Tidak terasa saya sudah 3 minggu tinggal di Kota Batam. Walaupun kota ini begitu berkesan dengan keramaian industri dan pusat perbelanjaannya, saya belum menemukan soul kota ini yang sebenarnya. Saya masih bingung mengidentifikasi. Menurut saya yang tampak masih sangat artificial. Maksud saya saya belum menemukan sesuatu yang menjadi ciri khas kota ini selain wujud fisiknya. Misalnya kalau saya menyebut kota Jogjakarta, orang akan langsung merujuk ke kebudayaan jawa, mahasiswa dan kreatifitas. Ketika menyebut Malang, asosiasi yang muncul adalah adem, damai, murah meriah dan ceria. Kalau saya menyebut Padang, otak saya akan langsung menyambut dengan well dressed people, makanan padang, uda, uni (selain gempa ya). Apa karena di sini saya kurang gaul ya? Atau memang kota ini masih sangat muda dan sedang membangun 'soul'nya?
Berbicara mengenai cirri khas yang membuat sebuah kota tidak terlupakan seperti Jogjakarta menurut saya bukan lewt fisik. Ciri khas itu terbangun dari budaya dan keseharian penduduk sebuah kota. Nah, budaya keseharian itu yang belum saya temukan di sini. Banyak sih orang yang nongkrong di di café-café di mal, tapi rasanya kok berbeda dengan nogkrong di kafe di Malang ya? Padahal kan kafeya lebih keren. Nah, satu lagi. Di sini hampir semua kegiatan berpusat di mal. Kafe-kafe berpusat di mal. Setiap hari mal selalu penuh dan akan menjadi sangat sesak pada akhir pekan dan hari libur.
Anyway, ada banyak hal yang saya alami selam tiga minggu di sini. Salah satunya saya kehilangan beberapa barang dan sejumlah uang. Saya kehilangan dalam waktu yang beruntun.
Yang pertama saya kehilangan uang yang saya letakkan di dalam kantong rahasia tas saya. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk selalu menyisihkan uang di laci tas atau diselipin di kantong dompet yang jarang dibuka. Tujuannya sih untuk persediaan kalau butuh duit yang di luar budgeting.
Awalnya saya tidak mengindahkan raibnya uang itu karena saya pikir mungkin saya lupa telah mengambilnya. Tapi hari kedua, lagi-lagi uang hilang. Masih di kantong yang sama, tapi kali ini di dalam dompet bukan dalam amplop. Saya mulai yakin kalau ada pencuri yang memasuki kamar saya. tapi kapan? Dan yang diambil kok uang saja (hoho…saya tidak mengharapkan dia mengambil lebih)? Barang-barang yang lain tidak disentuh. Saya juga mulai ragu-ragu. Tuyul itu benar-benar ada ngak sih? Pikiran itu muncul karena pintu kamar saya tergembok ketika saya meninggalkan kamar.
Saya segera mengecek gembok dan menemukan gembok sedikit tergores seprti pernah dibuka paksa. Tapi dasar pikiran saya terlalu positif. Mungkin saja gembok itu tergores dan agak bengkok karena saya benturkan. Ah, itu sih bukan pikiran postif tapi terlalu polos dan bodoh.
Sehari setelah kehilangan uang, saya mendapat teman baru, fotografer. Sama-sama baru juga di Batam ini .dia datang dari Jakarta. Ketika saya tengah was-was karen ameras atidak aman dengan kamar saya, dia mengajak saya pergi berenang. Ajakan yang saya sambut dengan gembira karena say suka berenang. Sangat menyenangkan mendapat teman baru dengan hobby yang sama di mana saya masih merasa asing.
Setelah seharian berenang plus steaming di sauna, saya kembali ke rumah. Begitu membuka kunci kamar dan membuka pintu, perhatian saya langsung tertuju ke meja. Jantung saya langsung berdegup kencang karena saya tidak menemukan modem Aha milik saya. sambil menenangkan diri saya segera memeriksa segala penjuru kamar sambil mengingat-ingat di mana saya menaruhnya. Saya ingat persis detail kejadian tadi pagi sampai pada adegan saya menaruh modem saya di atas laptop.
Oke, sampai di sini saya yakin kalau pencuri itu adalah salah satu penghuni rumah ini. Saya menganalisa semua kemungkinan pelaku. Dan saya curiga kepada anak kedua ibu kos yang baru mau masuk SMP. Tapi hati saya membantah. Dia terlalu manis dan baik untuk menjadi pencuri. Benak saya yang lain membantah; dulu di sekolah yang menjadi biang semua kehilangan adalah seorang anak yang manis dan baik hati pula. Mungkin dia klepto benak saya menguatkan.
Malam itu saya menggendong backpack laptop saya menuju warnet di ruko depan kompleks. Tas kamera saya sandang di pundak. Saya tidak berani meninggalkan barang berharga di dalam kamar. Pokoknya mala mini saya harus online karena sudah janjian dengan abang Swiss saya. dalam chat session mengalirlah cerita kemalangan saya. Abang saya menghibur saya plus menakut-nakuti kalau pencuri itu akan masuk ke kamar ketika saya tidur dan mengapa-apakan saya. Hiiii…..saya jadi parno sendiri.
Setelah menakut-nakuti saya, Si Abang menghibur dengan menjanjikan akan mengirimkan saya sepuluh parfum yang bisa saya pilih sendiri. Dasar saya. demi mendengar janji itu, kekhawatiran dan kegalauan akan kehilangan tadi langsung sirna. Di otak saya langsung berkelebat kata-kata cartier, Gucci, Channel, Bvlgary, Versace, Prada, Prada, Dolce & Gabbana dan PacoRabbane, sederet merek parfum lainnya.
Aduh, saya membayangkan kalau saya adalah seorang raja. Saya bergidik membayangkan ada utusan Negara musuh datang kepada saya dengan hantaran berupa-rupa jenis parfum dengan tujuan meminta sebagian wilayah kekuasaan saya. Halah! Itu sih nggak mungkin juga lah. Pikiran konyol. Kalau saya seorang raja tentu saya akan membeli setiap ada parfum keluaran terbaru. Bahkan saya akan member beasiswa kepada rakyat saya yang berbakat untuk belajar langsung kepada para master perfume di Perancis sana agar bisa menjadi perfumer handal dan membangun brand sendiri dan membuat parfum special buat saya. Haha….! Raja yang aneh.
Setelah pulang dari warnet dan tebuai dengan deretan parfum yang dijanjikan oleh abang saya, saya langsung rebah dan tertidur. Keesokannya ketika saya sudah rapid an wangi, saya meraba kantong Yves Saint Laurent tempat saya menaruh cincin perak cantik hasil berburu ke Koto Gadang pada Sumbar trip kemarin. Seketika detak jantung saya berdegp lebih kencang. Cincin itu tidak ada. Padahal cincin itu keren banget dengan 3 batu giok bening kecil-kecil yang mengiasinya. Itu cincin perak dengan karat tertinggi yang pernah ada, 9,65 karat.
Kembali saya menelepon teman saya dan dia langsung menyarankan say apindah kos. Dia akan mencarikan buat saya. mau pindah kos rasanya berat juga. Saya sudah kerasa dengan suasana kos ini. Akhirnya siangnya saya dijemput dan diajak jalan sama teman saya itu tour dari mal ke mal. Rupanya dia ingin menghibur saya. terharu biru saya dibuatnya. Karena hiburannya adalah makan-makan dan jalan ke mal, jadilah saya membeli jeans incaran saya sejak kemarin. Padahal saya membatalkan membeli jeans itu setelah nota ditulis sama pramuniaganya. Haha…rupanya jeans itu memang ditakdirkan untuk saya. Memikirkan jalan cerita jeans itu, saya memutuskan untuk langsung memakainya begitu selesai membayar di kasir. Jeans baru menaikkan keceriaan saya beberapa bar lagi. Saya juga membeli buku fotografi yang mahalnya amit-amit itu.
Perjalan meghibur saya malam itu berakhir di hadapan kepiting raksasa yang sedang sial menjadi santapan saya.
Besoknya saya langsung melapor ke pemilik rumah tentang kehilangan yang menimpa saya. ekspresi si ibu sangat kaget. Dengan segera dia memanggil anak sulungnya dan menyeretnya pergi. Sejam kemudian dia kembali dan meminta maaf karena belum menemukan modem saya yang rupanya diambil oleh anaknya itu. Saya kecele. Saya malah mengira pencurinya si anak kedua yang pendiam dan manis. Ternyata si anak sulung bertampang masam dan preman itulah pelakunya. Kali ini saya harus bilang; do judge the book from its cover!
Sampai sekarang, saya sudah mencoba untuk mengikhlaskan kehilangan yang menimpa saya. Si pencuri itu sekarang tidak pernah muncul lagi di rumah ini. Dia diusir dari rumah oleh ibunya dan si bapak tidak tahu. Keluarga yang aneh. Si ibu tidak mau memberitahu si bapak karena takut anaknya bakal disiksa oleh si bapak. Lah, kalau kayak gini? Bukannya lebih menyiksa. Mengusir, kemudian membiarkannya tumbuh liar dengan masa depan tidak jelas. Saya ragu, sayang nggak sih dia sama anak-anaknya.
#
Sebenarnya saya bingung saya menulis apa. Berpanjang lebar dengan ujung dan pangkal yang tidak nyambung. Saya hanya sedang menumpahkan apa yang ada di otak saya sekarang.
Setiap anak mestinya dapat perlindungan dari keluarga, lingkungan, dan negara. Rasanya berlebihan kalau kita menganggap bahwa kenakalan si sulung itu "memang sudah dari sananya"; udah takdirnya harus nakal. Kenakalan seorang anak mestinya juga difahami sebagai ketidakbecusan orang tua.
ReplyDeleteKalau si sulung harus pergi dari rumah karena kenakalannya, mestinya si ibu dan bapak juga minggat karena ketidakbecusannya. Itu "takdir" yang paling adil.
Kalau sudah begitu, muncul masalah baru, "bayar sewa kosnya sama siapa?"