Monday, December 13, 2010

Saya, Pesawat dan Nenek-Nenek

Selama melakukan traveling, saya punya macam-macam kisah dengan alat transportasinya. Terutama dengan pesawat. Karena kantong saya ini rada-rada tipis, belum pernah lah saya ini naik burung raksasa aneh yang selalu noleh ke kiri itu. Otak saya selalu mensetting tindakan saya untuk membeli tiket kelas ekonomi dari pesawat-pesawat ekonomi pula atau istilah kerennya budget airlines. Kalau ada yg lebih ekonomi lagi, pasti saya akan mencari tiket itu. Makanya, ketika mendengar uji coba Ryan Air untuk tiket berdiri, saya senang sekali dan berharap segera dilaunching saja.


 

Naik budget Airlines nggak boleh ngeluh, apalagi complain. Kursinya aja sudah dipadat-padatin kayak gitu hingga lutut saya ini rasanya pegel walaupun Cuma terbang dari Dempasar ke Surabaya. Makanya, bagi anda yang termasuk big sized, tidak disarankan untuk naik budget airlines. Wong saya aja yang slim sexy ini rada tersiksa kok.


 

Saya Hampir Selalu Duduk di Samping Orang Tuwir

Walaupun ketika check in saya cerewet minta seat yg dekat ini dekat itu, yang duduk di samping saya hamper selalu para senior. Senior banget malah. Kecuali pas penerbangan dari Jakarta ke Padang kemarin, saya duduk di samping uni-uni yang lumayan bisa diajak ngobrol. Tapi itupun hanya sebentar karena uni itu minta pindah karena nggak mau duduk di samping pintu darurat. Akhirnya datanglah laki-laki paruh baya yang kerjaannya tidur melulu menghempaskan pantatnya di seat samping saya.


 

Dari Jakarta ke Balikpapan, saya duduk di samping ibu-ibu dengan 3 orang Balita. Wuih…! Produktif sekali ibu ini. Jadilah saya sepanjang perjalanan menjadi om yang baik buat anak-anak yang baru saya kenal di pesawat itu. Nggak masalah sih sebenarnya karena saya suka anak-anak. Tapi kan nggak enak juga saya dikira bapak-bapak gara-gara berjalan ke ruangan arrival dengan menggendong anak kecil. Takutnya ntar yang menjemput saya shock karena melihat saya gendong bayi sedangkan saya nggak pernah ngundang-ngundang dia ke pesta pernikahan saya yang memang nggak ada. Apalagi runaway airport adalah tempat saya biasa jalan dengan langkah lurus segaris dan ekspresi minta ditampar. Kalau bawa bayi gini kan nggak ngefek.


 

Tapi ada enaknya juga duduk di dekat para generasi tua begini. Ketika dari Pontianak ke Jakarta kemarin, saya duduk di tengah-tengah diapit oleh dua senior. Sebelah kiri saya duduk seorang professor yang tidur melulu dan di sebelah kanan saya duduk nenek yang berusia lanjut banget (ya, sekarang regu B. haha…ingat cerdas-cermat di TVRI dulu). Waktu itu saya ke airport dengan mata 5 watt karena masih ngantuk banget gara-gara semalaman begadang packing dan harus mengejar first flight. Saya pun nggak sempat sarapan atau sekedar minum segelas susu. Check in yang kayak orang ngantri naikin muatan ke atas truk membuat saya juga tidak sempat untuk sekedar membeli sepotong pengganjal perut di bandara. Iya check inny rebutan, nggak pake ngantri-ngantri.


 

Ketika duduk sambil merenungi nasib perut saya di pesawat, saya dikejutkan oleh seorang nenek yang mau duduk di seat dekat jendela. Walaupun saya ingin banget duduk di dekat jendela karena ingin melihat pemandangan sungai Kapuas dan sungai-sungai kecil yang mengular membelah-belah kota Pontianak, saya mempersilahkan nenek itu duduk di seat yang saya duduki. Awalnya hati saya agak dongkol. Tapi melihat keriput di wajah nenek itu kedongkolan saya langsung berganti dengan kasihan. Tapi dalam hati saya tiba-tiba muncul kesimpulan begini; di kereta api kalau ada ibu-ibu tua biasanya mereka bawa bekal makanan banyak. Pasti nenek di samping saya ini pun bawa makanan banyak! Taruhan pisang ambon setandan! (eits… nggak boleh taruhan. Dosa tauk!). Otak saya terus mendendangkan kesimpulan yang lebih merupakan suara perut saya yang udah lapar banget itu.


 

Ketika saya menoleh nenek di samping saya tengah minum satu kaleng cincau kemasan produk Malaysia itu (di postingan sebelumnya saya sudah sedikit bercerita tentang produk-produk ini). Tak disangka-sangka dia menawarkan satu kaleng buat saya. Alhamdulillah…serasa dapat rezeki nomplok saya. Sekaleng cincau itu bagi saya seperti dapat sekotak banana pancake ketika sedang sakaw BP (banana pancake). Tidak cukup sampai di situ, nenek itu kemudian merogoh lagi tasnya dan mengeluarkan satu kantong aneka cemilan. Sisa cemilan lebaran katanya. Kalau saya mau lagi, katanya di kardus-kardus di kabin itu masih ada banyak kue lapis. Hoho… mendadak tangan saya bergerak aktif berpindah dari kantong itu ke mulut saya. Saya tidak peduli lagi sama jaim atapun malu sama pramugari yang lewat. Sesaat saya merasa seperti berada di atas kereta Matarmaja. Tiba-tiba nenek itu berubah menjadi teman ngobrol yang menyenangkan. Sisa perjalan saya pun diisi dengan having a good conversation with the grandma walapun saya ngomong apa dia ngomong apa. Namanya juga beda generasi. Sampai di Cengkareng, perut saya sudah kenyang. Nenek bahagia karena ada yang endengarkan dia bercerita, saya bahagia karena cacing-cacing di perut saya berhenti memberontak.


 

Di film-film sering saya mendapati kisah-kisah romantis dengan scene bertatapan mata ketika papasan di ruang tunggu atau book corner airport, terus mengambil majalah yang sama dan dilepas lagi dengan senyum malu dan ketika di pesawat ternyata seatnya sebelah-sebelahan, tukaran nomor handphone atau email dan diakhiri di Pelaminan. Tampaknya, kisah-kisah seperti itu nggak mungkin banget deh. Buktinya saya hamper selalu duduk dekat para 'senior'.


 

A Million Mile Journey Starts form Two Hours Delay!


 

Delay, Bukan hal langka lagi kalau kita naik budget airlines. And again, don't bother yourself to complain because you'll find 'maaf bapak…bla..bla..! It's better to keep silent and read your book or enjoy yourself in your favorite music chart from your I-pod. In my case, saya senang kalau ada delay. Itu artinya saya punya banyak waktu buat jalan bolak-balik dengan langkah lurus segaris dengan ekspresi minta ditampar. Itu artinya lagi saya punya waktu buat menghabiskan bacaan saya, tambahan waktu buat memperhatikan orang yang lalu-lalang dan additional time to have a good conversation dengan kenalan yang didapat di situ. Terakhir saya ngobrol asyik adalah di Soekarno-Hatta dengan seorang antropolog swedia pas ketinggalan pesawat ke Surabaya. Saya dan antropolog tua yang sudah melanglang buana itu mengobrol tentang berbagai topic. Kebetulan waktu itu sedang hangat-hangatnya buku 'Atlantis' karya Arysio Nunes dos Santos. Bisa dibilang, ini adalah obrolan paling 'bergizi' saya selama menunggu di airport.


 

Hmmm….sebenarnya masih banyak yang mau saya ceritakan tentang pengalaman saya dengan pesawat. Termasuk kelanjutan kisah tentang nenek tadi yang ternyata ujung-ujungnya saya harus 'membayar' makanan yang saya makan. Tapi ini sudah jam 2 pagi dan saya ingin istirahat dulu.

Mabok Masakan Padang di Pad

No comments:

Post a Comment

Whaddaya think?