih berhubungan dengan
project property kami. Pertama, saya harus bertemu dengan Beli Made, arsitek
keren temannya Dewi. Yang kedua saya akan bertemu dengan Linda, orang Aussie
pemilik guest house di Kerobokan.
Saya menyambar netbook saya dan bergegas ke
taxi di luar pagar yang sudah menunggu. Karena saya belum menyewa motor, saya
harus naik taxi ke halte Trans Sabhagita terdekat; halte Griya Asri. Running
text di screen menampilkan informasi bahwa bus selanjutnya masih berada 1 kiliometer dari halte dengan estimasi waktu
tempuh sekian menit. Ini adalah mass transportation yang paling
Di Trans Sabhagita
Tampaknya hanya saya yang nekat
menantang ingin pagi ini. Semua penumpang berjaket aan pakaian tertutup. Saya
dengan bodohnya hanya memakai t-shirt
merah menyala dengan print bendera swiss dan bermuda serta sepatu kanvas. Syal
hijau yang melilit di leher saya senada dengan warna gelang di tangan kiri. Naik
transportasi umum yang nyaman adalah salah satu hal yang paling saya sukai.
Apalagi di tengah hujan seperti ini.
Saya merogoh kantong saya
berusaha mendapatkan lembaran ribuan untuk menebus harga tiket. Namun yang saya
temui hanya selembar lima puluh ribuan dan sekeping koin lima ratus rupiah.
Saya mengacak-acak setiap kantong kecil di backpack saya. Nihil,. Saya tidak
menemukan uang yang saya inginkan. Sementara mbak-mbak pramugarinya sudah tidak
sabar. Tiba-tiba seorang ibu yang duduk di kursi belakang bersuara. Dia
menawarkan untuk membayar tiket buat saya. Saya tidak punya pilihan lain
kecuali menerima mengingat saya benar-benar tidak punya uang kecil dan
pramugarinya tidak punya kembalian.
Di tengah dinginnya cuaca dan AC bus, hati saya menghangat.
Bertambah keping kebahagiaan saya pagi ini. Di tengah budaya individualis yang
semakin menggempur, ada orang yang dengan entengnya mau membantu.
Central Parking Shelter
Keluar dari Sarbhagita di Central
parking Shelter saya disambut hujan yang semakin lebat. Saya celingukan menunggu
taxi yang sepertinya enggan lewat di tengah hujan yang disertai angin kencang
pagi ini. Saya tidak ingin telat di appointment saya. Ketika meeting sama
Robert minggu lalu saya sampai telat 15 menit.
Blue Bird muncul ketika saya
sudah mulai gelisah menunggu. Saya duduk sambil merenung menatap rintik hujan
lewat jendela taxi. Menonton rinai hujan selalu menciptakan desir damai di dada
saya. Berkah hujan pagi ini adalah saya cepat sampai karena jalanan tidak ramai
diakibatkan oleh hujan. Dalam waktu
kurang dari 10 menit saya sudah sampai di Coco resto & café yang menjadi
venue appointment pertama saya pagi ini.
Perut saya tiba-tiba keroncongan.
Saya bergegas ke café Coco ttempat saya janjian dan mulai menghadapi sarapan
saya; croissant dan banana pancake serta segelas susu. Rutinitas pagi yang
perect! It’s really a daily
chronicles I really want for my life.
Makanan di hadapan saya tandas.
Akan tetapi beli made belum juga muncul. Ketika saya mulai gelisah, hape saya
bordering. Beli made. Dia terjebak macet di by pass.
Beli Made
beli made datang tepat ketika
saya sudah mulai merasa bosan menunggu. Sesosok pemuda akhir dua puluhan dengan
aura semangat yang langsung kelihatan. Tidak sulit bagi saya untuk klik dengan
laki-laki ini. Ditemani secangkir cappuccino kami mengobrol tentang rencana
project saya. Dugaan saya tidak salah, aura semangatnya menularbicaranya
antusias. Muda, sederhana, dedikatif dan profesional. Sosok menantu idaman
benar ini orang.
Setelah kopi habis dia mengajak saya
melihat contoh project villa dia yang sedang on process. Saya makin ngeh
sekarang. Dengan tanah yang seuprit ternyata kita sudah bisa punya villa idaman
(dengan modal yang nggak seuprit tentunya) complete dengan kolam renang dan
garden yang cantik. Akan tetapi mendapatkan tanah seuprit di daerah ini bukan
perkara mudah. Selain harganya yang super mahal, belum tentu ada orang yang
menjual.
Linda
Seorang perempuan bule paruh baya
menyambut saya begitu saya turun dari taxi di depan sebuah banguan bergaya
arsitektur Bali. Saya sudah pernah ke sini minggu lalu untuk mengecek fisik
bangunan. Kedatangan kali ini khusus untuk meeting karena minggu kemarin dia
masih di Australia.
Meeting kali ini adalah obrolan
yang menarik tetang guest house yang dia kelola yang (mudah-mudahan) bisa di
handle over oleh saya (siapa lo?!!). Masih banyak informasi yang harus saya
gali teantang hotel mungil ini. Sementara Christian sudah tidak sabar lagi
untuk cepat-cepat memanage hotel ini. Saya tidak ingin terburu-buru sebelum
memastikan semuanya aman dulu. Saya masih harus bertemu notaris, mencari second
and thoird opinion dan bertemu dengan pemilik pertama. Ini bukan beli baju di
mal!
Saya sendiri langsung jatuh cinta
ketika melihat hotel mungil ini pertama kali. Jangan ditanya antusias saya. Saya
sangat bersemangat dengan project ini. Semangat yang bercampur was-was. Bisa sukses
nggak ya?
Meeting kelar, saya memutuskan
jalan kaki ke seminyak atau mungkin lebih jauh lagi. Sekalian saya ingin
mencoba mengukur, bisakah client nantinya menjangkau hotel ini dengan jalan
kaki. Saya sangat menikmati berjalan menyusuri jalan yang dipenuhi artshop,
villa dan sawah-sawah ini. Ternyata cukup berjalan sepuluh menit saya sudah
sampai di area seminyak. And I end up walking to Lawaloon Hotel in Kuta. Jarak yang
biasanya ditempuh dengan 70 rebuan perjalanan taxi.
Kuta
Setelah mendapatkan motor sewaan
dari langganan saya selama 4 tahun ini, saya memutuskan untuk muter-muter dulu
di discovery mall. Tempat ini menjadi salah satu tempat favorit saya karena
mempunya semacam beach front piazza mungil di belakangnya. Ini adalah etalasse
tempat saya biasa memperhatikan berbagai macam tingkah orang datri berbagai macam
ras dengan kamera di tangan, siap menjepret begitu ada objek menarik.
Akan tetapi saya juga tergoda
oleh promo beli- dua- dapat-satu untuk sandal pantai yang lucu-lucu. Saya akhirnya
menenteng pulang sepasang sandal merah menyala dan sepasang berwarna hitam
dengan tali merah. Lumayan, bisa dipadukan dengan t-shirt merah sayaJ
Hari beranjak sore ketika saya
memutuskan untuk pulang. Saya sudah tidak sabar untuk cepat-cepat mengerjakan
laporan kerja saya hari ini dengan ditemani segelas besar cappuccino.
Nah, setelah
long shower session, di sinilah saya sekarang. Di depan laptop dan berbagi
cerita dengan sepotong tullisan iniJ
Bukit
Jimbaran, 21 Jan 2012