Apa makanan favorit anda? Kalau jawabannya adalah masakan Padang, saya sangat sedih. Berarti tidak ada yang merasakan penderitaan saya soal makanan di sini. Alah…! Lebay lo Rik!
Oke, jadi begini ceritanya. Sejak meninggalkan kota malang untuk tugas kerja ke Pontianak , pilihan makanan saya sangat terbatas (kecuali waktu lebaran kemarin ding!). Waktu tinggal di pontianak, ketika saya ingin makan yang mengenyangkan dan affordable buat kantong saya yang kembang kempis ini, pilihan bijak yang paling tepat adalah makan di warung Padang. Porsinya gue banget pokoknya! Selain itu bumbunya pas banget tidak seperti makanan di warung bahkan restoran lain yang cenderung hambar. Selama di Pontianak, makan masakan Padang bagi saya aman-aman saja walaupun tidak terlalu aman buat kantong.
Masalah dengan masakan Padang baru saya rasakan ketika meninggalkan Pontianak. Mentang-mentang akan ke Padang, saya sudah disambut langsung oleh masakan padang ketika masih berada di Jakarta. Waktu itu saya lagi jalan dengan investor SBS Cabang padang di daerah pasar Minggu. Beliau mentraktir saya makan siang masakan padang ful menu di sebuah warung padang di sana. Saya sih oke-oke saja karena memang perut saya minta diisi.
Begitu tiba di Padang pun saya juga langsung dibawa ke warung Padang. Nah, disni mulai terasa aneh. Kenapa masakannya asin dan berasa kunyit banget? Ah, mungkin kokinya masih muda dan ngebet kawin sehingga masakannya keasinan. Keesokan harinya ketika mau sarapan (lebih tepatnya makan pagi), saya berjalan kaki keluar komplek untuk memenuhi tuntutan perut saya.
Aha…! Di depan sana saya melihat gerobak bertuliskan tiga kata yang mencolok; Lontong, Gulai, Pical. Mata saya langsung berbinar membaca kata gulai. Saya agak-agak fetish dengan kata gulai. Liur saya langsung terbit. Setengah berlari (lebay banget!) saya menghampiri mak pemilik gerobak yang tengah dikerumini oleh pembeli yang mayoritas adalah gadis-gadis (well, I don't really know whether they are 'gadis' or not. However, since I'm a good boy, let's set positive thinking and consider them as 'gadis') muda yang kelihatannya sih mahasiswa kos-kosan.
Ketika giliran saya, dengan pede saya langsung menyerukan pesanan saya. Maklum saya ini rada-rada kepo. Jadi nggak perlu pake nanya-nanya dulu.
"Lontong Gulai Pical Mak (you have to call mak for every old woman here!)!"
"Apa dek?
"Lontong Gulai Pical Mak! Ulang saya lebih keras lagi.
Si Emak mengerutkan dahi. Tapi ia tetap mengambil piring dan menyiapkan makanan buat saya. Panggilan si Emak yang menyodorkan piring berisi makanan membuyarkan lamunan saya yang sedang membayangkan enaknya makan lontong sama gulai pical. Namun bayangan saya itu dibuyarkan oleh sepiring lontong yang bercampur pecel yang disodorkan si emak ke meja saya. Otak jenius saya langsung menganalisis. Hmm…pical. Saya mengurungkan niat saya untuk protes dan minta gulai karena saya sudah menyimpulkan kalau pical itu sebutan orang minang untuk pecel. Sekali lagi saya rada kepo. Jadi tidak perlu lah saya bertanya kepada si Emak. Rupanya tiga huruf tadi adalah pilihan. Lontong dengan pecel atau Lontong dengan Gulai.
Akhirnya saya yang baik ini (berbakat congkak. Astaghfirullahal adhim) dengan penuh syukur ke Tuhan Yang Maha Pemberi Rizki menerima kenyataan bahwa di depan saya adalah sepiring lontong dengan pecel dan membuang jauh-jauh nama gulai pical yang ternyata tidak eksis itu. Tapi saya masih penasaran dengan ingin merasakan makan lontong gulai. Pasti enak banget lah rasa si gulai ini. Rasa penasaran saya itu saya wujudkan ketika makan siang. Saya langsung memasuki lepau (sebutan untuk warung nasi) dan memesan lontong gulai (again karena saya kepo, nggak perlu lah bertanya dulu). Dan anda tahu apa yang tersedia di hadapan saya? Sepiring lontong dengan sayur berkuah dengan bumbu kental! Mata saya mulai mencari-cari kalau saja ada potongan daging diantara potongan nangka muda yang seperti mengejek saya itu. Nihil! Saya tidak menemukan sepotong daging pun. Akhirnya karena saya masih tetap anak yang baik seperti yang ibu saya bilang, saya menyantapnya dengan penuh rasa syukur (backsound; Opick: Syukur).
Sambil menyantap 'gulai' itu dengan penuh rasa syukur (suara Opick kembali mengalun), Saya teringat ke sebuah novel favorit saya waktu kanak-kanak dulu. Judulnya 'Hutan Keramunting di Bukit Kecil'. Salah satu adegan di novel itu yang saya ingat adalah ibu si Ipul menyediakan gulai daun Singkong yang lezat (waktu membaca buku itu, saya ikut terbawa dan membayangkan gulai daun singkong itu pasti enak sekali). Berdasarkan ingatan saya akan buku masa kanak-kanak saya itu, saya menyimpulkan kalau orang di sini pasti menyebut gulai untuk lauk berkuah yang berbumbu. Sekali lagi, karena saya rada kepo, saya nggak perlulah tanya ke orang sini. Slap me because I'm kepo!
Sejauh Mato Memandang, Kulihat Masakan Padang Udo!
Rasa-rasanya saya mulai diserang sindrom MMPKRIYLMTHR (Mabok Masakan Padang karena Itu Yang Lo Makan Tiap Hari). Bukannya saya tidak bersyukur atas apa yang ada, tapi kalau makan makanan Padang setiap hari kan bikin mabok juga. Ya, cari pilihan lain dong Erik cakep! Saya sih sudah mencoba berkeliling mencari makanan selain nasi Padang. Tapi mentok-mentoknya saya pasti akan ketemu nasi goreng dan lontong gulai juga. Sampai ketika saya mengunjungi Sijunjung (kota kecil denganjarak 2 jam dari Padang kalau ngebut, pilihan saya hanyalah lontong gulai itu.
Saya juga sudah tanya ke teman-teman saya di sini. Ada nggak sih makanan yang mengenyangkan selain nasi Padang, nasi goreng dan varian Lontong tadi? Jawaban mereka sih nggak ada. Padahal sebenarnya ada kok. Ada KFC, ada restoran steak yang nun jauh di mato, ada sea food di pantai Padang sana dan ada pecel lele (setelah saya lihat bentuknya sih bukan pecel lele tapi lalapan lele) di dekat Kedokteran Unand. Tapi itu kan nun jauh di mato udo! Masak iya setiap waktu makan saya harus ganti angkot beberapa kali plus jalan kaki? Lagipula, I'm not a type of men who like to have kinda junk food even they say it's fancy. Fancy dari Hongkong!
Apa kabarnya si warung nikmat di Malang sana? Kedai Assalamu 'alaikum sedang ngapain ya? Hello, waroeng steak n shake, how are you? (efek dari MMPKRIYLMTHR membuat saya mnceracau begini).
Tapi salut deh sama masakan Padang. Masakan in bisa ditemui di hamper semua belahan dunia , bukan hanya Nusantara. Di Belanda kabarnya banyak restoran Padang. di negerinya Om Obama juga banyak. Di tempat onta berkeliaran juga eksis katanya. Di negerinya Abang Rhys Meyer juga da kok nasi Padang. Artinya, masakan padang adalah masakan yang bias diterima oleh semua lidah penduduk bumi. Artinya lagi, suku Minang itu suku perantau alias eksodus dan bias meberikan pengaruh kepada orang lain. Ayo, tepuk tangan buat udo-udo, uni-uni, inyiak-inyiak dan datuk-datuk di sini!
Aduh, just forget my whining deh! Sebenarnya saya sudah mulai cinta masakan padang kok. Ayo kita sama-sama bernyanyi bareng Mas Opick. Satu, dua, tiga!
Bersyukur kepada Allah….
Bersujud sepanjang waktu…
"Eits…jeng Dee, Jeng Osya, pake suara satu dong! Suara mas Opick cukup saya yang mewakili"!
"Nah, jeung Ridho dan Jeung Sunu, cukup jadi backsound aja!!
"Oke, kalau Mas Radhen, bolehlah ikut suara saya. Suara sampeyan cukup mengimbangi suara saya kok! Mas Iqbal juga boleh gabung!"
Nah, gitu dong. Ayo kita mulai lagi…!
Bersyukur…bersyukur…bersykur…
Eng…., maafkan saya. Saya lupa teksnya.