Akhirnya saya punya juga
kesempatan untuk mengurus passport setelah tertunda beberapa kali. Dokumen pelintas
batas ini akan membawa saya menjadi warga global, warga dunia. Saya memilih
untuk mengurus passport di kota kelahiran saya karena memang di KTP saya masih
tercantum sebagai warga Kabupaten Bima. Selain itu, bertepatan dengan libur
super panjang yang saya ambil dalam rangka lebaran. Dimana itu Bma? Googling
deh.
Begitu sampai di Bima, saya baru
tah kalau di kota tercinta saya itu tidak ada kantor imigrasi. Kantor imigrasi
adanya di Mataram dan yang terdekat di Sumbawa dengan jarak tempuh 7 jam naik
bus. Oh tidak!
Dengan menghibur diri bahwa saya
akan menyaksikan pemandangan indah sepanjang jalan Bima-Sumbawa dan keinginan
kuat untuk memegang passport, saya pun berangkat ke Sumbawa dengan diringi doa
dan cucuran air mata dan bekal seadanya (oke, itu lebay!).
Ternyata rencana yang saya buat
tidak sesuia dengan di lapangan. Seharusnya berangkat jam 6, saya dapatnya bus
jam 10. Dengan hitungan di otak saya, berangkat jam segitu pun saya masih bisa
engurus passport hari itu juga.tapi sekali lagi, realita berbicara lain. Saya baru
sampai di Kota Sumbawa ketika sore menjelang dengan cahaya remang-remang dari
balik semak-semak. Aduhh..! bakalan nginap deh. Belum juga berurusan dengan
ribetnya kantor imigrasi, saya sudah harus ribet aja nyari tempat nginap di
kota antah berantah ini.
Telfon sana-telfon sini, ternyata
saya tidak perlu menginap di hotel karena saya punya family di sini. Menguhbungi
family dan keluarga di saat butuh doang adalah hal ayang amat sangat prgmatis. Jadi,
jangan ditiru. Akhirnya, saya menginap di rumah paman saya yang ternyata
jaraknya cuma sekoprolan saja dari kantor imigrasi.
Keesokan paginya, saya sudah rapi
jali berdiri di depan kantor imigrasi. Sengaja rapi jali karena saya sudah thu
bakalan berurusan dengan petugas imigrasi yang katanya ribet. Jadi, saya tidak
mau menambah masalah di penampilan. Mainstream saja lah.
Begitu mau melangkahkan kaki ke
pintu kantor, saya dicegat oleh dua lelaki sekaligus. Hey! Saya memang menarik,
tapi ngantri duonng! (halah!). Rupanya mereka calo yang mau menawarkan bantuan.
Dengan sangat baiknya meraka langsung meraih dokumen-dokumen saya buat
diperiksa. Eits…tampang kayak lo, nggak boleh nyentuh-nyentuh dokumen gue. Tapi
tentu saja saya tidak ngomong seperti itu. Bisa digebukin nanti. Yang saya
lakukan adalah tersenyum ganteng lima jari dan bilang;
“terima kasih bapak-bapak yang
kumisnya menakutkan (oke tiga kata terakhir itu nggak masuk). Saya akan menguru
sendiri”
Wajah manis bapak-bapak tadi berubah
menjadi asem banget! Mereka ngedumel dalam bahasa Sumabwa yang lagi-lagi saya
balas dengan senyuman. Tapi saya bertekad, itu adalah senyum terakhir yang saya
berikan pada mereka. Tidak sudi aku!! Tapi rupanya dua bapak itu tidak rela,
dia malah mengoper saya ke temannya yang menyerupai petugas (berseragam) di
dalam kantor imigrasi. Akhirnya, karena bingung yang mana bagian informasi dan yang
mana calo, saya minta bertemu dengan kepala bagian yang ngurus-ngurus passport
(lupa namanya).
Ketika bertemu dengan bapak
kepala bagian itu, saya menjadi tenang. Si bapak tersenyum ramah dan menanyakan
keperluan saya. saya pun bercerita kemuadian bertanya calo-calo itu legal? Saya
menyampaikan kalau saya tidak ingin ‘dibantu’ oleh mereka. Akhirnya si Bapak,
memeriksa kelengkapan dokumen saya dan celaka!
Ternyata mereka mensyaratkan
adanya surat pengantar dari orang tua, kampus atau kantor. Setelah berpikir
sebentar, saya menyanggupi untuk melampirkan surat rekomendasi kantor. Saya segera
menelfon sahabat saya Ridho yang masih ngantor dan juga Kak Dian. Saya minta
tolong kedua-duanya untuk membuatkan surat rekomendasi dan mita dikirimkan
melalui fax.
Nah, masalahnya sekarang mau cari
tempat menerima fax di mana? Ah, tenang ada tukang ojek. Dengan bantuan tukang
ojek, saya sampai di kantor Telkom yang mempunya layanan faximile. Dan tenang
saja, tukang ojek dan umumnya penduduk kota Sumbawa itu ramah-ramah banget kok.
Calonya aja yang asem.
Setelah kering menunggu di dengan
pemandangan customer service bertampang nan jutek itu, akhirnya surat
rekomendasi sampai di tangan. Segera meluncur kembali ke antor imigrasi. Saya melangkahkan
kaki di bawah tatapan sinis calo-calo yang ‘bantuannya’ saya tolak.
Sebelumnya saya membaca alur
pembuatan passport dan ketentuan-ketentuannya yang terpampang besar di tembok. Oh,
jadi passport 48 halaman biayanya Cuma Rp. 255.000 dan passport dengan jummlah
halaman di bawah itu lebih murah pula.
saya menuju ke loket penyedia
formulir. Saya mengambil formulir dengan gaya bahwa formulir itu memang gratis.
Tapi kemudian saya berdiri bimbang. Yang say abaca di internet, map berisi formulir
itu gratis, tapi petugas biasanya minta uang administasi. Petugas di depan saya
juga kelihatannya bimbang. Dengan bodohnya saya bertanya;
“gratis kan?
“bayar mas. 30 ribu!
Ya sutralah ya. Makan itu 35
ribu!
Setelah saya buka map,
terpampanglah tulisan besar-besar; FORMULIR INI GRATIS, TIDAK DIKENAKAN BIAYA
APA PUN!
Halah! Harusnya saya tidak boleh
bimbang.
Setelah mengisi formulir saya
menyerahkan ke loket dan bertanya berapa lama saya harus menunggu. Si petugas
blang Cuma 1 jam.
Oke lah kalau begitu!
Satu jam menunggu, saya dipanggil
untuk scan sidik jari dan wawancara plus membuat pas foto. Satu lagi yang
eleset dari informasi yang saya dapat di internet. Ternyata fotonya nggak boleh
bawa sendiri. Padahal saya sudah foto ganteng pake jas rapi kemarin.
Yang judulnya wawancara ternyata Cuma
obrol-obrol singkat mau kemana dan untuk apa sambil menanda tangani passport. Dan
informasi yang membuat saya shock adalah ketika petugasnya bilang; silahkan
datang untuk mengambil passport anda 4 hari lagi.
Waduh, bisa berabe ini. Bagaimana
mau kembali 4 hari lagi kalau saya harus kembali ke Malang dua hari lagi?
Petugasnya bilang pengambilannya bisa diwakilkan. Tapi, saya merasa kepalang
tanggung. Sudah repot biar repot sekalian. Kalau bisa selesaikan hari ini juga
deh.
Setelah berbagai alasan cantik
nan rasional, salah seorang petugas wanita dengan senyum manis bersedia
mengusahakan passport saya jadi hari itu juga. Saya mgotot mau selesai hari tu
juga karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri ada yang passportnya
langsung jadi seketika. Dengan pelican sejumlah lembar rupiah tentunya.
Si Mbak baik hati itu dengan amat
menyesal mengatakan tidak bisa membantu saya setelah bolak-balik ke berbagai
ruangan mengusahakan passpot saya bisa diambil seketika. Saya hampir menyerah dan
akan mewakilkan pengambilan passport kepada paman saya.
Tapi seberkas ide menyinari otak
saya menjadi eureka! Saya menelfon abang saya dan minta untuk menelfon om saya
yang pernah di Imigrasi propinsi dan sekarang ada di imigrasi Jakarta. Rupanya sang
paman cepat tanggap dan merekomendasikan beberpa nama.
Dengan pede, saya minta bertemu
dengan beberapa nama yang direkomendasikan om saya itu. Akan tetapi respon yang
saya dapat adalah; mereka kebingungan karena nama itu tidak pernah ada dalam
memori otak mereka.
Saya segera menanyakan kembali ke
om saya. halah, rupanya beliau engira saya ada di kantor imigrasi propinsi. Nama-nama
yang beliau sebutkan itu adalah mantan staffnya di imigrasi propinsi. Akhirnya keluarlah
dua nama yang harus saya hubungi di kantor ini setelah paman saya terlebih
dahulu menelfon mereka.
Si Bapak kepala bagian yang tadi
tempat saya bertanya turun langsung mengurus passport saya agar bisa diambil
saat itu juga. Dan taraaaa….! Passport hijau sudah di tangan saya dengan waktu
pengurusan tidak lebih dari 3 jam!. Selain itu petugasnya sama sekali tidak
ribet (karena saya punya koneksi om sayaJ).
Dengan hati riang saya,
jalan-jalan dulu melakukan city tour sambil menunggu jadwal keberangkatan bus. Passport
di tangan, saya merasa bebas. Tinggal koprol dan ngesot aja tuh ke Thailand. Tinggal
lompat ke Swiss!