Kuliah Prof. Sofyan Effendi hari
ini kosong. Kabarnya beliau masih sakit. Saya tetap berangkat pagi-pagi dari
rumah. Tujuan saya pagi ini adalah Pertamina Tower lantai 8. Dari majalah FEB,
saya dapat informasi kalau di sana ada coffee Shop yang cozy. Dengan kemeja
denim biru vintage dan celana Chinos merah marun, saya bergegas ke Pertamina
Tower setelah memarkir sepeda motor. Jalan aja deh, nggak sempat ambil sepeda.
Sempat nyasar karena saya salah
mengingat lantai tempat Coffee Shop ini berada. Begitu pintu lift terbuka di
Lantai 8, hidung saya langsung menangkap aroma khas kesukaan saya. Aroma kopi.
Sontak bibir saya melengkung kan senyum. Otak saya bersorak kegirangan. Saya
selalu mengalami ‘trance’ ketika
mendapati hal-hal yang saya sukai sekali. Kadang-kadang hal-hal simpel. Coffee
Shop yang bagus, sudut nyaman di perpustakaan, lagu bagus di headset ketika
bersepeda mengejar kuliah, pantai favorit saya di Bali sedang lengang dan kursi
favorit saya di samping jendela darurat pesawat tersedia. Sesederhana itu.
Saya terbelalak ketika melihat
ruangan coffee Shop di hadapan saya. Para barista, sofa cozy di sudut ruangan,
papan bertuliskan kapur, taman kecil di tengah-tengah dengan lampu taman,
halaman rumput dengan batu kali yang ditata di pinggirnya. Otak saya langsung
merespon dengan membawa memori saya ke Bali. Owh, I really Miss Bali now. And
when I Miss Bali, it must be you in my Mind! Yes, it's you, blue eyes!
Saya tidak sempat bersama-lama
larut dalam kerinduan saya dengan Bali karena pendangan yang tersaji di hadapan
saya benar-benar spektakular. Well, saya belum pernah berada di bangunan
tertinggi di kota ini. Makanya, melihat pemandangan lepas ke seluruh penjuru
Jogja dari dinding kaca dan jendela kafe ini begitu membuat saya takjub. Gunung
Merapi di sebelah utara tampak menjulang dengan separuh badannya tertutup
kabut. Bangunan-banguan padat yang berujung di pegunungan sebelah selatan
menciptakan perspektif di otak saya bahwa kota ini tidak terlalu besar. Ia kota
kecil yang vibrant dan berjiwa yang denyutnya dipompa oleh nuansa akademis dari
berbagai perguruan tinggi yang tersebar di penjuru kota, ia dihidupkan oleh
denyut-denyut kegiatan seni di berbagai sanggar, galeri, kafe-kafe, komunitas
dan keseharian penduduknya. Ia adalah pusat beradaban tua, peradaban Jawa. Sekilas
dari ketinggian ini saya melihat kota ini seperti sebuah kuwali yang
pinggirannya adalah gunng-gunung dan bukit-bukit. Melihat sebuah kota dari atas
langit seperti ini membuat kita seolah berkuasa dan mengendalikan. Rasa yang
banyak menghanyutkan manusia sehingga menjadi sewenang-wenang.
Puas melayangkan pandangan ke
seluruh penjuru Jogja, saya segera memesan secangkir Vanilla latte. Sejujurnya,
saya tidak terlalu mempedulikan rasa kopi di hadapan saya karena saya lebih
tertarik dengan apa yang ada di sekeliling saya. Mahasiswa-mahasiswa muda yang
tengah asyik berdiskusi atau sekedar mengobrol melepas penat dari perkuliahan
yang padat, seorang mahasiswa asing berambut pirang yang tengah asyik dengan
diktat kuliah, beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang tengah seru berdiskusi
sambil sesekali menyeruput minuman, para barista yang bercakap-cakap ramah
dengan beberapa pelanggan yang diselingi suara lengkingan atau bas barista yang
meneriakkan pesanan yang sudah siap, dan
pelanggan yang bolak-balik menuju bar mengambil pesanan mereka. Ini adalah
suasana sempurna yang saya inginkan dari sebuah café di kampus. Setidaknya, saya
merasakan atmosfer sebuah kampus modern meruap di tempat ini.
Menciptakan academic
atmosphere tidak melulu melaui pertemuan antara mahasisw dan dosen dalam sessi
kuliah. Malahan public space yang asyik seperti ini di mana para akademisi
bertemu dengan tidak formal dan terlibat dalam percakapan santai kan melahirkan
ide-ide yang mungkin akan menjadi proyek yang dikerjakan bersama. Proyek research
misalnya. Pertemuan kelas yang formal apalagi jika suasana yang tercipta tidak
interaktif dan kaku hanya akan mengekang otak sehingga ide-ide kreatif tidak
tercetus. Saya malah membayangkan kafe ini membuka booth-booth di setiap fakultas atau tempat mahasiswa beraktifitas
seprti perpustakaan dan sekretariat UKM where
people can easily grab their morning coffee while rushing for the next class or
their first class in the morning. In certain extent, caffeine is really healthy.
Believe me! Tentu saja variasi menu seprti fresh juice, cocktail, dan buah
segar juga bisa menjadi pilihan alternatif bagi yang tidak suka kopi. And yes, real cake please!
Memperhatikan pengunjung beserta
atributnya menjadi keasyikan tersendiri buat saya. Memperhatikan apa yang
mereka kenakan, gadget yang mereka tenteng, dan mendengarkan apa yang mereka
bicarakan. Tentu saja saya menginginkan sepatu boot yang dipakai mahasiswa yang duduk sendiri di sudut dekat bar
itu. Saya juga senang melihat paduan busana yang dikenakan oleh gadis dengan rambut
teruai sebahu yang tertawa lepas di meja dekat taman.
Matahari mulai meninggi. Udara
sudah terlalu hangat untuk dinikmati. Saatnya menuju ke kelas selanjutnya. Saya
bersemangat karena merasa amat senang menemukan salah satu sudut lagi yang
menjadi favorit saya di kampus ini. Sepertinya, saya akan sangat mudah untuk
menyukai kampus ini.l mudah-mudahan itu juga membuat saya mulai menyukai Jogja.
Tempat ini akan menjadi salah satu saksi perjuangan saya menuntut ilmu di kota
ini.
*Catatan awal masuk kuliah tahun lalu yang terselip di antara file-file paper dan bahan kuliah*
Wah, jadi ingat dulu pernah sekali ke tempat itu. Pengen lagi menikmati pemandangan Gunung Merapi dari jauh disaat cuaca sedang cerah :)
ReplyDeletewahh sudah lama nih nggak main ke cafe academic atmosphere
ReplyDelete