Monday, November 18, 2013

#Cerita Jogja: Catatan Awal Musim Hujan Seorang Mahasiswa Jogja

Guest house baru di seberang sawah di belakang rumah kami sudah rampung dibangun. Tapi setiap hari masih ada saja pekerja yang mengerjakan hal-hal kecil untuk merapikan guest house itu. Balkonnya berhadap-hadapan dengan porch belakang rumah kami sehingga ketika saya sarapan atau bersantai di teras saya bebas memperhatikan kegiatan di sana. Thomas mengusulkan agar setengah balkon saya dipasangi tirai bambu dengan alasan bisa bebas bertelanjang ria di sana. Padahal selama ini kalau saya sedang sendiri di rumah, saya pasti berkeliaran telanjang sampai ke balkon itu. Saya suka merasakan kehangatan matahari pagi tanpa selembar benangpun menghalangi. Setelah benar-benar rampung, guest house di seberang sawah itu jadi mirip pom bensin karena cat merahnya yang mencolok sama persis. Di halamannya ditanami pohon-pohon yang menurut perkiraan saya setinggi lebih dari sepuluh meter yang ketika ditanam diderek dengan alat derek dari kendaraan konstruksi yang sebagai tetangga tentu saya juga mendengar kebisingan yang ditimbulkan dari pembangunan guest house ini. Bahkan pada pesta yang mereka adakan untuk meresmikan guest house ini mereka  menimbulkan kebisingan sampai jauh malam.

Sawah yang memisahkan rumah saya dengan guest house itu kini mulai ditanam mengikuti hujan lebat yang beberapa hari ini mengguyur Jogja. Musim hujan telah resmi datang. Seperi biasanya, nenek tua yang mengerjakan segalanya sendiri itu menggemburkan tanah dan menanami lahannya sendiri. Beberapa hari kemudian tumbuhan-tumbuhan hijau yang sepertinya kacang tanah sudah menghijau menutupi tanah cokelat yang beberapa minggu sebelumnya kering. Tinggal menunggu kurang lebih tiga bulan kemudian setelah mereka panen, maka tanamannya akan berganti dengan padi. Buah-buah pepaya yang hanya berjarak seuluran tangan dari pagar balkon saya menguning ranum.

Bunga-bunga kamboja di depan rumah yang pada musim panas kemarin melimpah sekarang berkurang dan komposisi daun menempati porsi terbanyak. Entah kenapa ibu-ibu yang sering memunguti bunga kamboja dari luar pagar tidak pernah muncul lagi. Maka, halaman rumput yang sepetak di bawah pohon kamboja itu penuh dengan bunga kamboja yang kering, setengah layu dan yang masih segar. Suyono sudah jarang datang untuk merapikan taman kecil itu, saya juga tidak pernah lagi mengumpulkan bunga kamboja untuk saya tata di kamar mandi dan beberapa meja di rumah seperti dulu. 

Tetangga baru kami, Chris adalah seorang pemuda Amerika yang bekerja di Jogja. Ia tinggal dengan pacarnya. Selang beberapa minggu kemudian pacarnya berganti dengan gadis asli Jogja yang ketika pagi hari bau masakannya sangat mengganggu. Entah apa yang dia masak. Suatu hari ketika saya di kamar mandi, saya tidak sengaja melihat keluar jendela yang pemandangannya langsung ke kolam ikan dan dapur mereka di bawah sana. Pemandangan yang saya dapatkan benar-benar menimbulkan suasana canggung setelahnya. Saya melihat si Chris dan pacarnya tengah bergulat di atas meja makan tanpa selembar benang pun melekat di tubuh mereka dan pandangan mata saya tertumbuk dengan mata pacarnya. Ketika saya ceritakan ini kepada Dad, dia mengomel panjang lebar dan mengira saya sengaja mengintip. Hahaha, sebaiknya tidak bercerita.

Hal yang paling menyenangkan adalah mangga sudah memenuhi kotak-kotak buah di Supermarket. Harganya turun drastis dari harga ketika di luar musim yang mencapai 15 ribu per buah. Kemarin kami membeli 4 buah yang besar-besar dan ketika ditimbang price tag yang tertempel hanya 13 ribu saja. Akhirnya pesta mangga dimulai lagi. Lupakan buah-buah alternatif seperti apel, semangka, dan melon. Keranjang buah di rumah kami akan selalu penuh dengan mangga dan pisang sekarang. Tidak ada yang bisa menggantikan pisang. Maka, makan siang kami sebelum gym session kemarin adalah protein shake dengan mangga dan pisang.

Topik Demographic Window, Midle-income trap, ASEAN Community dan Asian Century sedang menjadi topik seru di Jurusan Kebijakan Publik dan forum-forum mahasiswa jurusan sosial. Topik yang tidak terlalu dipahami di jurusan utama yang saya ambil. Beruntung semester ini saya mengambil kuliah di Jurusan Kebijakan Publik juga. Maka, hampir semua paper saya untuk tugas di jurusan utama saya ada kaitannya dengan topik di atas. Dan itu sangat memberi warna dan memancing diskusi panas di kelas. Sayangnya, topik connectivity, infrastructure and investment yang saya ramu menjadi policy paper untuk scenario menghindarkan Indonesia dari middle-income trap tidak disambut hangat oleh sang professor pengampu mata kuliah Analisis Kebijakan Publik. Sepertinya dia secara tidak langsung mengarahkan semua kelompok mahasiswa di kelas kami untuk membahas skenario pembangunan modal manusia melalui pendidikan. Berkutat dengan data-data statistik dari World Bank dan Economic Forum membuat saya menyadari saya membutuhkan keahlian untuk meramu angka-angka ini untuk menjadi paragraf-paragraf fakta yang menarik. Dad adalah orang yang sangat ahli mengawinkan data-data statistik dengan konsep-konsep teori, baik demografi maupun ekonomi. Saya harus belajar darinya.

Minggu kemarin ditutup dengan dua buah seminar yang sangat luar biasa. Semiar pertama diadakan oleh mahasiswa Hubungan Internasional dengan topik Asian Community di mana saya terlibat debat panas dengan salah satu pembicaranya. Seminar ini berbahasa Inggris. Bukannya saya tidak menyukai bahasa Indonesia, untuk beberapa kasus bebicara dengan bahasa Inggris terasa lebih bebas dan efektif termasuk dalam debat saya dengan salah satu pembicara seminar itu. Di akhir sessi saya berkesempatan untuk berdiskusi dengan pembicara yang lainnya seorang doktor muda Australia dari Melbourne University yang fokus pada studi ASEAN. Beda diskusi dengan para akademisi asing adalah mereka menempatkan kita pada posisi yang setara tidak seperti kebanyakan akademis kita.

Hari berikutnya saya mengikuti seminar internasional yang lain yang menghadirkan direktur World Bank, menteri perencanaan pembangunan nasional, dosen muda FEB UGM, direktur BRI dan kepala kantor perpajakan. Seminar ini juga ful berbahasa Inggris dan dimoderatori oleh seprang penyiar Metro TV favorit saya Dalton Tanonaka. Saya beruntung berkesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengajukan pertanyaan di seminar ini. Pembicara favorit saya adalah ibu muda yang menjadi direktur World Bank itu, Vivi Alatas. Kemampuannya menggabungkan angka-angka statistic dengan retorika yang menawan benar-benar memukau. Di akhir seminar saya sempat terlibat obrolan dengan Dalton Tanonaka dan tentunya berfoto bersama. Seminar ini benar-benar terorganisir dengan sangat baik dan professional. Sponsor-sponsor besar yang mendukung acara ini mengingatkan saya akan bagaimana beratnya mencari sponsor sebuah seminar ketika masih kuliah S1 dulu. Seminar atau acara apapun yang diadakan oleh mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis selalu lebih wah. Mereka bahkan menyediakan wall lengkap dengan fotografer pro untuk sesi foto dan menawarkannya kepada setiap peserta untuk berfoto yang akan memasuki ruang seminar. Semua paniatianya memakai dress code yang menawan. Jalan masuk dari meja registrasi ke ruang coffee break sampai ke hall tempat seminar dipagari oleh gadis-gadis cantik bergaun ungu. Setiap pembicara diantar oleh seorang liaison officer.

Penutupan minggu ini adalah sesi latihan panjang di gym ketika hujan lebat mengguyur di luar sana. Mengendarai sepeda motor di tengah hujan lebat dimana sebagian jalanan berubah menjadi sungai benar-benar pengalaman yang menyenangkan. Berendam di whirpool air panas setelah gym session yang menguras tenaga di tengah  cuaca dingin seperti ini benar-benar mengembalikan energi. Saatnya menghadapi ujian mid yang penuh dengan tugas-tugas paper. Selamat menyambut musim hujan Jogja!



No comments:

Post a Comment

Whaddaya think?