Saturday, April 23, 2011

Intangibles 3# Knowledge Management



Education, as well as knowledge, is not preparation for life. They are life themselves (John Dewey)


 

Kota Palembang benar-benar panas pagi itu. Saya dan Agung, manager SBS Palembang sudah mengantri di belakang puluhan mahasiswa dan dosen di Kampus Universitas Sriwijaya Bukit. Kami tidak sedang mengantri pembagian ransum makanan. Kami sedang menunggu giliran untuk bisa naik ke atas bus kampus yang akan membawa kami ke Kampus Universitas Sriwijaya Pusat di Indralaya yang akan menjadi partner kerjasama SBS dalam menggelar Training 6 Minggu Bisa! pertama kami di Sumatera Selatan. Pada pagi seperti ini, kita harus benar-benar gesit kalau ingin dapat tempat duduk yang nyaman. Semua ingin sampai paling cepat untuk mengejar kelas masing-masing. Begitu duduk di kursi bus, suasana menjadi lain. Tidak ada lagi suara hiruk pikuk. Masing-masing sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang membaca, melamun dan ada juga yang mencoba melanjutkan kembali tidurnya. Kalau saya, seperti biasa. Observasi iseng!


 

Setelah melewati banyak jembatan dan lahan gambut selama 1 jam, sampailah bus yang membawa kami di Indralaya. Kota ini tidak pernah ada di benak saya sebelumnya. sebuah kota kecil kabupaten hasil pemekaran. Kota ini dilalui oleh jalan lintas Sumatera. Masih agak susah bagi saya untuk menyebutnya kta. Walaupun begitu, ternyata saya mencintainya setelahnya. Buskampus yang saya tumpangi ini tidak akan menaikkan penumpang di tengah jalan dan akan membawa anda langsung masuk ke dalam terminal bus kampus yang luas.


 

Tugas pertama saya sebagai GM adalah membuka kelas dan kelas baru di kota Padang. Didorong oleh naluri travelling saya, kota itu saya pilih sendiri karena saya ingin menginjakkan kaki saya di Pulau Sumatera. Ketika berhasil membentuk tim di Padang, tiba-tiba saya dikirim ke Palembang untuk membuka kelas dan cabang baru di Palembang yang calon pesertanya sudah menunggu. Pada saat itu, waktunya sangat mepet. Saya punya waktu 2 hari sebelum memulai kelas. Ketika pagi sampai di Palembang, pagi itu juga saya langsung bertemu dengan tim untuk melakukan adjustment untuk product knowledge dan quick breefing untuk menghadapi pra-training 6 Minggu Bisa! Hasilnya bisa dibayangkan, saya kelabakan harus memulai kelas dengan tim yang 'disiap-siapin'. Minggu-minggu pertama adalah one man one show. Sangat melelahkan namun juga menantang. Sambil menjalankan program, saya berusaha untuk terus meng-upgrade tim. Untunglah pada waktu itu saya juga membawa satu tim saya dari Padang.


 

Pada minggu kedua training, saya harus meninggalkan Palembang karena training 6 Minggu Bisa! di Padang juga harus segera dimulai dalam hitungan hari. Saya hanya punya waktu 3 hari untuk menyiapkan semuanya sebelum training dimulai. Masa-masa ini benar-benar menjadi masa pembelajaran yang sangat berharga bagi saya. Saya menemukan error dan best practice yang menjadi learning cases bagi saya. Ibaratnya belajar, saya merasa seperti mengambil S2 dalam waktu yang singkat dengan materi yang super padat. Gabungan teori dan porsi kasus yang lebih banyak di lapangan. Saya merasa sangat beruntung melewatinya.


 

Satu hal yang sangat saya suka adalah ketika saya harus meninggalkan Palembang dan mentrasfer semua pekerjaan saya kepada kolega yang menggantikan saya. Karena saya lumayan detail, sebelum kolega saya datang ke Palembang, saya sudah menyiapkan narasi perkembangan pekerjaan yang saya lakukan dan rekomendasi action apa yang harus dia lakukan. Bahkan saya membuatkan dia dekskripsi lengkap per peserta serta narasi extra untuk peserta yang butuh treatment khusus. Saya juga menuliskan panjang lebar ide saya tentang apa yang saya inginkan tentang keberlanjutan program itu. Tebukti itu sangat efektif untuk mentransfer ide dan knowledge.


 

Dalam pekerjaan sering kita menemukan best practice dari suatu kasus yang jawabannya tidak ada dalam manual maupun SOP. Atau juga mungkin ada panduannya tapi kita mengerjakannya dengan inovasi yang berbeda dan hasilnya jauh lebih baik daripada biasanya kita mengerjakan dengan panduan yang biasanya dipakai (SOP/manual guide). inilah yang dinamakan best practice. Disebut 'best' karena yang diambil adalah praktik-praktik yang memberikan hasil (outcome) terbaik atau yang mampu meningkatkan keunggulan dan daya saing perusahaan (Rhenald Kasali, Myelin).


 

Best practice ini biasanya hanya dipahami oleh orang yang mengalaminya. Ia akan menjadi pengetahuan dan keunggulan individu bagi dia tapi tidak akan menjadi sebuah praktek keseluruhan bagi perusahaan. Inilah yang dinamakan dengan tacit knowledge (tidak tertulis). Jika orang itu sakit atau berpindah pekerjaan maka best practice tadi akan ikut bersamanya dan akan hilang begitu saja. Oleh karena itu tidak ada cara lain untuk memindahkan memory dan pengetahuan individu tadi dari tacit (melekat pada manusia dalam bentuk percakapan, memory dan pengalaman) ke dalam bentuk tertulis (explicit). Setiap pengalaman baik itu kegagalan maupun keberhasilan akan memberikan pelajaran. Pelajaran itu akan tetap menjadi pelajaran ketika ia diabadikan dengan tulisan.


 

Ingat kan sama pelajaran sejarah dulu? Zaman sejarah adalah zaman ketika tulisan sudah ditemukan. Makanya menulis itu penting! Saking pentingnya menulis ini, kabarnya di Harvard sana ada satu keahlian khusus yang harus dimiliki; keahlian menulis kasus. Ini masuk menjadi mata kuliah wajib di Harvard Bussiness School. Selain itu, dokter yang sangat berpengalaman dan bertangan dingin dengan track record yang membuatnya dibayar selangitpun, ia tetap butuh rekam medik, yaitu catatan tertulis tentang penangan yang pernahdidapatkan oleh masing-masing pasien, obat yang diberikan maupun pemeriksaan yang dilakukan oleh kolega-koleganya yang lain dengan spesialisasi yang berbeda.


 

Mengutip kata-kata Prof. Rhenald Kasali, dalam Knowledge Management, perusahaan menerapkan cara-cara untuk mengindentifikasi, menciptakan,mengoreksi, mentabulasi, mendistribusikan dan memperkuat upaya untuk mengadopsi segala insights dan pengalaman berharga. Dengan menerapkan knowledge management, banyak hal berharga menadi pengetahuan yang dpat direplikasi oleh orang-orang lain. Oleh karena itu budaya mencatat, sharing, dan budaya belajar, budaya disiplin harus dapat dibentuk dengan Knowledge Management.


 

Dalam pekerjaan saya, menulis untuk evaluasi dan sharing in sebenarnya sudah ada sejak lama. Jauh sebelum perusahaan kami Go National. Setiap personal dalam kantor kami malah harus membuat laporan harian dalam bentuk naratif yang kami namakan Narrative Journal. Setiap laporan juga harus menyertakan narrativenya agar enak dibaca dan mudah untuk memahami kondisi di lapangan mengingat jarak kami yang berjauhan dan jarang bertemu muka. Akan tetapi efek sharingnya belum terasa karena masih sering laporan hanya menjadi urusan pembuat laporan dan atasan (vertikal) belum menjadi sharing
knowledge yang horisontal sehingga personal yang lain tidak mendapatkan pelajaran.


 

Ketika jarak fisik tidak lagi menjadi masalah dengan keberadaan teknologi internet, seharusnya Knowledge Management ini bisa lebih efektif. Kita bisa memanfaatkan berbagai platform di internet seperti mailing list dan facebook. Jangan sampai facebook hanya menjadi sarana untuk eksistensi diri dengan mengupdate status dan saling mengomentari status. Itu penting, tapi seharusnya kita bisa melakukan sesuatu yang lebih.


 

Tulisan ini saya selesaikan di kamar mandi karena teman saya yang sedang sakit nggak bisa tidur dengan lampu menyala. Benar-benar ndeso bule yang satu ini. Jam di laptop saya sudah menunjukkan angka 2, sudah pagi. Tapi mata saya nggak ada tanda-tanda mengantuk.


 

Fourteen Roses, Legian-Bali, 06 April 2011, 02.00 AM

No comments:

Post a Comment

Whaddaya think?