Monday, December 13, 2010

Pontianak 7# Mempawah; We Have an Amazon Forest in the Middle of City

Katana yang dikemudikan oleh Bang Aji, atasan saya di kantor dengan kecepatan sedang membelah jalan meninggalakan kota Pontianak menuju ke arah utara. Jembatan yang melintasi sungai Kapuas yang biasanya menjadi titik kemacetan sore ini tidak terlalu ramai. Begitu juga dengan jembatan yang melintasi sungai landak. Meriam-meriam sebesar tampak sudah siap terpasang dengan posisi siap tembak di sepanjang tanggul sungai yang juga dipenuhi oleh rumah penduduk yang berdiri di atas sungai. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Pontianak untuk membunyikan meriam ketika Ramadhan berakhir. Bahkan ketika baru memasuki minggu terakhir bunyi dentuman meriam sahut menyahut memecah kesunyian malam ketika sebagian orang tengah khusyuk beritikaf. Meriam-meriam ini terbuat dari batang kelapa yang dilubangi dan diisi dengan ramuan karbit sehingga menghasilkan dentuman yang menggetarkan.


 

Tujuan kami sore ini adalah mengunjungi kota Mempawa. Sebuah kota kecil yang terletak di sebelah utara kota Pontianak dengan jarak tempuh sekitar 1 jam dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Hujan lebat yang hampir setiap hari mengguyur kota membuat suasana begitu syahdu. Saya sangat suka naik mobil atau bus ketika hujan turun seperti ini. Rasanya sangat syahdu dan melankolik.


 

Perjalanan sore ini adalah "safari berbuka bersama" yang ke-15 sekaligus terakhir yang dijadwalkan oleh kantor saya. Ini juga adalah yang terjauh karena buka bersama akan diadakan di rumah orang tua isteri Mr. Bos. Agenda buka bersama yang digilir di setiap rumah karyawan ini benar-benar membuat karyawan semakin dekat atu sama yang lain. Kantor saya rasanya seperti sebuah keluarga desa bukan perusahaan. Baru tiga minggu bertemu dengan para teman-teman crew SBS, saya merasa sudah mengenal mereka bertahun-tahun. Sebuah hubungan kerja yang sangat hangat. Mr. Bos seperti bukan atasan tapi lebih menyerupai tetua yang kami hormati dan sayangi.


 

Kembali ke perjalanan menuju kota Mempawah. Sepanjang perjalanan saya tidak terlalu terlibat percakapan dan gurauan kawan-kawan yang lain. Duduk di samping Bang Aji yang adalah general manager di kantor kami, saya lebih banyak melepaskan pandangan ke sisi kiri-kanan jalan silih berganti. Sungguh bagi pemandangan yang luar biasa bagi saya yang tebiasa melihat gunung-gunung dan bukit di kota saya. Pemandangan yang saya dapati adalah hamparan luasa lahan gambut dan kebun kelapa yang diselang-selingi oleh rumah-rumah kayu milik transmigran. Lahan-lahan yang dibelah oleh sungai kecil berair cokelat ini adalah potensi pertanian yang luar biasa. Yang paling saya sukai adalah kanal-kanal yang memisahkan jalan raya dengan rumah penduduk di sepanjang jalan. Perahu-perahu kecil dan speed boat tampak tertambat di dermaga-dermaga kecil di depan rumah. Sayangnya, sepertinya kanal-kanal itu tidak terlalu banyak lagi dipakai sebagai jalur transportasi. Itu dibuktikan dengan jembatan kecil yang dibangun di depan rumah tidak dibangun cukup tinggi agar perahu-perahu itu bisa lewat dengan leluasa dibawahnya.


 

Memasuki daerah yang bernama Sungai Pinyu,kiri-kanan jalan dipenuhi oleh penjual keppa' (kerang). Kerang-kerang air itu digantung dalam jaring-jaring kecil di lapak-lapak sepanjang jalan. Ukurannya cukup besar. Air liur saya segera terbit membayangkan semangkuk sup kerang di hadapan saya.


 

Memasuki kota Mempawa saya diserang de Javu. Kota ini mengingatkan saya akan kota-kota pertanian di Amerika yang menjadi latar film-film koboy. Sebuah kota kecil yang sangat sepi karena pemekaran wilayah. Mempawah adalah ibu kota kabupaten Pontianak. Ketika Kabupaten Pontianak dipecah menjadi dua kabupaten, Kubu Raya dan Kabupaten Pontianak, sebagian SDMnya berpindah ke Kubu Raya dan meninggalakan Mempawah menjadi kota yang sepi.


 

Akan tetapi menurut saya, kota ini adalah tempat yang amat nyaman buat bermalas-malasan di akhir pekan. Suasana kotanya pun menyenangkan. So, laid back! Kota ini di belah oleh sungai Mempawah yang pinggirannya masih ditutup hutan rapat. Pohon-pohon yang separuh batangnya terendam air sungai membuat saya merasa berada di hutan Amazon. Bedanya, kalau di Amazon kita hanya bisa menemukan rimba sedangkan disini, di satu sisi kita akan menemukan hutan sedangkan di sisi yang lain kita akan berhadapan dengan kota. Dan ternyata di belakang hutan yang seperti rimba tadi, masih ada bagian kota yang lain. Bahkan Istana kesultanan Mempawah terletak di seberang sungai, satu garis dengan hutan tadi. Seperti Istana Qadariyah di pontianak, istana ini juga berdiri anggun di Pinggir sungai. Keberadaan istana di pinggir sngai menandakan bahwa sungai ini menjadi jalur transportasi penting pada masa kesultanan masih berjaya. Istana itu dilengkapi dengan sebuah masjid kayu yang masih kokoh berdiri hanya beberapa meter dari tanggul sungai. Bahkan salah satu anjungan (cottage) nya berdiri di atas air. Saya beruntung sempat merasakan shalat jum'at di mesjid ini.


 

Menurut saya kota Mempawah sangat tepat untuk dijadikan tempat leisure asalkan fasilitas untuk itu dibangun. Letaknya yang diapit oleh Pontianak dan Singkawang membuatnya cocok dibuat sebagai tempat berlibur dan bersenang-senang bagi kedua warga kota itu.

No comments:

Post a Comment

Whaddaya think?